Sejak kelahiran anak saya yang kedua, Sandya, yang mengalami penyakit jantung bawaan (PJB) maka bolak-balik rumah sakit merupakan hal yang biasa kami lakoni. Mengapa saya sebut kami? Sebab saat berangkat ke rumah sakit, yang mengantar bisa-bisa serumah. Termasuk saya, suami, anak pertama saya yang bernama Aylaa, pengasuhnya, serta Kakek Jenggot alias papa saya. Itu adalah jumlah pengantar minimal, kalau untuk waktu-waktu tertentu, jumlah pengantar bisa lebih banyak hehehe.
Ya, anak saya yang ke-2 yang lahir tanggal 28 November 2011, lahir dengan kelainan pembuluh darah jantung yang biasa disebut TGA alias Transposition of the Great Arteries. Sebenarnya masih ada kelainan yang mengiringi, tapi saya sendiri kurang paham istilahnya.
Intinya, pembuluh darah besar yang mengaliri jantung anak saya mengalami kelainan fungsi sehingga darah bersih yang seharusnya dialirkan dari paru-paru dan darah kotor yang dibersihkan di paru-paru. Akibatnya, darah kotor mengalir ke seluruh tubuh dan akibatnya fatal.
Hari ke-3 setelah kelahirannya, Sandya harus menjalani operasi non-bedah yang secara awam disebut dengan balon. Lebih miris lagi, prosesnya dilakukan tengah malam, sekitar jam 1 malam, alatnya pun langsung diambil suami dan papa saya di RS Cipto Mangunkusomo dari RS Harapan Bunda tempat anak kami dirawat waktu itu.
Untuk mengejar waktu, suami saya menggunakan sepeda motor. Papa saya yang saat itu sudah berumur 71 tahun (kemarin tgl 14 Juni) baru saja berulangtahun ke 72) sangatlah kuat. Ia yang memegang alat tersebut. Dari pihak RSCM wanti-wanti bahwa alat tersebut tidak boleh bengkok atau rusak sedikit pun. Intinya, malam itu adalah malam yang tidak akan pernah saya lupakan.
Kemudian, pada usia pas satu bulan yaitu tgl 28 Desember 2011, Sandya dioperasi bedah jantung. Berbagai rasa dan emosi bercampur selama hampir satu bulan berada di RS Harapan Kita tersebut. Mungkin nanti akan saya tulis secara khusus bagaimana secara detail seingat saya.
Selama disana, tidak ada satu pun foto yang sama ambil. Tidak ingin rasanya melihat foto ketika anak saya terbaring lemah disana. Oh ya, kisah Sandya sempat dimuat di majalah Mother and Baby yang terbit bulan Mei lalu. Saya sendiri tidak keberatan berbagi kisah, dengan harapan para orangtua yang bayinya mengalami PJB atau penyakit lain tidak menyerah. Insya Allah akan selalu ada jalan, selama kita berusaha dan berdoa.
Alhamdulillah, saat tulisan ini dibuat Sandya sudah hampir 7 bulan (saat ini sudah 21 bulan). Perkembangannya pun sangat baik, berat badan terakhir pada hari Sabtu (16/6) waktu imunisasi di RS Harapan Bunda yaitu 7,7kg. Bahkan, bisa dibilang beratnya lebih dari standar anak seusianya. Sandya juga sudah bisa guling kanan kiri, tengkurap dan tertawa dengan lepas. Makannya pun lahap.
Saya kerap mendapat pandangan kasihan dari teman atau tetangga yang mengetahui mengenai kondisi Sandya. Padahal, menurut saya, anak saya ataupun anak dengan PJB atau penyakit lain, tidak ingin dikasihani. Simpati boleh saja, bahkan memberi bantuan moril maupun materil tak mengapa. Tapi jangan dikasihani, beri mereka kesempatan sebagaimana anak-anak seusia mereka. Don't feel sorry for their disease but celebrate their life :)
Itu sebabnya seringkali saya berkata bahwa anak-anak saya adalah guru yang tak kalah penting dalam hidup saya. Mereka juga lah yang membuat hidup saya terasa berharga.Melalui mereka, saya belajar dan menjalani proses pendewasaan. Satu hal yang saya sadari, bahwa tidak hanya mereka yang membutuhkan saya sebagai ibu untuk menyayangi dan merawat mereka, tapi saya juga yang membutuhkan mereka.
Meskipun ini tulisan lama, tapi saya sengaja mengikutsertakan dalam “Tulisan ini diikutsertakan dalam momtraveler’s first Giveaway “Blessing in Disguise” karena makna tulisan ini yang sangat dalam untuk saya. Sandya sendiri saya ambil dari bahasa Sansakerta yang berarti Persatuan. Sementara, Daniswara berarti raja yang masyhur dan kaya raya dan Santoso diambil dari nama suami saya, Yanuar Santoso. Harapan kami, Sandya kelak dapat menjadi pemimpin yang makmur dan mempersatukan keluarga, masyarakat seluas-luasnya.
Ternyata, sejak kelahirannya, Sandya sudah berhasil mempersatukan saya, keluarga besar, saudara-saudara, teman-teman bahkan kenalan baru yang bersimpati. Biaya operasi jantung Sandya yang cukup besar dalam waktu singkat ternyata dapat mengetuk hati orang-orang berhati emas untuk membantu kami. Alhamdulillah semua berjalan lancar. Bahkan dalam perjalanannya saya dapat kembali merajut pertemanan dengan rekan yang sudah lama tak berkomunikasi, mempererat kembali tali persaudaraan dan menjalin pertemanan yang baru.
Secara pribadi, saya juga merasa mendapatkan "teguran" sekaligus "kasih sayang" dari Allah SWT secara bersamaan. Betapa saya merasa tak berdaya sebagai manusia tanpa berkah dan ridho-Nya. Betapa tak pantasnya manusia untuk sombong, karena Allah yang merupakan pemilik segalanya.
Surat Alam Nasyroh ayat 5 dan 6 seakan mengingatkan saya akan saat-saat itu :
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan."
*Tulisan ini dibuat ulang dengan penyesuaian untuk Giveaway “Blessing in Disguise”
masyaallah ibu yang hebat. semoga sandy bisa segera sembuh ya mbak...
ReplyDeletemakasih sudah berpartisipasi dalam GA ku ;)
Alhamdulillah berkat dorongan dan semangat dari keluarga dan temen2 semua. Alhamdulillah Sandya sekarang sudah sehat, perkembangannya juga normal, hanya saja memang harus cek tiap tahun. Doakan semoga terus sehat ya mak. Makasih :)
ReplyDeleteDibalik anak yang kuat terdapat ibu yang hebat.. :)
ReplyDeleteIn 'sya Allah, aamiin. Makasih udah mampir di blog sederhana ini :)
Delete