Pages

Friday 3 May 2013

Pendidikan atau Pembelajaran?

Selamat malam semuaaa..semoga sudah duduk nyaman dan beristirahat di rumah masing-masing ya. Kalo yang masih harus ngurus kerjaan dan deadline, tetap semangaat tapi jangan kemaleman juga istirahatnya. Ingat, tubuh kita punya hak untuk beristirahat.

Eniweey, malam ini ada keluhan seorang teman yang menggelitik pikiran dan hati saya. Apakah itu dan apa juga hubungannya dengan judul saya diatas itu? Hehehe baiklah kita akan mulai sebentar lagi, ayo berhitung bersama..3..2..1 :D

Jadi gini, ada seorang ibu yang tengah gundah gulana lantaran ada sesuatu yang mengganjal saat proses belajar mengajar di sekolah putranya. Dirasa ada yang kurang sreg, tp orangtua tidak bisa banyak bertindak, karena taruhannya adalah sang buah hati.

Kok bisa gitu? Pasalnya, sekolah itu kan bagai rumah kedua untuk anak-anak, memindahkannya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kalau sudah begini, pendidikan tak ubahnya produk pada umumnya, kalau suka dan cocok ya tetap digunakan, dan sebaliknya kalo sudah gak sreg, ya diganti. Sayangnya, produk yang kita bicarakan ini soal pendidikan anak, bukann soal sabun atau pasta gigi yang bisa diganti kapan pun kita mau.

Tapi, sebenarnya apa sih sebenarnya pendidikan itu? Saya sendiri bukan ahli pendidikan ataupun praktisi yang memiliki cukup pengalaman untuk membuat sebuah definisi. Ada beberapa kutipan dari beberapa ahli yang saya kutip yang sekiranya dapat mewakili defisin pendidikan tersebut.

“Education is the kindling of a flame, not the filling of a vessel.” ― Socrates

“Education is not the filling of a pail, but the lighting of a fire.”― W.B. Yeats

Dua kutipan yang hampir mirip tersebut merupakan favorit saya. Mengapa? Karena untuk saya, pendidikan itu bukan bagaikan seseorang mengisi wadah kosong, melainkan "membangunkan" apa yang sudah tertanam dan memaksimalkan kemampuan tersebut.

Lah terus itu judul di atas apah dong maksudnyaah? Hehe bahasan saya serius banget gak sih? moga2 masih ada yang nerusin baca *komat-kamit* :)

Jadi menurut saya pribadih nih ya, pendidikan itu lebih berbau formalitas seperti masuk sekolah, ujian, memperoleh ijazah dll, sementara pembelajaran itu lebih luas dari pendidikan. Didalam pembelajaran pasti ada pendidikan, tp didalam pendidikan belum tentu ada pembelajaran. Looh kok gitu? Loh kok bisa, aah pasti pikiran situ aja tuh?

Ya iya emang ini pikiran saya pribadi, pan udah dibilangin dari tadi. Contohnya, saat anak menghafal tanggal2 bersejarah mulai awal perang Diponegoro sampe awal kemerdekaan tahun 1945, apa mereka benar-benar belajar? Ya, untuk anak2 yang tingkat kemampuan mengingatnya tinggi, bisa jadi mereka akan hafal di luar kepala. Kemudian pertanyaannya sampai kapan? Ada yang kesenggol temennya, trus lupa. Ada juga yang tiba-tiba lupa pas ujian, sukur2 ada yang inget sampe ujian selesai.

Kalau mereka ingat sampe ujian trus mereka dapat nilai bagus dari ingatan itu, apa mereka sudah benar-benar melakukan pembelajaran? Eittss tunggu dulu. belum tentu. Buat saya, pembelajaran itu kalau mereka sudah tahu berbagai hal tentang perang tersebut. Misalnya, apa penyulut perang Diponegoro, siapa Diponegoro itu, kemudian apa latar belakang pembangkangan yang ia lakukan terhadap Belanda lalu siapa saja yang menjadi teman atau musuhnya dll. Begitu juga dengan perang kemerdekaan, dll. Demikian juga saat mereka belajar geografi, yang gak cuma diminta menghafal nama2 negara Asia, Eropa, Afrika dll ditambah dengan nama kepala negara, ibu kota dll, yang tidak jauh dari data.

Maafkan jika saya salah, tapi untuk belajar, saya yakin ada keinginan siswa untuk terlibat aktif, untuk mencaritahu dan untuk memenuhi rasa penasarannya. Sudahkan anak-anak kita belajar seperti itu? Atau, yang mereka jalani lebih banyak merujuk pada paragraf saya sebelumnya.

“Children must be taught how to think, not what to think.” ― Margaret Mead

Satu lagi kutipan yang sangat "nendang" untuk tulisan saya kali ini. Kita sebagai orang dewasa seringkali merasa "lebih tahu", "lebih berpengalaman" dan lebih-lebih yang lain dibandingkan anak2 kita. Padahal ini tidak sepenuhnya benar. Pada kenyataannya, kita kebetulan lebih dulu menjalaninya dibandingkan anak-anak kita. Tapi apakah itu membuat kita berhak memberikan perintah-perintah dan rambu2 pada anak-anak? Apakah kita benar-benar berhak menentukan apa yang kita pikir terbaik untuk mereka?

“In learning you will teach, and in teaching you will learn.”― Phil Collins

Mengajar dalam kalimat Phil Collins ini juga bukan berarti untuk para pengajar formal. menjadi orangtua adalah salah satu profesi pengajar tertua dengan masa kerja yang tak terbatas. Ya, saya yakin setiap orangtua adalah guru sejati bagi anak-anaknya. Jadi pertanyaannya kemudian? Apakah kita sebagai orangtua sudah mencukupkan dan memantaskan diri sebagai pengajar anak-anak kita dengan perilaku, sikap dan tindakan kita? Apakah selama ini kita sudah mengambil porsi kita dalam pendidikan dan pembelajaran anak-anak kita, atau lebih banyak menyerahkan kepada sekolah dan institusi formal lainnya?

“Educating the mind without educating the heart is no education at all.”― Aristotle

Ini adalah inti dari pendidkan dan pembelajaran sebenarnya untuk saya, yaitu mendidik hati termasuk karakter, kepribadian dan lain2 yang utama pada anak. Saya tidak menampik bahwa ada kebanggaan jika anak saya meraih prestasi di bidang akademik ataupun bidang2 lain. Tapi yang tak kalah penting dan membuat saya bangga adalah ketika anak saya mampu berempati ketika  temannya sakit, atau ketika mau mengambilkan minum untuk saya atau Ayahnya ketika sedang terbatuk2, atau ketika ia memeluk sayang dan menjaga adiknya. Apakah itu diajarkan di sekolah, dan apakah orangtua sudah mengajarkan itu kepada anak-anaknya? Lalu darimana anak2 bisa memahami dan melakukan hal tersebut jika ia sama sekali tidak mengetahui pentingnya perilaku tersebut dan contoh yang bisa ditirunya.

Satu garis merah dari pendidikan atau pembelajaran untuk saya kemudian adalah mencoba menjadikan anak-anak pribadi yang lebih baik. Meskipun saya yakin hal itu tidak hanya diperoleh dari institusi formal. Dan jika nilai berupa angka yang masih menjadi patokan orangtua dalam pendidikan anak, coba tanyakan kepada para pekerja profesional ataupun pada diri kita sendiri, seberapa banyak hal tersebut mempengaruhi diri kita saat ini? Apakah angka tersebut yang mendefinisikan diri kita saat ini?

Terimakasih sudah mau meluangkan waktu disini. Maaf kalau ada salah2 kata dan sok tahu. Masukan, kritik dan tukar pendapat disini sangat diharapkan looh. Selamat malam semuaa :)




Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...