Pages

Thursday 22 May 2014

Sore Itu Tak Kelabu

(dok pribadi)

Mendung sore itu tak kelabu

Rintik hujan yang deras menghujam

Tak mampu merisaukan hatiku

Memandangmu dalam bingkai bola mataku

Namun,

Tak selamanya semua mimpi harus jadi nyata

Tak semua harap harus berujung

Sore itu,

Mendung tetap mengundang semburat pelangi

di wajahku.

(Depok, Mei 2014)

Tuesday 20 May 2014

Edukasi Seks Dimulai dengan Menghargai Diri Sendiri

Buku dan majalah jadi sarana saya berbicara mengenai edukasi seks dengan Aylaa (dok.pribadi)
Sebagai orangtua, berita-berita yang belakangan marak berkaitan dengan pelecehan terhadap anak-anak, tentu saja membuat saya geram. Saya sampai tak habis pikir, bagaimana orang-orang dewasa itu memperlakukan makhluk kecil tak berdosa itu sampai sedemikian rupa.

Putri saya yang pertama kini duduk di kelas 2 dan berusia 7,5 tahun, sementara putra kedua saya berusia 2,5 tahun. Tak heran jika kemudian saya jadi salah satu orangtua yang ketar-ketir dengan segala pemberitaan pelecehan seksual terhadap anak-anak.

Putri saya termasuk jenis anak yang pemalu dan introvert yang biasanya menjadi sasaran empuk terhadap hal-hal yang buruk. Saat putri saya mencari Sekolah Dasar, maka itu jadi pekerjaan yang benar-benar memakan waktu dan energi, karena saya tahu, putri saya jenis pendiam yang sangat mungkin memperoleh perlakuan tidak menyenangkan dan diam saja. Misalnya, bully dari teman sekolah ataupun pelecehan lain yang rasanya tidak berani saya bayangkan.

Alhamdulillah pencarian sekolah itu berakhir bahagia. Saya menemukan sebuah sekolah yang tidak hanya mengedepankan akademik tapi juga pengembangan karakter. Tak hanya menomorsatukan tugas dan PR sekolah, namun juga perilaku siswanya. Bagi saya, berkomunikasi dengan guru merupakan satu hal penting dan itu saya temukan di sekolah itu.

Berkaitan dengan edukasi seks memang belum secara gamblang diajarkan di sekolah, tapi putri saya sudah memahami yang namanya menstruasi dari kakak kelasnya, mengapa pria dan wanita berbeda secara fisik, dan lain sebagainya. Ada suatu ketika, dua orang siswa laki-laki dan perempuan yang berdekatan secara berlebihan yang mengundang perhatian guru, setelah itu kemudian satu kelas diberikan pengertian dalam pelajaran akhlak.

Kekhawatiran saya terhadap putra kedua saya yang 2,5 tahun pun tentu tak jauh berbeda. Apalagi saya mendengar dan membaca berita bahwa korban pelecehan seksual kini juga banyak dialami anak-anak laki-laki, bahkan yang masih berusia balita. Astagfirullah >.< Meski putra saya tergolong ekstrovert dan mudah bergaul, justru saya merasa harus meningkatkan kewaspadaan. Apalagi, jika ia sudah masuk sekolah nanti.

Sandya bersama dengan salah satu temannya di rumah (dok.pribadi)
Beberapa tips mengenai pengenalan edukasi seks terhadap anak yang kini mengemuka seakan membuka mata orangtua, termasuk saya, mengenai pentingnya hal tersebut. Saya kini memulai pengertian mengenai "underwear rule" alias aturan pakaian dalam, yaitu bagian-bagian tubuh yang ditutup oleh pakaian dalam sama sekali terlarang disentuh oleh orang lain. Hanya orang terdekat yang boleh membantunya membersihkan diri di bagian vital tersebut. Kemudian, jika ada yang mencoba, maka mereka seharusnya menolak dan melaporkan pada orangtua.

Tak dipungkiri, sebagian besar anak korban pelecehan seksual itu tidak memahami bahwa perlakuan yang mereka terima tidak pantas dan tidak seharusnya. Atau, mereka justru takut disalahkan dan kemudian memendam rasa sakit dan frustasi yang dialaminya. Biasanya yang diarah adalah anak-anak yang tampak pendiam, introvert dan tak banyak bicara.

Untuk itulah saya merasa harus memberikan perhatian ekstra terhadap putri saya. Bagaimana caranya? Salah satu yang saya tekankan dalam pembelajaran edukasi seks dimulai dengan menghargai diri sendiri.

Memang awalnya hal ini saya lakukan untuk memupuk percaya diri. Saya terangkan bahwa setiap orang unik dan tidak apa-apa berbeda dengan orang lain. Jika temannya bercita-cita sebagai dokter, maka ia yang senang menari dan ingin menjadi penari, adalah hal yang lumrah. Jika sahabatnya, pintar pelajaran matematika, sementara putri saya selalu menuai pujian guru saat bahasa Inggris, maka itulah perbedaan kemampuan tiap orang.

Saat ia sudah mampu menghargai diri dengan segala perbedaan dan keistimewaan yang dimiliki, kemudian saya harapkan percaya dirinya tumbuh dan semakin menghargai diri sendiri.

Kemudian, saya meneruskan dengan mengajarkan bahwa tubuhnya adalah miliknya yang tidak boleh disentuh oleh sembarang orang. Bahkan saat ia sudah menginjak usia tertentu, orang-orang terdekatnya tak boleh lagi menyentuh di bagian vital. Ketika ada yang mencoba melakukannya, maka ia mempunyai hak untuk menolak, menghindari dan sedapat mungkin berlari menjauh dengan cara yang dapat dilakukan mulai dari berteriak, memukul dan sebagainya.

Biasanya saya berbicara mengenai hal tersebut di kala senggang ataupun saat saya sedang membantunya mencuci rambut. Atau, melalui cerita sebelum tidur, juga saat  ia sedang membaca buku ataupun majalah Princess kesukaannya.

Satu hal lagi, saya dan suami mencoba menjadi salah satu tempat curhat anak-anak. Saat mereka merasa sedih ataupun senang, kami berdua berusaha menjadi tempat mereka bercerita.

Semoga semakin tingginya kesadaran anak-anak dan pengawasan orangtua akan mempersempit ruang gerak untuk para pelaku pelecehan anak dan tak perlu ada lagi anak-anak yang menjadi korban. Ya Allah jaga dan lindungilah anak-anak kami. Amin ya robbal alamiin.

*Artikel ini diikutsertakan dalam "Give Away 10 Hari At-Thahirah Blog Contest"


















Friday 16 May 2014

Merindu Telaga Bening di Potsdam


Saya di Potsdam pada penghujung musim dingin 2009 (dok.pribadi)

Kembali ke tahun 2009, ada sebuah pengalaman pribadi yang lumayan besar untuk saya. Kala itu pertama kalinya saya mendapat kesempatan belajar di luar negeri. Tak tanggung-tanggung, Allah SWT memberi kesempatan saya untuk belajar di sebuah negara di Eropa.

Saya baru pertama kali mengalami musim dingin, merasakan salju, tentu saja norak. Senang sih, tapi dinginnya ternyata tidak ketulungan. Untung saya datang hampir di penghujung musim dingin, menjelang musim semi.

Kota Berlin, tempat saya belajar, ternyata tidak seheboh kota besar Eropa yang saya bayangkan. Justru tidak terlalu ramai, suasananya tenang dengan angkutan umum yang sangat nyaman dan tepat waktu.

Tapi, yang justru menarik hati saya untuk saya kunjungi lagi suatu hari nanti adalah Potsdam, yang lokasinya sekitar 30 menit menggunakan kereta dari Berlin. Saya dan rekan-rekan waktu itu mengunjungi Potsdam untuk mengunjungi Sanssouci, bekas istana musim panas Friedrich II yaitu Raja Prusia.

Tapi, saya tidak ingin menceritakan istana tersebut. Yang kemudian menarik hati saya adalah ketika berjalan menuju perumahan di kawasan Potsdam. Mata saya dimanjakan dengan pemandangan yang indah. Telaga bening yang memantulkan bayangan, laksana kaca. Juga dedaunan yang gugur yang berwarna abu-abu dan kecoklatan, serta pohon-pohon yang meranggas menunggu musim semi tiba.

Saya yang kala itu tengah kangen keluarga lantaran harus meninggalkan tanah air selama dua bulan, menemukan ketenangan di sana. Rasanya ingin berlama-lama di telaga itu. Duduk di rerumputan yang seakan menunggu sinar matahari untuk kembali menghijau, sambil memandang sekitar. Sempat saya membayangkan keindahannya yang berbeda di musim semi. Tentu tak akan kalah luar biasa.

Telaga yang sangat bening di Potsdam (dok.pribadi)
Sayangnya, cuaca saat itu masih cukup dingin sehingga rekan-rekan saya tak sabar untuk mencapai tujuan. Hanya sekitar 10 menit saya berada disana. Saya puaskan dengan mengarahkan kamera saya untuk mengabadikan lokasi tersebut.

Meninggalkan telaga bening itu, saya masuk ke kawasan perumahan. Tampilan khas rumah Eropa zaman dulu masih lekat disana. Secara pribadi saya memang memiliki ketertarikan untuk rumah seperti itu, kesannya  klasik dan indah. Jujur saja, bangunan modern minimalis memang jarang menarik hati saya.

Sekitar satu jam berjalan di suhu sekitar 5 derajat celcius hari itu sungguh tak terasa. Hingga akhirnya saya dan rekan-rekan sampai di tujuan kami. 

Di depan rumah khas Eropa di Potsdam. Keren yaa (dok.pribadi)
Mungkin perjalanan saya ke Potsdam hanya tak lebih dari beberapa jam hari itu, tapi kesan telaga bening itu terus berada di hati saya. Ingin rasanya suatu hari nanti kembali ke sana, ditengah musim semi ataupun musim panas, dimana bunga-bunga bermekaran, pohon tak kehilangan dedaunan, bersama dengan keluarga duduk-duduk menikmati hari di tepi telaga bening itu.

*Tulisan ini diikutsertakan dalam  "A Place to Remember Giveaway"

http://nurulnoe.com/a-place-to-remember-give-away/#more-2539


Tuesday 13 May 2014

Karena Kita adalah Laki-laki

Ayah dan Sandya dalam perjalanan kereta api Jakarta-Cirebon, Mei 2014 (Dok.pribadi)
Kita adalah laki-laki, anakku.

Mungkin Cinta dan kasih sayangku tak selembut sentuhan Ibumu.

Kadang aku harus tegas dalam mendidikmu.

Sebab kelak, kau akan menjadi laki-laki yang bertanggungjawab.

Tak hanya pada dirimu sendiri, tapi juga keluarga yang kelak akan kau miliki.

Ilmu, karakter dan sikap adalah warisan yang terpenting yang aku tanamkan sejak kau kecil, nak.

Karena,

Kita adalah laki-laki.

(Teruntuk dua laki-laki tercintaku)

“Foto ini diikutsertakan dalam Lomba Blog CIMONERS”

 http://cintamonumental.blogspot.com/2014/05/lomba-blog-2-tantangan-untuk-2.html
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...