Pages

Wednesday 26 March 2014

Haruskah Self Publishing?

Buku-buku serius ini kebetulan jadi objek foto saya yang galau.
Percayalah ini bukan buku bacaan saya sebenarnya :D (dok.pribadi)
Assalamualaikum...halo-haloo teman-teman semuanya! Semoga kabarnya sehat dan baik-baik semua ya. Aamiin.

Baru-baru ini saya mendapat kabar bahwa naskah saya ditolak. Sedih? pastinya lah. Putus asa? No way! Trus apa masalahnya?

Sebenernya saya sih santai-santai aja sama naskah itu, tapi kok ya setiap hari buka facebook kok semakin banyak saya menemukan "calon-calon pembaca" yang sekiranya mendapat manfaat dari naskah saya itu. Walaupun saya bukan penulis buku kawakan, saya meyakini tulisan saya setidaknya dapat menginspirasi para calon pembaca tersebut.

Sebagai gambaran, naskah saya itu tak jauh bercerita tentang jungkir balik saya dari seorang working mother yang bertransformasi menjadi stay at home mom. Tentu saja, tidak benar-benar plek sama dengan isi blog, karena juga harus menyesuaikan dengan bahasa buku dan tentunya saya banyak tambahkan berbagai hal yang sekiranya memperkaya naskah.

Alasan dari penerbit yang menolak naskah saya adalah sebagai berikut:

"Naskah ini kurang informatif untuk diterbitkan sebagai buku nonfiksi, padahal temanya menarik."

Yang kemudian menggelitik saya adalah haruskah saya menerbitkannya menjadi buku self publishing dengan berbagai keterbatasan yang saya miliki? Ataukah saya harus mengirimkannya kembali ke penerbit lain yang sekiranya membutuhkan beberapa bulan lagi? Padahal saya gemas untuk segera bisa berbagi dengan sesama perempuan mengenai pengalaman saya dalam naskah.

Sejujurnya, keinginan menerbitkan naskah ini tak melulu saya pikirkan dari segi materi. Namun lebih kepada keinginan saya untuk berbagi.

Jadi, bagaimana keputusannya? Hehehe mungkin bukan rumput yang bergoyang yang tahu jawabannya, tapi sepertinya saya masih harus menunggu kata hati ini lebih lanjut.

Selamat santap siang dan meneruskan aktivitas, terimakasih sudah mampir ^_^

Friday 21 March 2014

Tiga Kunci Menyikapi Kakak yang Kecewa

kakak Aylaa dan adek Sandya (dok.pribadi)

Selamat siaang semuaaa!!!

Ah setelah menyelesaikan tulisan deadline hampir setengahnya di tempat saya kerja, dapet juga waktu untuk nulis di blog tercinta ini. Lah kan nulis nulis juga, apa bedanya sih? Hehe jelas beda lah. Kalo ini kan blog pribadi, berbeda dengan media tempat saya bekerja.

Nah, saya sekarang mau cerita tentang kakak Aylaa yang tiba-tiba ngambek gak mau sekolah, pas malem2 saya pulang kantor. Haduuuwww..apalagi ini? Udah capek2 menghadapi macetnya belantara jalanan Jakarta, sampe rumah, disuguhin kakak yang cemberut.

Sebenernya sih, ngambeknya pas dia nunjukin nilai latihan ujian matematikanya yang jelek. Sumpah, saya juga kaget. Memang beberapa minggu ini kan saya kembali kerja, jadi sulit membantu kakak belajar ataupun mengerjakan PR.

Sebenernya sebelumnya juga pernah saat soal-soal yang baru dikerjakan. Setelah saya jelaskan dan tunjukkan dengan perlahan-lahan, besok2nya nilainya sudah bagus lagi.

Sehingga, kemarin saya berkesimpulan, terjadi lagi hal yang sama. Pengenalan soal latihan baru, sehingga kakak Aylaa belum terlalu mengerti. Dan soalnyaa, yaaa ampuuuuun, pilihan ganda sekitar 20 soal dengan soal beberapa soal esai yang cukup susah untuk anak kelas 2 SD.

Tapi, berhubung saya ribet jagain adek Sandya yang mondar mandir sana sini, dan bersih-bersih setelah pulang kantor. Capek-capek gitu, mana pula kapasitas otak saya yang memang kemampuan matematikanya standar, bisa sok-sok ngajarin kakak. Akhirnya, suami saya turun tangan. Jadilah kakak Aylaa kursus singkat sama Ayahnya, sementara Sandya nempel sama saya.

Setelah itu, waktunya tidur. Aylaa mulai rewel, cari alasan supaya besok gak masuk sekolah. Mulai saya putar otak sebisa saya yang sejujurnya capek banget malam itu :'(

Pahami, Peluk, Cintai.

Entah disebut insting keibuan ataupun apa, tapi malam itu saya kemudian berusaha menempatkan diri saya pada posisi anak saya.

Lantaran nilainya yang jelek itu, ia merasa mengecewakan saya dan ayahnya. Kecewa terhadap diri sendiri. Dua hal yang cukup berat buat anak saya yang cukup sensitif. Meskipun sudah hampir 8 tahun, kakak Aylaa dari sisi emosionalnya jauh lebih sensitif dibanding adiknya, mungkin juga karena dia perempuan.

Ditambah dengan tantangan berupa ujian besok hari. Saya berusaha memahami bahwa yang sebenarnya tidak kuat adalah tekanan emosionalnya, dibandingkan tantangan matematika itu sendiri. Takut kecewa lagi. Takut gagal lagi.

Setelah berusaha memahami, saya putuskan untuk memeluknya seerat mungkin. Sambil mengatakan, saya dan Ayahnya tidak kecewa lantara nilai jeleknya saat itu. Bahwa kami yakin, setelah ia belajar lebih lanjut, ia akan lebih mampu mengerjakan soal dengan lebih baik.

Saya juga memeluknya sambil berkata saya bangga dengan pencapaiannya saat ini. Termasuk, nilai bahasa Inggrisnya yang hampir selalu 100, kemampuannya bernyanyi bahasa Jepang bermodalkan mendengar dari internet, juga kemampuannya menari di sekolah serta minatnya membaca buku hampir setiap hari.

Bahwa, satu nilai jelek yang diperolehnya hari itu tak akan mempengaruhi rasa sayang dan bangga kami padanya. Akhirnya, tangisnya berhenti.

Sampai akhirnya ia minta saya menceritakan dongeng sebelum tidur, dan saya pun mengarang cerita, Kambing yang Suka Mengeong. Hehehe dongeng spontan pun saya ceritakan, lengkap dengan moral cerita pada akhirannya, yang sempat membuat Ayahnya geleng2 kepala dan tepok jidat :D Sesudah itu, kakak benar-benar bisa tidur nyenyak.

Keesokan paginya, seperti biasa saya sudah sibuk menyiapkan sarapan dengan makan siang yang akan dibawa kakak ke sekolah. Ayahnya yang membantu dia mempersiapkan peralatan sekolah dan lain-lain.

Saya pun sempat bertanya, "Yah, Aylaa masih ngambek gak?"

Ayahnya pun menjawab, "Gak tuh. Ayah udah pancing-pancing soal yang bikin dia ngambek tadi malam. Tapi, dia jawab gak masalah tuh ujian matematika hari ini".

Nah loh, padahal tadi malam sudah ngambek, hampir putus asa dan maksa pengen gak masuk sekolah. Tiba-tiba, semua seperti tertelan bumi, terganti dengan rasa optimis dan senang ke sekolah. Kebetulan saya juga ikut mengantar ke sekolah, karena saya berangkat ke kantor bareng Ayahnya pagi ini.

Jadi, apakah ini berarti tiga kunci yang saya terapkan kepada kakak berhasil? Mungkin iya, mungkin juga tidak. Maksudnya, bisa jadi besok2 yang akan saya hadapi dari kakak Aylaa akan memerlukan kunci ke 5, 6, dst.

Ah, sepertinya masih banyak yang harus dipelajari oleh saya dan suami agar menjadi orangtua yang baik.











Tuesday 11 March 2014

Kembali Berubah!


Saya bersama Ultraman saat liputan di salah satu acara Japan Foundation. Berubah! (dok pribadi)
"Hidup adalah rangkaian perubahan".

Duh udah satu bulan lebih gak update blog nih *tiup2 debu*. Apa kabar semuaaaa? semoga baik-baik dan sehat-sehat yaa.

Sebagaimana tulisan saya sebelumnya Hidup = Rangkaian perubahan dan jangan pernah percaya kalo ada yang mengeluh bahwa hidupnya begitu-begitu saja. Perubahan itu tentu ada donk, mulai dari aktivitas, menu makanan, hal yang harus dihadapi, dan lain-lain.

Hanya saja, perubahan-perubahan kecil itu seringkali tidak disadari, sehingga seakan-akan yang dijalani sehari-hari ya itu itu aja.

Sejak Februari kemarin, ada perubahan yang cukup besar untuk saya. Jika dulu saya bisa antar jemput kakak Aylaa ke sekolah, pagi saya dihabiskan dengan memandikan, memberi adek Sandya makan dan kemudian bisa leyeh2 bobo siang di rumah, setelah capek nemenin main seharian, maka sekarang tidak bisa lagi.

Setelah hampir 4 tahun menjadi stay at home mom dengan beragam kerja freelance terkait media yang saya jalani, akhirnya garis takdir membawa saya kembali menjalani karir awal saya yaitu jurnalis alias wartawan.

Perlu beberapa waktu untuk saya memutuskan hal ini. Termasuk minggu-minggu pertama yang agak berat, karena kakak dan adek kebetulan sakit dan sulit sekali meringankan langkah ke luar dari rumah untuk ke tempat kerja. Alhamdulillah kakak dan adek sudah sehat sekarang dan beraktivitas seperti semula, meski sempat diwarnai Ibu melow ini yang sempet nangis di bis dan juga malam pas sampe rumah. Hiks.

Tapi, harus saya akui. Ada sisi diri saya yang rasanya kembali hidup ketika saya kembali menjalani profesi jurnalis. Excitement yang hampir tidak berubah, saat saya memulai profesi ini kembali pada tahun 2002 silam.

Argumentasi-argumentasi yang selama ini banyak terdengar antara working mom vs stay at home mom, rasanya semakin ramai bersliweran kembali di otak saya. Harus saya akui, keduanya bukanlah peran yang mudah.

Menjadi stay at home mom, bukan berarti saya bebas stres. Karena ada saat2 saya merasa kurang dapat mengaktualisasikan diri sebagai pribadi. Sebaliknya, saat bekerja saat ini, tidak mudah mendelegasikan tugas-tugas merawat anak-anak pada asisten di rumah. Ataupun, hati saya terasa sedikit perih ketika mendengar keluhan kakak Aylaa yang meminta Ibu kembali kerja di rumah saja.

Ah tapi saya tidak ingin posting ini menjadi ajang saya mengeluh. Saat ini saya harus konsisten dengan keputusan yang sudah saya buat and make the best out of it. Doakan saya yaa!

Jadi apakah blog saya akan berubah nama, karena kini saya kembali bekerja? hehehe gak juga sih. Soalnya saya kan juga masih suka dasteran di rumah ^_^













Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...