Pages

Saturday 31 August 2013

Nekad ke Venesia yang Tak Sia-sia

Saya di Venice, rasanya gak percaya (dok.pribadi)

Tak pernah terbayangkan saya dapat menginjakkan kaki ke tanah Eropa. Hingga suatu hari pada tahun 2009, saya mendapat kesempatan untuk belajar selama dua bulan di Negara asal Hitler., Jerman. Berbagai rencana jalan-jalan keliling Eropa langsung menjadi agenda saya saat itu, meskipun jujur saja saya tidak banyak membawa uang saat itu. Tak lebih dari Rp 2 juta saya bawa dari tanah air, karena untuk kebutuhan sehari-hari disana disediakan pihak penyelenggara beasiswa berupa uang saku dan akomodasi.

Saya berada di Berlin selama dua bulan, Senin-Jumat saya harus belajar di kelas dan memiliki waktu akhir pekan untuk acara bebas. Memang penyelenggara beasiswa memiliki agenda khusus untuk mengunjungi  lokasi wisata di Berlin dan sekitarnya, tapi rasanya memegang visa Schengen yang bisa berlaku untuk sebagian negara Eropa tanpa menggunakannya sama sekali rasanya sangat-sangat sayang.

Dengan berhemat sana sini dari uang saku yang diberikan setiap minggu, plus mengiba kepada suami untuk minta izin menggunakan kartu kredit untuk membeli tiket pesawat ekonomis, maka terbanglah saya ke Venesia. Tiket juga sengaja kami beli jauh-jauh hari agar biaya semakin bisa ditekan. Waktu itu kami menggunakan pesawat Easyjet. Biaya penerbangan PP sekitar 60 Euro. Kali ini saya ditemani seorang teman asal Vietnam, Vu Thi Thu Tra. Trus kenapa disebut nekad donk?

Hehe selain kami dua orang wisatawan asing asal Asia yang bertubuh mungil, yang kami sama sekali buta soal Italia, jangankan berbahasa Italia, lokasi wisata saja kami menjadikan Om google menjadi petunjuk utama kami. Kalau orang lain, sudah booking tempat penginapan online, kami sengaja mau mencari sendiri nanti begitu kami sampai, agar dapat membandingkan dan memilih yang termurah terntunya :D

Oh ya, sebenarnya saya juga sempat bertandang ke Paris, Prancis , namun karena ada seorang teman yang memandu dan sabar membiarkan kami foto-foto dengan narsis, rasanya itu tidak termasuk kategori nekad deh hehehe.

Venice alias Venesia dalam jepretan kamera saya (dok.pribadi)

Jadi, kenapa Venesia? Kota mungil yang sebagian besar aktivitas transportasinya diatas air ini adalah salah satu kota yang telah lama saya impikan. Entah mengapa, gedung dan bangunan otentik zaman kolonial, transportasi air yang tampak romantis serta ketenaran orang-orang Italia yang (ehem) tampan dan cantik, seakan memanggil-manggil saya untuk berkunjung kesana. Oh ya, satu lagi, kuliner Italia yang sangat saya sukai disini membuat saya penasaran bagaimana rasanya di negara asalnya.

Saat itu, saya mengunjungi Venesia pada akhir bulan Maret, yang merupakan penghujung dari musim dingin alias winter. Jaket tebal dan sarung tangan masih menjadi pakaian wajib saat itu.

Perjalanan saya saat sekitar 790 kilomenter *nyontek Om google* menggunakan pesawat Easyjet dari bandara Berlin Schoenefeld (SXF) to bandara Venice Marco Polo bisa dibilang lumayan nyaman, meskipun dengan harga ekonomis. Saya memutuskan menggunakan pesawat karena alasan waktu, sebab saya hanya memiliki waktu libur pada akhir pekan. Namun, bagi para nekad traveller lain yang yang memiliki waktu luang, melakukan perjalanan di Eropa menggunakan kereta ataupun bis mungkin akan lebih berkesan, dan tentunya hemaaat.

Saya ingat perjalanan saya selama di pesawat sangat menyenangkan karena saya dapat merasakan sinar matahari. Ya, selama berada di Berlin pada musim dingin, sinar matahari merupakan sesuatu yang sangat jarang. Padahal, selama di Jakarta, tak jarang saya ngomel-ngomel lantaran sinar matahari yang terlalu terik.

Pesawat yang berkapasitas sekitar 30-an penumpang itu terbang melewati beberapa pegunungan bersalju. Sempat membuat jantung saya deg-degan, pasalnya saya membayangkan bagaimana jika tiba-tiba pesawat jatuh diantara pegunungan itu. Amit-amit deh!

Alhamdulillah saya sampai di Marcopolo Airport sekitar jam 10 pagi dengan selamat. Berbekal hasil browsing dan tanya petugas sana sini, serta membeli peta. Saya bersama rekan saya asal Vietnam, kemudian berjalan menuju lokasi water bus alias bis air untuk sampai menuju kota Venesia dengan harga sekitar 13 Euro. Bagi yang berkocek lebih tebal, Anda bisa menggunakan water taxi alias taksi air yang menyediakan lebih banyak privasi dengan harga sewanya bisa tiga kali lipat atau lebih, dengan jarak tempuh yang sama.

Mejeng dulu setelah beli tiket water bus alias bis air (dok.pribadi)

Kala itu, saya dan rekan saya merupakan dua orang penumpang pertama dari bis air yang sedang bersiap berangkat. Kami menyempatkan diri untuk berfoto sebagaimana layaknya turis. Namun, satu hal yang pasti akan segera ditangkap oleh mata adalah betapa mudahnya menemukan orang yang ganteng atau cantik disini hehehe. Teman saya sampai terpesona dengan petugas bis air yang memang wajahnya khas Italia.

Perjalanan saya dipenuhi dengan decak kagum. Ya, memang selama ini saya lebih sering bermimpi untuk menginjakkan kaki ke Negara-negara di Eropa untuk memuaskan rasa penasaran saya terhadap kota-kota tuanya. Tak dipungkiri bahwa Venesia adalah salah satu kota tertua di Eropa yang terlihat dari arsitektur gedungnya.

  Water bus alias bis air ini asik pemandangannya selama perjalanan (dok/pribadi)

Perjalanan yang memakan waktu sekitar 30 menit menggunakan bis air itu sungguh tidak terasa. Suguhan gedung-gedung serta kapal-kapal beraneka warna dan jenis di Venesia benar-benar tidak membosankan. Ditambah dengan takjubnya melihat air yang kami lewati tampak begitu bersih, tanpa sampah. Membayangkan hal ini dapat terjadi di sungai-sungai Jakarta, rasanya hampir mustahil.

Sudah sampai!

Kami langsung turun dari bis air menuju jantung kota Venesia yaitu Piazza San Marco atau disebut St Mark's Square. Wow! Saya sangat terkagum-kagum saat menginjakkan kaki disini. Bangunannya sungguh megah dan indah dan pemandangan sekeliling yang menakjubkan. Saya sampai-sampai mencubit diri sendiri, karena tak percaya bisa ada disana. Kebetulan saat itu masih musim dingin, sehingga saya tak perlu berdesak-desakan dengan turis dari Negara lain. Mungkin lain halnya jika Anda memutuskan untuk berkunjung pada musim panas.
Di Piazza San Marcp bareng turis-turis lain (dok.pribadi)

Puas berjalan-jalan di sekitar dan mengabadikan kunjungan kami dengan berfoto, lalu saya dan rekan saya meneruskan perjalanan kami mengitari kota Venesia. Rupanya kota ini tidak terlalu besar. Hanya dengan waktu sekitar dua jam, maka seluruh kota Venesia dapat Anda kelilingi.

Saya sempat berpisah dengan rekan saya, sebab saya ingin duduk sejenak menikmati pemandangan di sekeliling dengan duduk dan menulis sedikit di jurnal saya. Nikmat rasanya, meskipun sedikit kedinginan Sementara, rekan saya terus menyusuri Venesia.


Saya di Venesiiaa, masih cubit2 diri sendiri (dok.pribadi)

Akhirnya kami sampai di sebuah penginapan ketika hari sudah gelap. Ternyata semua kamar juga hampir penuh. Dengan berat hati, kami memesan kamar yang lumayan membuat kami merogoh kantong agak dalam, lantara mereka mengklaim sebagai hotel berbintang 3. Padahal, jika dilihat sekilas, sama sekali tidak terlihat mewah. Hiks.

Venesia di malam hari, kereen deh (dok.pribadi)

Hanya satu yang dapat menghibur saya saat itu, toilet duduk yang dilengkapi dengan air hangat. Wah waah serasa surga, setelah hampir dua bulan saya berada di Berlin yang sebagian besar kamar mandi kering Hehehe namanya juga orang Indonesia, kebiasaan bersih2 dengan air.

Jalanan di kota Venesia yang sebagian besar dari paving block itu memang terbilang sempit dan agak-agak terlihat serupa satu sama lain. Jadi bagi Anda yang sering nyasar, lebih baik berhati-hati dan belilah peta di airport untuk berjaga-jaga. Hehehe apalagi kaum perempuan, seperti saya dan teman saya, sempat berputar-putar beberapa kali untuk kembali ke penginapan. Apalagi ketika malam hari, jalanan tersebut bisa sangat menyulitkan.

Hal yang kedua yang harus diantisipasi adalah kendala bahasa. Ketika kami tersesat dan berusaha bertanya dengan bahasa Inggris kepada petugas polisi, mereka justru menjawab tidak bisa berbahasa Inggris, “Sorry, we’re Italian”. Of course, itu sebabnya kami bertanya. Jadi lebih baik Anda bertanya di restoran ataupun petugas hotel yang ada di sekitar sana. Mereka dijamin akan menjawab lebih ramah, meskipun dengan bahasa Inggris yang terpatah-patah.

Ini juga yang menjadi catatan saya ketika mengunjungi Paris, Perancis. Sebagian besar warga disana, tidak dapat berbahasa Inggris. Mereka sangat menjunjung tinggi bahasa ibu mereka, dan bahasa Inggris bukanlah salah satu hal dipelajari. Juga ketika saya tinggal di Berlin, bahasa Inggris sebagian besar hanya digunakan untuk warga pendatang. Jadi mempelajari bahasa dari negara yang dikunjungi, meskipun sekedar sapaan atau bertanya, akan cukup membantu, percayalah!

Gelato yang nagih

Membicarakan perjalanan wisata ke Venesia, rasanya tak akan ada habisnya. Untuk wisata kuliner, saya sempat mencicipi pizza dan spaghetti khas Italia, serta beberapa jenis makanan lain yang saya sendiri tak terlalu ingat namanya. Tentu saja, sambil minum cappuccino tak kalah istimewa dan patut masuk agenda Anda saat mengunjungi Venesia.

Bersantap sambil duduk di luar ataupun didalam restoran sangat luar biasa ketika di Venesia. Jika memilih di luar ruangan, maka Anda bebas untuk melihat-lihat orang berlalu lalang serta pemandangan yang seakan tak bosan-bosan untuk dilihat. Sedangkan, jika Anda makan di dalam restoran, maka ruangan khas Italia dengan berbagai lukisan dan ornamennya siap memanjakan pandangan pengunjungnya.

Gelato alias es krim Italia memang TOP! (dok.pribadi)

Tapi yang tak kalah seru adalah ketika kami berjalan-jalan dan menemukan gerai gelato alias es krim! Harganya waktu itu sekitar 2 Euro. Saya sendiri memilih rasa coklat, dan rasanya memang sangat berbeda dengan es krim di Indonesia. Tapi, memang demikian rasanya atau karena pengaruh penjualnya yang sedap dipandang mata hehehe :)

Sayangnya waktu saya dan rekan saya tidak terlalu banyak di sana, sebab kami harus kembali mengejar pesawat kembali ke Berlin sekitar pukul 1 siang waktu setempat. Pada hari Senin, kami sudah harus kembali duduk manis di kelas untuk mengikuti pelatihan.

Satu hal yang terlewat, kami tidak naik perahu khas Venesia, Gondola. Mengapa? karena biaya sewanya yang sangat mahal. Lagipula saya ingin menyisakan satu hal untuk saya lakukan bersama orang-orang tercinta nanti. Namun, kekecewaan itu terobati ketika kami melakukan perjalanan ke bandara dengan bis air yang sungguh luar biasa untuk saya.

Gondolanya sempet buat foto aja, belum jadi naik (dok.pribadi)


Meskipun dengan usahat hemat sana sini yang kami lakukan, kecuali biaya penginapan yaitu sekitar 50 Euro yang bikin saya kais-kais dompet, total biaya yang saya habiskan masih dalam kisaran lumayan bangettt, masih jauh dibanding Nekad Traveller yang video pengalaman seru mereka bisa dilihat disini . Memang masih terbilang cukup besar, bahkan membuat saya harus mengencangkan ikat pinggang pada minggu-minggu terakhir di Berlin.

Tapi, sama sekali tidak membuat saya menyesal dan saya harap pengalaman ini membuat saya bisa lebih jeli dan cermat jika lain kali bisa kembali ke sana. Semoga nanti saya bisa ke Venesia bersama orang-orang tercinta, doakan yaa!

Friday 30 August 2013

Perkembangan Telekomunikasi Seluler Pesat, Industri kreatif Digital Melesat

Ilustrasi seorang pria memegang ponsel (© Blue Jean Images/Corbis)

"Duuh..ketinggalan handphone nih, bagaimana donk? Mending ketinggalan dompet deh, daripada ketinggalan handphone. Kalau duit sih kan bisa pinjem temen".

Demikian kira-kira keluhan orang-orang zaman sekarang yang saya sering dengan. Sedemikian penting handphone alias telepon seluler (ponsel) membuat orang lebih merasa bingung ketinggalan ponsel dibandingkan dompet. Betapa tidak, ketinggalan ponsel bisa berarti ketinggalan berbagai kabar, berita dan segala sesuatu yang terjadi di sekitar bahkan di belahan dunia lain.

Indonesia merupakan salah satu negara dengan perkembangan telekomunikasi seluler yang cukup pesat. Menilik dari sejarahnya yang dikutip dari Wikipedia, kemunculan teknologi  pertama kali diperkenalkan pada tahun 1984. Perkembangan tahun berikutnya 1985 hingga tahun 1992, yaitu diperkenalkannya penggunaan teknologi seluler berbasis analog Generasi 1 (1G).

Saya masih ingat salah seorang saudara saya yang membawa telepon seluler jenis itu ketika saya masih duduk dibangku sekolah dasar (SD). Telepon seluler itu bisa dibilang sangat langka dengan harga yang fantastis saat itu, kalau tidak salah sekitar Rp 10 juta per unit.

Namun, jangan kira dengan harga sedemikian tinggi, Anda dapat memperoleh kenyamanan berkomunikasi dengan telepon seluler (ponsel). Mengapa demikian? Sebab ukurannya besar dan beratnya hampir 0,5 kilogram. Bayangkan, Anda menginginkan kepraktisan berkomunikasi namun harus membawa alat yang kurang lebih besar dan beratnya hampir sama dengan batu bata di samping rumah Anda. Tak terlalu nyaman bukan?


Jika  teknologi telekomunikasi seluler sebelumnya masih berbasis analog, pada tahun berikutnya yaitu tahun 1993, dimulai pengembangan teknologi generasi kedua yaitu 2G atau lebih dikenal dengan Global System for Mobile communications (GSM). Kemudian tahun 1994, muncul operator GSM pertama dengan cakupan terbatas yaitu Jakarta dan sekitarnya.


 
Siemens C-25 sebagai ponsel pertama saya sekitar tahun 1997 (extragsm.com)

Teknologi komunikasi seluler GSM menjadi sangat diminati, antara lain karena penggunaan kartu SIM (Subscriber Identity Module) yang memungkinan pengguna untuk mengganti ponsel tanpa mengubah nomor. Tren peningkatan penggunaan juga terjadi karena semakin meningkatnya teknologi ponsel yang dapat memperkecil ukuran, memperbaiki tampilan serta fungsi ponsel.

Tahun 1996, menjadi tonggak bersejarah bagi PT Excelcomindo Pratama (Exelcom, saat ini XL Axiata) yang berbasis GSM muncul sebagai operator seluler nasional ketiga. Ketika krisis moneter turut berimbas pada perekonomian di Indonesia, para operator telekomunikas seluler berlomba-lomba putar otak untuk tetap memberikan pelayanan terbaik dengan harga terjangkau. Excelcom meluncurkan Pro-XL sebagai jawaban atas tantangan dari para kompetitornya yang terlebih dahulu memperkenalkan produk prabayar.

Krisis Moneter    

Beruntung saat terjadinya krisis moneter tahun 1997, minat masyarakat terhadap telekomunikasi seluler tidak surut semakin meningkat. Padahal harga yang diberikan oleh para operator cukup lumayan. Saya masih ingat, pada tahun 1997, saya harus mengeluarkan uang hampir mencapai Rp 300 ribu untuk pembelian nomor perdana GSM ditambah dengan ponsel yang standar sekitar Rp 1,2 juta. Pengisian ulang pulsa pun sekitar Rp 100 ribu. Tak heran, ponsel kala itu masih menjadi barang eksklusif. Bahkan saya masih ingat rasa bangga saya ketika menggunakannya di kawasan kampus waktu itu.


Tahun 2005 kemudian bisa disebut sebagai awal dari era reformasi pertelekomunikasian Indonesia dengan uji coba jaringan 3G di Jakarta.  Kemudian, pada tahun 2006, PT Excelcomindo Pratama berhasil menjadi salah satu dari tiga operator seluler yang ditetapkan sebagai pemenang untuk memperoleh lisensi layanan 3G bersama dua operator seluler lain setelah melalui proses tender.  Excelcomindo kemudian meluncurkan layanan 3G secara komersial pada akhir tahun tersebut.

Diperkirakan jumlah pengguna seluler di Indonesia hingga bulan Juni 2010, mencapai 180 juta pelanggan. Angka itu hampir mencapai sekitar 80 persen populasi penduduk. Bayangkan perkembangannya yang luar biasa dengan waktu yang cukup singkat, bahkan tak sampai mencapai dua dasawarsa.

Saya jadi berandai-andai, bagaimana jika seseorang tertidur yang kemudian "terselip" dalam ruang waktu, sebelum tahun 1985 dan terbangun pada tahun 2013, apa yang akan ada di pikirannya? Pada tahun 1985, belum dikenal teknologi seluler, komunikasi hanya dapat dilakukan melalui melalui fixed line telephone, tapi kemudian ketika terbangun tahun 2013, hampir semua orang telah  berkomunikasi dengan ponsel. Apalagi di Indonesia, hampir seluruh kalangan dapat mengakses teknologi seluler dengan mudah.

Kemudian, apakah yang dapat kita kaitkan antara perkembangan teknologi seluler dengan industri kreatif? Sebelumnya, apakah yang dimaksud dengan industri kreatif?

Kelahiran Industri Kreatif

Masih menurut Wikipedia, Industri Kreatif dapat diartikan sebagai kumpulan aktivitas ekonomi yang terkait dengan penciptaan atau penggunaan pengetahuan dan informasi. Industri ini juga dikenal dengan nama yang berbeda, misalnya Industri Budaya di Eropa atau Ekonomi Kreatif.

Kementerian Perdagangan Indonesia menyatakan bahwa yang termasuk dalam Industri kreatif adalah industri berasal pemanfaatan kreativitas, keterampilan serta bakat individu guna menciptakan kesejahteraan, sekaligus lapangan pekerjaan dengan menghasilkan dan mengeksploitasi daya kreasi dan daya cipta individu tersebut.

Namun, jenis industri kreatif apa yang paling banyak dipengaruhi oleh perkembangan teknologi seluler? Dari beberapa jenis industri kreatif, ada satu bidang yang perkembangannya sangat pesat, tentu karena didukung dengan perkembangan teknologi seluler yang tak kalah cepat.

Tak lain tak bukan adalah industri kreatif berbasis Teknologi Informasi (TI) alias industri digital.  Nilai dari industri kreatif berbasis TI dan piranti lunak berdasarkan estimasi data tahun 2011-2012, mencapai Rp 3,9 triliun! Hal itu diungkapMenteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif,  Mari Elka Pangestu pada bulan Juni 2013 lalu, Angka ini mengalami peningkatan sekitar 9% dari tahun sebelumnya, dan diperkirakan akan naik lebih dari 10% atau double digit pada tahun berikutnya.

Namun, sebenarnya dari mana asal angka perkembangan yang fantastis tersebut? Dengan semakin luas dan tak terbatasnya informasi didukung dengan layanan perkembangan telekomunikasi, maka industri kreatif berbasis teknologi informasi bisa disebut sebagai pihak yang paling diuntungkan.

Saya ingin mengajak untuk melihat salah satu contoh yang paling menarik di Indonesia. Siapa yang tak kenal Kaskus? Sebagai salah satu situs web forum terbesar di Indonesia yang digawangi oleh tiga mahasiswa Indonesia,  Andrew Darwis, Ronald Stephanus, dan Budi Dharmawan yang tengah meneruskan studi di Amerika Serikat. Awalnya, Kaskus yang didirikan tanggal 6 November 1999 dibuat untuk memenuhi tugas kuliah dan bertujuan untuk mengobati kerinduan mahasiswa Indonesia di luar negeri. Saat itu Kaskus memuat berita-berita Indonesia yang diterjemahkan. 


Screenshot Kaskus.co.id

Pada tahun 2008, pendiri Kaskus Andrew Darwis dan rekannya, Ken Dean Lawadinata memutuskan untuk mengelola Kaskus secara profesional. Situs Kaskus, personel dan infrastuktur yang terkait akhirnya diboyong ke Indonesia. Member Kaskus pada saat itu sudah mencapai 1,2 juta. Perkembangannya yang luar biasa tampak pada penambahan anggota yang mencapai 4,5 juta pada tahun 2012.

Sepert dilansir situs Apakabardunia modal awal Kaskus tahun 1999 yang hanya 7 dolar AS, siapa sangka dalam waktu sekitar 13 tahun yaitu pada tahun 2012, Kaskus dapat menolak pinangan dari perusahaan raksasa Google sebesar 50 juta dolar AS atau setara dengan Rp 475 miliar. Apakah hal itu berarti pemasukan Kaskus jauh lebih besar dari itu?

CEO Kaskus, Andrew Darwis, enggan menyebutkan angka pasti. Namun, bisa dilihat iklan dari brand-brand besar yang mengalir deras. “Yang pasti prosentase nya terus meningkat dari tahun 2009 hingga sekarang. Kenaikan bisa lebih dari 100% per tahun,” klaim Andrew. Kaskus kini berada di peringkat pertama untuk kategori situs komunitas, dan merupakan situs lokal nomor 1 di Indonesia, menurut Alexa.

Kisah sukses yang tak kalah fantastis juga dapat diambil dari situs berita Detik.com. Dilansir Maverick.com, berdasarkan artikel berjudul "Ranah Maya, Duitnya Nyata" yang dimuat di Majalah Trust No. 27/VII, edisi 4-10 Mei 2009, detik.com berada di peringkat ke sembilan di Alexa, dalam daftar situs yang paling sering diklik di Indonesia.

Tak kalah dengan pendapatan iklan Kaskus, demikian juga detik.com. Menurut Budiono Darsono, salah satu pemilik dan pendiri detik.com, dalam tiga bulan pertama tahun 2009, mereka sudah meraup Rp25,1 milyar, atau naik 114% dari kuartal pertama tahun 2008 yang ‘hanya’ Rp11,7 milyar. Sedangkan tahun 2009, target pemasukan iklan dipatok pada angka Rp110 milyar. Tawaran pembelian Detik sebesar Rp 400 miliar saat itu masih dianggap terlalu "kecil".

Akhirnya, setelah melakukan pendekatan selama dua tahun, CT Corp berhasil menundukkan Detik.com dengan mengakuisisi Detikcom (PT Agranet Multicitra Siberkom/Agrakom) pada tanggal 3 Agustus 2011. Mulai pada tanggal itulah secara resmi detikcom berada di bawah Trans Corp. Chairul Tanjung, pemilik CT Corp membeli detikcom secara total (100 persen) dengan nilai US$60 juta atau Rp 521-540 miliar.

Kesuksesan forum Kaskus maupun Detikcom tersebut tentu saja tak bisa terlepas dari pesatnya perkembangan teknologi telekomunikasi, terutama telekomunikasi seluler di tanah air, yang semakin mempermudah akses masyarakat untuk mengakses internet dan mengunjungi serta berinteraksi di situs-situs web favorit mereka. 

Okezone.com melansir Lembaga Survei Nielsen yang mencatat pada tahun 2011, sekira 48 persen pengguna internet di Indonesia menggunakan ponsel untuk mengakses internet. Managing Director dari Divisi Media Nielsen Indonesia, Irawati Pratignyo mengatakan, tren itu akan terus berlanjut dalam 12 bulan ke depan, yakni 53 persen pengguna internet Indonesia menunjukkan akses internet melalui telepon genggam mereka dan 30 persen melalui perangkat  genggam yang memiliki kapabilitas untuk mengakses internet. Angka yang tidak bisa disebut kecil bukan?

Dukungan Komunitas

Pundi-pundi uang yang tampak semakin besar di industri kreatif digital, tentu saja semakin banyak menarik para wirausaha ataupun calon wirausaha baru untuk mengadu untung. Berbekal kemampuan TI dan kreativitas, industri ini semakin berkembang di tanah air.

Para Startup, lazimnya calon wirausaha baru dikalangan komunitas industri kreatif digital, rupanya sadar bahwa mereka akan semakin kuat dengan saling mendukung. Hal ini mendorong terbentuknya  komunitas yang dapat saling membantu satu sama lain.

Sebut saja, Danny Oei Wirianto. Sebagimana dilansir Tabloidpcplus, pria ini cukup aktif dalam industri startup. Ia turut membidani Kaskus ketika 2008 pindah ke Indonesia sebagai chief marketing officer (CMO). Danny juga aktif di inkubator startup lokal, yaitu Merah Putih Incubator. Ia pun tengah aktif di Mindtalk.com, sebuah jejaring sosial lokal.

Sayangnya, Danny meras pesimis terhadap peran pemerintah untuk dukungan startup lokal,  ““Sebab sekarang ini seperti yang dikatakan John F. Kennedy, ‘Bukan apa yang negara berikan untuk kita, tapi apa yang bisa kita lakukan untuk negara’,” ujarnya diplomatis.

Ada juga komunitas startuplokal.org yang digawangi oleh tiga orang inisiator yaitu Natali  Ardianto, Nuniek Tirta dan Sanny Gaddafi. Dalam sebuah wawancara dengan salah seorang inisiator, Natali dengan Teknojurnal dipaparkan bahwa startup lokal merupakan  sebuah usaha rintisan, spesifik di industri IT baik web maupun apps. Komunitas ini digunnakan mewadahi para founder, investor, media, developer dan praktisi IT untuk bertemu dan berkolaborasi.

"Awalnya kita sebut startuplokal v.0 . Waktu itu saya bertemu dengan Rama Mamuaya, Dondi Hananto, Sanny Gadaffi, dan Aulia Masna. Dari situ, kita ngobrol sampai jam 00.30, sangat menyenangkan dan informatif. Dari situ kita bilang, bagaimana kalau kita buat ketemuan tiap bulan. Terjadilah #startupLokal informal meetup v.1 di tempat yang sama, di Starbucks FX Plaza," tuturnya.

 Sumber: Teknojurnal.com

Komunitas ini semakin banyak mendapat perhatian dan sponsor untuk meetup yang mereka adakan.  Sejak startuplokal v.3, kami mendapatkan sponsor baik tempat dan snack. Yang menghadiri meetup tersebut mulai dari pemilik startups dan developer, ada juga rekan dari media dan pihak lain, seperti agency, dan ad media.

Menutup wawancaranya, Natali menekankan bahwa startup itu tidak mungkin bisa berdiri sendiri, tanpa dukungan dari pihak-pihak lain seperti media, investor dan rekan-rekan startup lainnya. Ia menyarankan untuk memanfaatkan komunitas semacam ini dengan baik.

"Bertemulah dengan perfect stranger, buatlah network baru. Ikutlah berkontribusi karena waktu yang anda luangkan itu adalah investasi," pungkas Natali sebagai Chief Technology Officer PT. Warato Indonesia, sebuah startup yang mendapat investment dari Jepang.

Beragam komunitas startup lain yang kemudian saling mendukung seperti investor dan media, tak pelak membuktikan bahwa industri digital kini semakin berkembang dan terus meroket.
 
Namun, menurut saya, hal itu tidaklah cukup. Dukungan teknologi komunikasi seluler, baik sebagai penyedia alat komunikasi ataupun koneksi internet, tak kalah penting. Operator seluler tdak hanya berperan penting terhadap kemajuan ini, bahkan menurut saya, memegang peranan yang sangat krusial. Termasuk, XL melalui bendera perusahaan XL Axiata sebagai salah satu operator seluler utama juga memiliki tanggungjawab yang tak sedikit demi kemajuan telekomunikasi seluler dan indutri kreatif pada umumnya, serta industri digital pada khususnya.

Saya pribadi memperkirakan dalam lima tahun ke depan, akan semakin banyak bermunculan industri kreatif digital yang mungkin tak bisa diperkirakan saat ini. Mengingat, generasi muda sekarang yang makin melek teknologi didukung dengan perangkat teknologi maupun komunikasi yang saling mengejar satu sama lain.

*Tulisan ini saya ikutsertakan dalam lomba karya tulis XLAwards sebagai masyarakat umum*










Surga Penikmat Kopi Itu Ada di Dua Negara ASEAN

 Secangkir kopi nikmat (bubblews.com)

Vietnam. Akhirnya nama negara ini muncul dalam tantangan lomba blog #10daysforASEAN yang diadakan aseanblogger. Negara ini seakan memiliki arti khusus dan sangat familiar dengan saya, meskipun saya belum pernah menjejakkan kaki kesana. Loh kok bisa? Eits, tapi apa juga hubungannya Vietnam dengan judul saya diatas tentang kopi?

Kaitannya yaitu tema yang diberikan aseanblogger, berikut cuplikannya :
 
"Sekarang ini, minum kopi sudah menjadi bagian dari gaya hidup modern. Hampir di seluruh penjuru kota, tidak hanya di Indonesia tetapi juga ASEAN, banyak tersebar gerai kopi. Di dunia, negara penghasil kopi terbesar adalah pertama: Brazil,  kedua: Vietnam dan ketiga adalah Indonesia.

Kedua negara terakhir adalah anggota ASEAN. Menuju Komunitas ASEAN 2015 ini, mampukah Vietnam dan Indonesia merebut pangsa pasar kopi dunia? Bisakah kedua negara tersebut menjadi partner produksi kopi, bukan menjadi rival atau saling bersaing?  Tuliskan pendapatmu di blog tentang kemampuan Indonesia dan Vietnam merebut pangsa pasar kopi di dunia, berkaitan dengan Komunitas ASEAN 2015. Tidak hanya bersaing tetapi bisa juga menjadi partner bersama."

Nah, kembali ke bahasan awal saya tentang Vietnam, maasih ingat posting saya sebelumnya soal saya mengurus visa untuk pelatihan di salah satu negara di Eropa? *baca kan, kan, kan :D* Nah salah satu negara peserta saat itu adalah Vietnam. Kebetulan mereka mengirimkan dua orang jurnalis yang kemudian menjadi teman terbaik saya selama pelatihan disana yaitu Dieu Nguyen Thuy dan Vu Thi Thu Tra. Dengan nama panggilan, Thuy dan Tra. 

Saya, Tra dan Thuy ditengah musim dingin di Berlin, Jerman
(dokumentasi pribadi)

Salah seorang sudah berkeluarga dan memiliki pengalaman yang hampir serupa dengan saya. Kangen anak dan suami di tanah air, nangis-nangis saat di telepon ataupun curi-curi chatting saat di kelas waktu pelatihan. Sementara yang seorang lagi adalah seorang traveler sejati, sukanya jalan-jalan. Maklum masih single. Usia kami bertiga juga tidak terpaut jauh saat itu.

Dari mereka saya melihat kebudayaan dan kebiasaan orang-orang di Vietnam. Mereka sama-sama makan nasi sebagaimana kita orang Indonesia dan juga penyuka mie. Saat kami bersama-sama, biasanya kami suka mencari restoran Vietnam. Masakan dan bumbunya tak terlalu berbeda jauh dengan Indonesia. Lidah saya dapat menikmati hampir seluruh hidangannya. Hanya saja, sebagian besar mereka beragama Budha dan terbiasa mengonsumsi (maaf) daging babi, sehingga saya harus berhati-hati memperhatikan jenis makanan yang dipilih atau ditawarkan mengingat saya seorang muslim.

Terlepas dari perbedaan, saya justru lebih banyak melihat persamaan diantara kami. Perawakan mereka juga hampir sama dengan saya, hanya saja kulit mereka lebih putih dibandingkan orang Indonesia yang berkulit sawo matang. Sama dengan Indonesia yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa asing, maka percakapan bahasa Inggris kami tak selancar rekan dari Philiphina ataupun dari Afrika yang menggunakan bahasa Inggris sebagai official language, alias semua urusan resmi termasuk di perkantoran wajib menggunakan bahasa inggris.

Kedua orang teman saya tinggal di ibukota Vietnam, Ha noi. Tidak heran, sebab mereka adalah jurnalis yang harus meliput berbagai kegiatan yang terpusat di Ibukota.  Tak terlalu berbeda dengan media di Indonesia yang banyak memusatkan kegiatan peliputan di Ibukota Jakarta.

Sedikit berbicang mengenai kehidupan politik Vietnam, yang secara resmi disebut Republik Sosialis Vietnam, merupakan sebuah negara dengan partai tunggal yaitu Partai Komunis. Itu sebabnya, hanya organisasi politik yang bekerjasama atau memperoleh dukungan dari Partai Komunis diperbolehkan mengikuti pemilihan umum.

Dari sisi kebebasan pers, karena kami sama-sama jurnalis waktu itu, saya mengetahui bahwa para jurnalis disana termasuk pegawai pemerintahan, atau juga disebut pegawai negeri disini mungkin ya. Tak hanya media, bahkan penerbitan buku pun tak sebebas di Indonesia. Ketika saya mengatakan hendak membantu teman menerbitkan buku dan rencana saya untuk melakukannya sendiri nanti, teman saya sempat terkejut. "Wah hebat sekali, di negara kami menerbitkan buku tidak mudah," ujarnya.

Untuk media seperti internet juga saya sempat mendengar setelah kembali ke Indonesia, bahwa jejaring sosial, Facebook sempat diblokir dinegara mereka. Tapi, sepertinya saat ini sudah tidak lagi, karena saya melihat akun Facebook teman saya sudah aktif kembali. Sejak berada bersama dalam pelatihan tahun 2009 silam, memang tak banyak interaksi lagi antara saya dan mereka berdua. Kesibukan kami masing-masing seakan membuat kami terlupa untuk sekedar saling sapa.

Ngopi ala Vietnam

Sayangnya, saya tak banyak bertukar cerita tentang kebiasaan minum kopi para penduduk Vietnam. Padahal Indonesia dan Vietnam adalah dua negara ASEAN yang produsen kopi terbesar di dunia, setelah Brazil. Kopi Vietnam disebut-sebut sebagai produsen kopi nomor dua, sementara Indonesia nomor tiga.

Saya lebih banyak ngopi di kamar apartement sendiri dengan kopi sachet yang saya bawa dari tanah air. Jarang saya melewatkan waktu untuk di Kafe bersama teman-teman. Sehingga pengetahuan mengenai kebiasaan ngopi pun sedikit terlewat oleh saya. Maklum, saya juga harus menghemat uang saku kala itu. Jadi saya membawa dari Indonesia, seperti mie instan, kopi sachet dan teh siap pakai.

Saya justru mengintip dari blog beberapa teman traveller yang pernah mengalami ngopi di Vietnam, mbak venus di blognya yang keren http://venus-to-mars.com/ dan mas Harry Jusdi dalam blog http://harryjusdi.wordpress.com/ .

Dari blog mas Harry saya tahu bahwa kopi disebut Ca Phe dan susu dalam bahasa Vietnam adalah Sua. Kemudian Ca Phe Sua artinya Kopi Susu, Ca Phe Sua Da untuk Kopi Susu Dingin dan Ca Phe Sua Nong artinya Kopi Susu Panas.

Bahasa Vietnam memang unik, kata dalam bahasa mereka sangat singkat, biasa terdiri dari dua huruf sampai empat huruf. Bisa terlihat dari sebutan kopi dan nama teman-teman saya di atas. Itu sebabnya sewaktu kedua teman saya mengobrol, bagi orang asing seperti saya, mereka bicara dengan sangat cepat, mungkin karena tiap katanya memang sangat pendek.

Nah, dari blog mas Harry dan mbak Venus juga saya tahu bahwa penduduk Vietnam punya kebiasaan unik dalam minum kopi yaitu terlebih dahulu menyaring dengan menggunakan coffee drip agar kopi tak berampas dan mencampurnya dengan susu manis.

Vietnam coffee (© MIYOKO KOMINE/amanaimagesRF/amanaimages/Corbis)

Tapi kalimat-kalimat kenikmatan kopi Vietnam mbak Venus yang justru bisa bikin bahkan bukan penggemar kopi pun jadi ngiler ngebayanginnya :

"Bayangin kopi panas (kopi beneran, bukan instan) yang keeeeental banget, peeeeeekat banget, yang pahitnya pol-polan, dipadu dengan susu kental manis dalam takaran besar, kadang hampir sepertiga dari jumlah cairan kopi pekatnya. Campuran (dan takaran) ajaib itu kemudian disajikan dalam gelas kecil, panas-panas, atau super dingin dengan es batu, disruput perlahan-lahan, dinikmati setiap tetesnya, sampai tandas."

Slurrrrppp..panas-panas gini, saya jadi bayangin satu gelas kopi campur susu dingin ada di hadapan saya saat ini juga *tongkat sulap manaaa tongkat sulaaap* :D

Lawan atau Kawan?

Kenikmatan kopi Vietnam memang mengundang banyak pengagum. Produksi kopi yang didominasi dari jenis robusta, merupakan salah satu sumber pendapatan utama Vietnam sejak permulaan abad ke-20 dan kini menjadi menjadi kekuatan ekonomi utama mereka.

Sebagaimana dilansir Indonesia Finance Today mengenai produksi kopi Indonesia dan Vietnam, bahwa satu hektar, kebun kopi di tanah air hanya mampu menghasilkan sekitar 500 kilogram kopi. Sedangkan, Vietnam sudah mampu menghasilkan 2 ton kopi per hektare. Data ini berdasarkan Food Agriculture Organization (FAO) tahun 2012. Perbedaannya cukup besar, sehingga tak heran produksi kita dari sisi kuantitas masih tertinggal jauh.

Tercatat, pada tahun 2012, Indonesia mampu memproduksi sedikitnya 748 ribu ton atau 6,6 persen dari produksi kopi dunia. Sedikt berbeda dengan Vietnam, produksi kopi Indonesia, hampir mencapai 20 persen dari jenis Arabika, dan sisanya kopi robusta. Sementara, produksi kopi di Vietnam masih didominasi oleh kopi robusta. Dari segi harga, kopi Arabika  memiliki harga jual sekitar 3-4 kali lipat dibanding Robusta.

Di pasar kopi internasional, sebenarnya produk kopi Robusta yang menjadi fokus produksi di Vietnam memiliki kualitas yang lebih rendah jika dibandingkan dengan Arabika sebagai komoditas ekspor. 

Jadi bagaimana Indonesia dan Vietnam bisa berjalan beriringan sebagai sesama negara ASEAN meraih pasar kopi dunia?

Menurut pandangan saya, perlu diadakan studi banding antara kedua negara dalam pengembangan kopi. Konon, Vietnam dulu pernah mempelajari mengenai perkebunan dan pengembangan produksi kopi, namun nyatanya saat ini mereka lebih menguasai pasar dari segi kuantitas.

 Kebun kopi di Lampung (republika.co.id)

Lalu apa keuntungan untuk keduanya jika diadakan kerjasama dan bagaimana caranya? Menurut saya, Indonesia memiliki berbagai jenis kopi berkualitas yang sangat spesial, yang terkenal di dunia seperti Gayo Coffee, Mandailing Coffee, Lampung Coffee, Java Coffee, Kintamani Coffee, Toraja Coffee, Bajawa Coffee, Wamena Coffee serta Luwak Coffee. Dari sini Vietnam, dapat mempelajari bagaimana mengembangkan kopi-kopi spesial tersebut.

Sementara Indonesia dapat mempelajari bagaimana memaksimalkan produksi kopi sebagaimana yang dilakukan Vietnam. Tentu saja mereka memiliki budidaya tertentu yang dapat memperkaya pengetahuan para petani kopi di Indonesia.

Mungkinkah hal ini dilakukan? Saya yakin tidak ada yang mustahil, apalagi Indonesia dan Vietnam bagaikan saudara serumpun. Dengan keterlibatan berbagai pihak dan kesungguhan bersama, bukan tak mungkin dalam beberapa tahun ke depan, Brazil tak lagi berada di posisi teratas di pasar kopi dunia.

Ah, semoga teori dan harapan saya tak terlalu muluk-muluk. Yang pasti saya sangat menikmati hangatnya hubungan persabaatan saya dengan dua warga Vietnam dan menantikan ingin bertemu mereka kembali ketika mereka berkunjung ke Indonesia ataupun saya yang bisa menjejakkan kaki di sana. Doakan ya!







Thursday 29 August 2013

Visa or No Visa?

 Paspor Republik Indonesia (extratravel.co.id)

Aw..aww pagi-pagi sudah disuguhin tema yang membahana di hari ke-4 lomba blog #10daysforASEAN yang diadain aseanblogger . Temanya gak tanggung-tanggung, kali ini soal visa.Tapi sayangnya ini bukan makanan asal Italia itu loh ya *eh itu sih pizza kali..fokus rin..fokus* hehehe :)

Apalagi kali ini visa dikaitkan dengan pengurusan visa di negara Myanmar. Baiklah, Om Google let's get to work! Oh ya, saya cuplik dulu tema penugasannya nih ya :
 
"Hampir semua negara di ASEAN, telah membebaskan pengurusan visa bagi wisatawan yang ingin berkunjung ke negaranya, namun tidak dengan Myanmar. Kenapa ya, berwisata ke Myanmar tidak cukup dengan mengandalkan paspor saja? Perlu atau tidak visa bagi perjalanan wisata?"

Baiklah daripada riuh rendah dan sorak sorai saya berkelanjutan, mari kembali ke tema. Tapi, saya pakai contoh yang pernah saya alami dulu kali ya. Sebagaimana prinsip saya, "Menulis yang Dipahami, Memahami yang Ditulis". Artinya, tiap tulisan saya diusahakan agar dapat dipahami pembacanya dan saya mendapat pengetahuan baru dari penulisan yang saya lakukan. Hihihi ngejelasin ini aja udah ribet ya maak :)

Definisi dan Cara Pengajuan Visa

Jadi apa sih yang dimaksud visa?  Visa merupakan surat rekomendasi yang dikeluarkan oleh perwakilan dari suatu negara tertentu ketika seseorang ingin memasuki negara yang bersangkutan. Bentuk dari surat rekomendasi ini seperti stiker yang ditempel di halaman dalam paspor dengan ukuran beragam, mulai dari sebesar perangko, KTP atau bahkan mungkin juga hanya berupa cap stempel saja.

Nah masing-masing negara memiliki kebijakan visa yang berbeda, misalnya bebas visa, bebas hanya untuk negara tertentu atau harus dengan visa tanpa terkecuali. Tapi, untuk pemegang paspor asal Republik Indonesia tidak terlalu banyak negara yang memberlakukan bebas visa, karena sebagian besar negara mash memberlakukan visa ketika ingin memasuki negara mereka.

Pertama kali saya harus mengurus visa yang belibet ke Kedutaan Besar (Kedubes) adalah ketika saya mendapat beasiswa untuk pelatihan yang dilaksanakan di salah satu negara Eropa. Jadilah saya wajib mengurus visa schengen. Sebelumnya saya sudah pernah ke beberapa tetangga, namun memang tidak memerlukan visa.

Untuk mengurus visa ini memang sedikit ribet ya sodara-sodara. Beberapa berkas dokumen harus saya siapkan. Beruntung saya memperoleh beasiswa yang didukung penuh oleh Kedubes asal negara tersebut, jadi rekomendasi saya langsung diberikan oleh pihak sana.

Tapi untuk memperoleh visa, tetap saja, saya harus daftar. Ketika datang pagi-pagi, saya lihat sudah ada antrian masuk di depan Kedubes. Nah, beruntung lagi saya karena bebas antrian awal. Saya langsung menemui salah satu petugas di Kedubes. Setelah mengobrol beberapa saat, beliau memberikan surat rekomendasi untuk saya. Tapi, itu baru awal proses pengurusan visa, sodara-sodara.

Inget ya, kalau ngurus visa itu wajib hukumnya bawa paspor! Jangan kaya saya, pake acara drama ketinggalan paspor hahahahaa *kacau ini pelupanya*

Setelah itu saya harus antri dalam satu ruangan untuk menyerahkan semua berkas. Para pengantri diberikan nomor antrian. Saya sengaja duduk sedekat mungkin dengan loket. Bukan buat ngintip, sedikit sih, maklum belum pernah ngurus yang beginian. Ternyata, ada biaya yang harus dikeluarkan. Waduuuh..saya kan gak bawa uang sebesar itu, tapi kok ya gak diberitahu sebelumnya? Bimbang dan galaulah saya selama menunggu.

Alhamdulillah, ternyata karena saya ikut program beasiswa yang didukung oleh Kedubes secara langsung, maka visa saya bebas biaya. Horeee!! Hahahaha emang nikmat kalo dapat gratisan yak.

Setelah ditanya-tanya sedikit sama petugas di loket soal kelengkapan dokumen, kemudian saya diberikan selembar surat dan disuruh kembali, kalau tidak salah sekitar dua minggu kemudian. Untuk apa sodara-sodara? Ya untuk ngambil visa lah. Tapi bentuknya seperti apa juga saya gak tahu saat itu. Eh moga-moga belum bosen ya baca tulisan saya ini, hihihi padahal belum nyentuh Myanmar sama sekali ini.

Sesuai dengan waktu yang ditentukan saya pun kembali ke Kedubes. Penasaran pengen tahu gimana sih visa schengen. Taraaaa...ternyata visa itu berupa cap dihalaman dalam paspor dengan foto dan beberapa info lainnya di dalam paspor. Tapi, demi alasan keamanan, saya nggak berani foto paspor saya lengkap dengan visa schengen. Saya ambil ilustrasinya dari euronews, kira-kira seperti ini.

Visa schengen dalam paspor (euronews.com)


Kebijakan Pemerintah Myanmar

Kemudian bagaimana dengan kebijakan Myanmar yang memberlakukan visa, sementara sebagian besar negara ASEAN sudah membebaskan pengurusan visa bagi wisatawan yang ingin mengunjungi negaranya?

Menuru berita-berita yang saya baca mengenai Myanmar, kemungkinan kebijakan visa tersebut berkaitan dengan kondisi politik yang dikuasai militer dan faktor keamanan negara yang diwarnai dengan gelombang protes dari sebagian penduduk. Banyaknya gejolak politik dan instabilitas keamanan, membuat negara yang sebelumnya dikenal dengan nama Birma ini seakan-akan mengisolasi diri dari dunia luar.

Selain itu, sebagaimana di lansir di Kompas.com, Myanmar juga menghadapi konflik sosial yang memprihatinkan. Terjadi kekerasan massa yang semakin meningkat diantara kelompok mayoritas Buddha dengan minoritas Muslim, terutama dari suku Rohingya, yang berada di Negara Bagian Rakhine. Hal ini disebut-sebut sebagai dampak dari transformasi politik.

Fiuuhh..berat sekali ya membahas kondisi negara Myanmar saat ini, tak heran hal itu yang melatari kebijakan visa mereka.

Pengajuan visa on arrival ke Myanmar secara online (Myanmar-visa.org)

Untuk yang tetap berusaha masuk Myanmar, dapat mengajukan visa on arrival  (VOA) ke Myanmar secara online sebagai alternatif mendatangi Kedubes atau Konsulat secara langsung. Untuk pengajuan visa tersebut, isilah forum aplikasi secara online, kemudian menyiapkan paspor yang berlaku lebih dari enam bulan sejak kedatangan, foto dan dokumentasi lainnya. Lalu akan ada surat persetujuan yang dikirimkan.

Namun, bukan berarti kemudian kita langsung bebas melenggang masuk Myanmar. Yang menentukan justru ketika masuk di gerbang kedatangan, bisa saja tiba-tiba dilarang oleh petugas militer disana. Sepertinya memang perlu sedikit perjuangan jika keukeuh ingin berkunjuang ke Myanmar.

Negara Maju Vs Negara Berkembang

Jadi bagaimana sebaiknya negara memberlakukan kebijakan visa? Memang hal tersebut sangat tergantung dari kebijakan masing-masing pemerintahan. Sayangnya, kebijakan visa ini bisa disebut berbau "diskriminatif". Untuk sebagian besar negara maju, sebagian besar pemegang paspornya nyaris tidak memerlukan visa saat mengunjungi negara lain. Sementara, negara-negara berkembang, masih belum bisa menikmati fasilitas bebas visa saat memasuki negara tertentu.

Visa on Arrival merupakan salah satu bentuk pengajuan visa yang diperoleh saat seseorang memasuki bandara kedatangan di negara yang dikunjunginya. Hanya saja untuk pemegang paspor Republik Indonesia, bisa dibilang baru sedikit negara yang memberlakukan bebas visa ataupun VOA. Berikut keterangannya yang saya kutip dari Extratravel :

1. Bebas Visa untuk WNI:
  • Hampir semua negara anggota ASEAN (Thailand, Malaysia, Singapura, Brunei Darusalam, Philipina, Vietnam).
  • Beberapa negara asia seperti Hongkong dan Macao
  • Beberapa negara Amerika selatan seperti Chili dan Peru
  • Negara Afrika seperti Maroko Negara kepulauan pasific yaitu Guam dan Fiji
  • Negara Eropa seperti Turki
2. Visa On Arrival
  • Negara Asia seperti Laos, Timor Leste, Mesir, Nepal, Srilanka, Maladewa
  •  Negara Arab seperti Oman dan Iran
Catatan : Daftar ini kemungkinan bisa berubah, bertambah atau berkurang jadi jadi untuk info terbaru silakan di cek di kedutaan negara yang akan Anda kunjungi.


Sementara untuk teman-teman yang akan berkunjung ke Jepang, Amerika ataupun negara Eropa, kebijakan visa yang berlaku adalah pengajuan langsung ke Kedubes atau Konsulat perwakilan negara tersebut. Sebagaimana yang saya ceritakan dalam pengalaman saya sebelumnya.

Jika sebuah negara ingin mengundang warga negara asing atau wisatawan sebanyak-banyaknya ke negaranya, tentu saja pemberlakuan bebas visa ataupun alternatif visa on arrival dapat diberlakukan. Semua tergantung kepada kesiapan masing-masing negara. Mari berharap Indonesia dapat semakin banyak menikmati fasilitas bebas visa, sehingga kita bisa lebih nyaman melakukan perjalanan. Setujuu?
 














Wednesday 28 August 2013

Indonesia For Your Unforgettable Moments

Pulau Raja Ampat (www.indonesia.travel)

Setelah dua hari berturut-turut menebarkan pandangan ke negara-negara tetangga, dalam rangka menulis untuk lomba blog #10daysforASEAN yang diadakan aseanblogger.com maka pada hari ke-3 para peserta diminta untuk kembali ke tanah air. Berikut saya cuplik penugasan dari panitia :

"Indonesia kaya dengan beragam budaya, namun di sektor wisata, Malaysia lebih berhasil mem-branding “Truly ASIA”. Kira-kira apa ya branding yang cocok untuk Indonesia? Buat tagline, dan jelaskan kenapa tagline itu cocok untuk Indonesia di kawasan ASEAN".


Pertama membaca ini, saya terdiam sesaat. Ada kebingungan di dalam otak saya. Bingung karena buntu?

Bukan, sama sekali bukan. Di dalam otak saya, tiba-tiba membuncah puluhan bahkan ratusan ide mengenai bagaimana keindahan Indonesia didukung oleh ragam budaya yang sangat kaya. Berbagai pengalaman pribadi sampai dengan hal-hal yang saya dengar, baca dan lihat dari berbagai media tentang Indonesia seakan berlomba-lomba menyeruak dan meminta untuk segera ditulis.

Jujur saja, setiap kali saya melihat iklan wisata Malaysia "Truly ASIA" ada sedikit terasa cubitan di hati. Cuplikan tayangan yang memuat pemandangan matahari terbit, bentangan pegunungan, pantai-pantai indah, harimau dan orang utan, lokasi wisata arung jeram hingga kawasan perbelanjaan modern dan kuliner. Hati saya seakan berteriak "Itu semua juga ada di Indonesia!!!"

Mengapa keindahan Indonesia di mata internasional hingga saat ini masih terbatas pada Bali? Padahal siapa yang dapat mengingkari keindahan pemandangan matahari terbit ketika berdiri di Gunung Bromo, pantai-pantai yang luar biasa di Raja Ampat, Papua, kemudian mengarungi arung jeram Citarik yang menantang, berinteraksi dengan orang utan di pulau Borneo alias Kalimantan dan menikmati pengalaman belanja di Jakarta sebagai "kota sejuta mal". Lalu siapa yang dapat menolak kenikmatan sate ataupun nasi goreng khas Indonesia, yang bahkan dikangeni oleh seorang Presiden Amerika Serikat, Barack Obama. Apakah itu masih kurang? Dimana salahnya?

Tanggungjawab Bersama
 
Saya sendiri enggan terlalu menyalahkan Pemerintah yang kini wewenangnya berada di Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.  Mungkin akan ada pernyataan, "Loh kan memang mereka yang bertanggung jawab, memangnya kita bisa apa sebagai orang biasa?"

Tentu saja bisa! Apakah Anda biasa berbelanja negara tetangga padahal barang yang sama dapat ditemukan di Indonesia? Apakah Anda jauh-jauh mendatangi pantai indah di negara lain, padahal pantai indah menghampar di hampir seluruh pulau di tanah air? Satu pertanyaan yang tak kalah penting, banggakah Anda menjadi seorang warga negara Indonesia?

 "Idih kok jadi kejauhan sih soal wisata sampai ke kebanggan menjadi warga negara segala, lebay deh". Kalau itu yang kemudian jadi tanggapannya, yuk mari saya ulik lagi sudut pandang saya.

Saya ambil satu contoh mudah. Saat ini musim jejaring sosial. Semua rasanya harus dipublikasikan di jejaring sosial, mulai dari bangun tidur sampe berangkat tidur lagi. "Eksis dong". Itu alasan sebagian orang yang saya tanya.

Nah, sebagian besar merasa lebih bangga posting foto-foto ke luar negeri dibandingkan dengan wisata di dalam negeri. Betul atau betul?

Saya sendiri tidak mengingkari hal tersebut, karena foto profil saya di Facebook pakai foto waktu saya di salah satu negara Eropa kok hehehe. Eits, bukan berarti saya kurang nasionalis dan tidak konsisten dengan perkataan saya barusan loh. Pasalnya, foto itu diambil oleh seorang teman dengan menggunakan kamera yang bagus dengan sudut yang pas. Sehingga, menjadi salah satu foto favorit saya.

Kembali ke soal wisata, jadi seharusnya bagaimana dong? Saya sendiri secara pribadi jarang melakukan travelling, karena memang saya orang rumahan dan anak-anak yang masih kecil untuk dibawa bepergian, kesibukan suami sering tidak mengizinkan. Jadi wisata yang saya lakukan, sebagian besar tidak jauh-jauh di sekitar kota kediaman saya.

 Arung jeram di sungai Citarik, Sukabumi, Jawa Barat 
(www.disparbud.jabarprov.go.id)

Namun, saya bercita-cita untuk mengunjungi beberapa lokasi wisata nasional sebelum melanglang buana ke wisata luar negeri. Saya ingin menikmati  pemandangan matahari terbit di Gunung Bromo, menyelam di pantai-pantai Raja Ampat, Papua, dan mampu mengumpulkan keberanian untuk mengarungi arung jeram Citarik, bahkan mengunjungi orang utan di Kalimantan, tak hanya sekedar melihatnya di Kebun Binatang Ragunan.

Produk Dalam Negeri 
 
Saya sendiri berusaha mulai mencintai produk-produk anak negeri. Saya suka melihat-lihat secara online, kain-kain tradisional Indonesia, seperti batik, tenun, songket dan lain-lain.Kain-kain tersebut kemudian dijadikan baju, peralatan rumah tangga dan bahkan tas sampai sepatu. Betapa saya kagum melihat karya-karya anak bangsa yang luar biasa yang tampak pada hamparan kan-kain cantik tersebut. Terbayang tangan-tangan terampil yang dengan tekun mengerjakannya.

 Sarung bantal dan taplak meja batik (koleksi Ati Soerjo Galeri)

Namun, itu hanyalah sebagian kecil dari produk dalam negeri yang bisa saya gunakan. Ditengah gempuran produk-produk impor di Indonesia, kini rasanya semakin sulit mencari produk-produk tertentu yang merupakan buatan dalam negeri. Peralatan sekolah anak-anak, produk plastik rumah tangga hingga beberapa jenis buah kesukaan anak-anak, masih banyak yang merupakan produk impor.

Tapi, ada satu yang tidak bisa diimpor, lokasi pariwisata! Hehehe ya iya lah, mana bisa pantai dan gunung diimpor. Selagi kita bisa mengunjungi lokasi wisata nusantara yang tak kalah memukau untuk apa jauh-jauh ke luar negeri, demikian juga kalau belanja masih bisa dilakukan di Indonesia, buat apa terbang ke negara tetangga untuk berbelanja. Bukankah demikian?

Kemudian, tugas Pemerintah adalah untuk membuat kebijakan-kebijakan yang dapat mendukung perkembangan pariwisata Indonesia. Memperbaiki lokasi wisata dengan sarana dan prasarana memadai, mengadakan pelatihan untuk pemandu wisata dan masyarakat sekitar lokasi bahkan mungkin membuat suatu kebijakan yang bekerjasama dengan maskapai penerbangan atau sarana transportasi lain, agar biaya transportasi ke beberapa kawasan wisata nusantara semakin terjangkau. Setuju atau setujuu? Saya sih setuju banget deh.

Tentu saja tulisan saya ini hanyalah sudut pandang yang sangat subyektif dan setiap orang punya pandangan masing-masing. Namun, saya yakin setiap orang mampu untuk berkontribusi dalam memajukan pariwisata nusantara. Lakukan mulai dari hal yang paling mudah dan lakukan sekarang.
 
 Gunung Bromo di Jawa Timur (www.balibackpaker.blogspot.com)

Berkaca dari tulisan saya ini, ada beberapa ide saya untuk menjawab pertanyaan mengenai tagline untuk branding Indonesia yang mudah diingat. Saya sempat terpikir untuk membuat tagline "Indonesia, Unforgettable Asia". Tapi kok rasanya jadi menjiplak tagline dari Malaysia yang sudah banyak dikenal itu. Maka saya mencoba membuat tagline lain. Kemudian, saya memutuskan untuk membuat tagline ini "Indonesia for Your Unforgettable Moments".

Kalau ditanya kenapa harus buat tagline berbahasa Inggris, maka saya akan menjawab karena ini akan diperuntukkan bagi seluruh warga dunia dan kebetulan bahasa Inggris adalah bahasa internasional yang paling banyak digunakan. Untuk saya, bahasa Indonesia tetap menjadi jati diri dan kebanggan saya, sebagaimana saya bangga dengan kekayaan alam dan budaya Indonesia. Merdeka!!


  






















Tuesday 27 August 2013

Indonesia-Kamboja: Satu Rumpun, Dua Budaya, Satu Hati


Bendera Indonesia dan Kamboja

Hai..haiii hari Selasa ini buat saya berarti hari ke-2 sebagai peserta lomba blog #10daysforASEAN yang diadakan aseanblogger.com Yuuk semangat!

Nah, kalimat pertama yang diberikan panitia untuk tema hari ini adalah pertanyaan "Sudah pernah berwisata ke Candi Borobudur?". Alhamdulillah udah pernah, meskipun cuma satu kali, kalo gak mau ditaro kemana ini muka :D

Perjalanan saya ke Candi Borobudur yang berada di Magelang, Jawa Tengah, waktu saya masih pake rok abu-abu dan masih chubby-chubby imut, alias karya wisata bareng sekolah. Duuh itu udah sekitar belasan tahun yang lalu. Maklum saya itu bukan tipe manusia travelling, kecuali ada tugas negara dan perintah suami untuk jalan-jalan *mauunyaaa*.Yang saya inget candi Borobudur itu luaaas dan tangganya banyaaaaak sekali. Perjuangan banget deh mau mencapai ke atas. Hahaha jaman saya gadis remaja aja udah ngos2an, gimana sekarang ya.

Kabarnya, Candi Borobudur yang merupakan candi Buddha dan Angkor Wat, sebuah kuil Hindu yang berada di kota Siem Reap, kota kecil di bagian utara Kamboja, memiliki kemiripan. Itu bukan kata saya loh ya, lha wong saya belum pernah ke Angkor wat, tapi  menurut penjelasan ahli sejarah.

Candi Borobudur dan Kuil Angkor wat 
(foto-foto: world-visits.blogspot.com dan commons.wikipedia.org)

Kata para ahli lagi, keduanya terpisah jarak waktu pembangunan sekitar tiga abad.Candi Borobudur diperkirakan dibangun sekitar 824 Masehi oleh Raja Mataram, sementara Angkor Wat dibangun oleh Raja Suryavarman sekitar tahun 1112-1152 M.Kalau ditelusuri lagi, kemiripan itu juga agak aneh sebab dilihat dari latar belakang agamanya saja sudah beda ya.

Yang kemudian menjadi pertanyaan selanjutnya, apakah hal ini  menandakan bahwa negara-negara di ASEAN itu serumpun? Saya sendiri tertarik menjawab pertanyaan ini dengan mempelajari lebih lanjut kemiripan masyarakat Kamboja dan Indonesia dari segi kebudayaan, tak sekedar Borobudur dan Angkor Wat.

Sebenarnya, hubungan politis antara Indonesia dengan Kamboja secara historis juga sangat menarik. Bahkan hubungan ini masih terjalin dengan baik sampai saat ini. Pada gelaran Pemilihan umum (pemilu) di Kamboja pada bulan Juli 2013 lalu, mereka mengundang Mantan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla ke Phnom Penh, sebagai Chairman Centrist Asia Pacific Democrats International (CAPDI) untuk memantau pelaksanaan pemilihan tersebut.

Menurut Wikipedia, jauh sebelum kemerdekaan Kamboja, Negara Kesatuan Republik Indonesia banyak membantu negara ini. Beberapa buku taktik perang yang dibuat oleh perwira militer Indonesia digunakan oleh militer Kamboja. Tak heran, jika pada saat itu, para calon perwira di militer Kamboja diwajibkan belajar dan dapat berbahasa Indonesia.

Namun, saya sendiri bukanlah pengamat politik dan tidak memiliki kapasitas untuk itu. Apalagi Kamboja merupakan salah satu negara dengan perkembangan politik dan konflik yang agak rumit dan menuai beberapa gejolak dalam negeri, yang tak terlalu saya pahami.  Saya lebih tertarik untuk membahas lebih lanjut dari sisi sosial budaya dari negeri Kamboja ini.

Beras Wangi Hingga Delman


Meskipun Indonesia kini mayoritas penduduknya beragama Islam, sementara penduduk Kamboja mayoritas beragama Buddha, namun tak bisa dipungkiri bahwa Indonesia juga memiliki sejarah agama Buddha serta Hindu pada awal abad Masehi. Sampai akhirnya, agama Islam kemudian dibawa melalui para pedagang yang menyebar ke seluruh nusantara.

Namun, ini bisa jadi menjadi satu poin penting, akar budaya yang sama antar Indonesia dan Kamboja, mengingat agama merupakan hal prinsip dan identitas dari seseorang dan sebuah komunitas. Yang bukan tak mungkin, hal ini yang melatari kemiripan antara Borobudur dan Angkor Wat.

Persamaan berikutnya, Indonesia dan Kamboja juga sama-sama mengedepankan agrikultur, yang masih menjadi andalan utama kehidupan ekonomi masyarakat, terutama untuk masyarakat desa. Ini juga yang membuat nasi, sama-sama menjadi makanan pokok di Indonesia, maupun Kamboja.

Jika di Indonesia kita mengenal beras pandan wangi asal Cianjur atau beras wangi Rajalele maka di Kamboja juga dikenal beras wangi. Selain itu, beras ketan juga menjadi salah satu hidangan yang umum ditemukan di Kamboja, sebagaimana di Indonesia. Di sana, beras ketan biasa dijadikan hidangan penutup atau dimakan bersama durian. Hehehe ini mengingatkan saya akan kebiasaan Papa saya yang berasal dari Sumatera Barat. Beliau biasa makan beras ketan dengan durian, yang kemudian menular kepada anak-anaknya. Nyam..nyaam..mak nyos loh beneran *duren manaaa dureen*

Semakin jauh mencari tahu tentang Kamboja, terutama para penduduknya, seakan-akan sedang melihat saudara-saudara se-tanah air. Lihat saja penggunaan sarung atau biasa disebut sampot di Kamboja, serta kain-kain tenun tradisional asal Kamboja lainnya, yang sekilas hampir mirip dengan tenun asal Indonesia.

Tampak beberapa persamaan antara tari khas asal Kamboja dan tari Bali
(foto-foto: trololoblogg.blogspot.com dan metro-bali.com)

Yang tak kalah menarik adalah persamaan dari kendaraan tradisional Kamboja, Tuk-tuk. Semacam delman di Indonesia, hanya saja Tuk-tuk menggunakan sepeda motor. Sementara itu, di Indonesia sebagian besar masih menggunakan kuda.

Oh ya, kabarnya rakyat Kamboja juga sangat menyukai sepak bola. Tak terlalu banyak berbeda dengan kita di Indonesia, bukan?

Ah membicarakan negara Kamboja membuat saya tergelitik untuk mengunjungi dan menyelami adat dan tradisi masyarakat disana yang tampaknya serupa tapi tak sama dengan Indonesia. Doakan saya semoga bisa segera berkunjung ke Angkor Wat, memakai sampot, naik Tuk-tuk dan tak lupa makan beras ketan dengan duriannya. Ayo siapa yang mau ikut?

















Monday 26 August 2013

Antara Salon Thailand, Tahun 2015 dan Era Masyarakat Ekonomi ASEAN


Gambar ilustrasi © Lawrence Manning/Corbis

 "Jeng..jeng..pake sabun beras asal Thailand ini loh. Pasti kinclong deh,".

Kira-kira demikianlah ucapan yang sempat beberapa kali mampir di telinga ataupun tawaran yang kurang lebih hampir serupa dengan promosi tersebut di berbagai jejaring sosial. jenisnya pun beragam mulai dari sabun beras, sabun susu, atau ada juga sabun beras susu, serta sabun mutiara. Semuanya berujung pada satu hal, memutihkan kulit.

Terlepas dari sabun tersebut bisa benar-benar memutihkan atau tidak, ada dua fenomena lain yang saya tangkap dari hal tersebut. Apakah itu?

Pertama, orang-orang Indonesia sangat mudah terbius oleh produk impor. Kalau sudah disebut impor, gengsi langsung naik dan serasa jadi orang paling keren kalau memakainya. Kedua, betapa inginnya orang-orang Indonesia berkulit putih. Seakan-akan kulit yang putih menjadi dambaan dan dapat meningkatkan prestise. Padahal memang kulit sawo matang adalah identitas asli bangsa Indonesia.

Kalau saat ini, kita masih bisa tenang-tenang saja menghadapi hal tersebut dan semacamnya, tapi bagaimana dengan tahun 2015 nanti? Ada apakah tahun itu? Sebelum menjawab pertanyaan itu, maka kita harus mulai dari awal.

Ada yang masih ingat apa itu ASEAN? Hehehe ayo buka-buka lagi buku pelajaran anaknya, atau cari deh di Om Google.

aseanblogger.com

ASEAN adalah kepanjangan dari Association of South East Asia Nations. Ketika diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, ASEAN disebut juga sebagai Perbara yang merupakan singkatan dari Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara.

ASEAN didirikan tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok. ASEAN diprakarsai oleh 5 menteri luar negeri dari wilayah Asia Tenggara, yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina dan Singapura. Hingga kemudian negara-negara lain bergabung Brunei Darussalam, Vietnam, Myanmar, Laos dan Kamboja.

Sebagai bagian dari pembangunan komunitas di ASEAN, ada yang disebut dengan ASEAN Economic Community (AEC) 2015 atau diterjemahkan sebagai Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Ada tiga hal penting didalamnya yaitu integrasi perdagangan, pelayanan dan  wilayah investasi. Ketiganya dianggap sama penting dengan masyarakat politik dan keamanan serta masyarakat sosial dan budaya.

Kebebasan Pergerakan SDM


Dari sini kita akan mulai menjawab pertanyaan diatas tadi. Sebenarnya sabun pemutih Thailand itu merupakan salah satu pengandaian saya terhadap ASEAN Economic Community diatas yang akan berlaku tahun 2015. Tapi apa pengaruhnya sih buat kita? Tentu saja ada, bahkan pengaruhnya sangat luar biasa.

 Ilustrasi pribadi

Memasuki tahun 2015, akan ada kebebasan pergerakan Sumber Daya Manusia (SDM) di segala lini ASEAN dan tentu saja pergerakan bebas itu tetap mensyaratkan hal yang harus dipenuhi.  Selain ijazah, ASEAN Community juga menuntut adanya sertifikat kompetensi, yang semuanya berbasis kompetensi termasuk keterampilan (skills).

"Ah tenang aja, mereka yang masuk ke Indonesia kan tetap ada persyaratan. Ngapain sih khawatir?"

Bisa saja itu menjadi tanggapan para SDM di Indonesia. Tapi, yang kemudian harus dipikirkan, bagaimana jika kemudian Pemerintah di negara-negara asal ASEAN lain sudah mampu menggenjot kompetensi para SDM sehingga mereka dengan mudah dapat memperoleh sertifikat kompetensi dan masuk sebagai tenaga kerja di Indonesia?

Bagaimana jika pasar Indonesia yang sangat besar dan potensial ini menjadi "santapan" para SDM dari luar negeri, akan dikemanakan SDM asal Indonesia? Apalagi SDM dengan sertifikat kompetensi masih sangat jarang ditemukan di Indonesia. Jangankan mau bersaing mencari nafkah di luar negeri, bahkan bersaing dengan SDM yang datang lengkap dengan sertifikasi kompetensi pun tak mampu?

Jika hal ini sudah terjadi, maka bisa jadi, semakin banyak pengangguran, penurunan daya beli masyarakat dan pada akhirnya kemerosotan pembangunan. Apakah itu yang kita inginkan?

Salah satu contoh yang bisa terjadi adalah berdirinya salon-salon Thailand yang profesional dan mempunyai sertifikat tingkat Nasional. Mari kita semua meluangkan sedikit waktu untuk berpikir apakah mungkin salon-salon tersebut akan menggeser salon lokal?

Gambar ilustrasi © Achim Sass/Westend61/Corbis

Jika kita berkaca pada sabun pemutih asal Thailand tersebut, rasanya hal tersebut sama sekali tidak mustahil. Ditambah dengan kepercayaan mayoritas masyarakat Indonesia yang sangat menyanjung produk impor, termasuk tenaga kerja "impor". Apakah kita sebagai anak bangsa, rela jika semua lini pekerjaan ditempati oleh para pekerja dari luar negeri, sementara kita tidak memiliki kesempatan di negeri sendiri?

Nanti tak sekedar salon-salon Thailand yang perlu diwaspadai. Ahli kesehatan asal Singapura yang sudah banyak menjadi kepercayaan para kalangan tertentu di Indonesia, akan bebas berpraktik di Indonesia. Mungkin juga pengusaha makanan. Bukan tak mungkin, nanti restoran Padang justru dimiliki dan dikelola oleh tenaga kerja asing.

Bahkan, saat ini pekerja asal Korea sudah merambah ke industri tekstil sebaga sektor andalan di Jawa Barat, meskipun baru terbatas pada tingkat manajer ke atas. Bayangkan pada tahun 2015, jika tenaga kerja bersertifikasi kompetensi sudah bebas. Tak mustahil, sebagian besar pekerja industri tekstil di Jawa Barat bukan lagi dari masyarakat sekitar namun dipenuhi pekerja asing.

Tentu saja ini bukan kerja mudah bagaikan membalikkan telapak tangan, perlu kerjasama antara berbagai lapisan masyarakat dan pemerintah. Tenaga kerja harus meningkatkan kualitas kerja untuk sertifikasi dan Pemerintah juga harus mulai memperhatikan lebih serius.

Masyarakat secara luas juga harus semakin menyadari hal ini, bahwa tahun 2015 akan segera menjelang. Bukan satu dasawarsa atau rencana pembangunan lima tahun, tapi tak lebih dari dua tahun lagi. Apa yang harus dan sudah kita lakukan?

Menulis mengenai Era Masyarakat Ekonomi 2015 merupakan salah satu kontribusi yang bisa saya lakukan. Berharap dapat memperluas pengetahuan masyarakat dan meningkatkan kewaspadaan.

Saat saya menulis ini, saya terpikir, apa lagi yang mampu dilakukan sebagai anak negeri untuk menghadapi hal ini, seberapa siapkah saya? Bagaimana dengan Anda?









Sunday 25 August 2013

Rela Putar Otak Demi Nikmati "Kopi Instan & Cappuccino Good Day, Kopi Gaul Paling Enak"

 
Gambar diambil dari hidupbanyakrasa.com

"Rin, ngopi yuk," ajak seorang teman. "Gak ah, gak suka ngopi," jawab saya.

Itu adalah sepenggal percakapan antara saya dan teman yang suka mengajak untuk minum kopi. Saat itu sekitar tahun 2002, saya masih menjadi calon reporter di sebuah media cetak. Untuk saya, kopi itu berarti kopi hitam yang sering diminum Papa saya.

Kalau Mama atau Kakak saya tidak di rumah, biasanya saya yang didaulat untuk membuatnya. Dan itu adalah salah satu tugas yang saya merasa tidak mampu. Loh kok bisa? Bagaimana nggak, bikin kopi hitam ala papa saya itu terdiri dari mengambil beberapa sendok teh kopi bubuk kemudian dicampurkan dengan beberapa sendok gula, baru kemudian diseduh air mendidih. *coba  “Kopi instan & cappuccino Good Day, kopi gaul paling enak” yang praktis udah ada sejak saya masih pake rok merah putih dulu...mesin waktu manaa mesin waktu ^_^*


Trus kenapa bisa susah? Karena menurut saya, tiap saya buat rasanya beda-beda. Kadang terlalu pahit, kadang terlalu manis.Papa saya sih biasanya gak terlalu banyak protes, walaupun kopi yang saya buat, menurut saya lebih mirip rasa bilasan cucian hahahaha :)

Baiklah, kembali membahas kopi. Rasa kopi hitam milik Papa saya yang pahit, juga membuat saya kurang menyukainya. Konon, para wanita lebih menyukai rasa manis.

Salah satu bukti adalah ketika saya melakukan liputan kuliner ke salah satu restoran yang menyediakan coklat dalam berbagai varian hidangan, hampir 80 persen pengunjungnya adalah wanita. Sebagian besar pria yang datang dalam rangka mengantar sang wanita hehehe. *Satu lagi nilai plus “Kopi instan & cappuccino Good Day, kopi gaul paling enak” di mata saya, sebagai penyuka kopi non-hitam dengan berbagai varian yang superrr ueenaaak :D*


Naah jelas kan mengapa saya agak-agak alergi kalau diajak ngopi oleh teman-teman kala itu. Ngopi itu dalam benak saya adalah minum kopi hitam yang rasanya pahit.

Tapiii, ituuu duluuuu. Pada suatu malam, sepulang kerja saya saya menyempatkan diri berbelanja ke sebuah supermarket untuk membeli bahan makanan. Maklum, waktu itu saya masih nge-kost, karena rumah orangtua saya jauh dengan tempat kerja. Setelah roti, beberapa jenis camilan sudah masuk ke keranjang belanjaan, saya melirik rak tempat berbagai jenis minuman seduh seperti teh, kopi dan lain-lain.

 
Dokumen foto pribadi

Mata saya kemudian tertumbu pada kemasan kopi yang sangat menarik. Saya ambil untuk saya baca. "Oh merknya kopi Good Day". Saat itu belum  banyak iklan-iklannya, apalagi tagline keren “Kopi instan & cappuccino Good Day, kopi gaul paling enak” Tapi kok ya saya sangat tertarik sama kemasannya, desainnya itu berkesan modern, keren dan gaul gitu deh. Sebagai salah satu anak muda waktu itu, *eh sekarang masih muda kok, cuma udah punya dua anak ;)*, lah saya kok ya jadi tergoda juga nyobanya. Padahal seumur-umur, sebelumnya gak pernah tergoda tuh sama kopi-kopi instan gitu.

Waktu itu kalau nggak salah, sudah ada empat varian kopi instan Good day yaitu original, mocacinno, chococinno dan vanilla latte *CMIIW alias benerin kalo salah ya man-teman*. Nah galau lagi deh pas milihnya hehehe :)

Pilih punya pilih, saya mikir kalo rasa original, ntar rasa kopi banget donk, saya kan ogah *padahal setelah dicobain, tetep saya suka tuuh*. Kalo Chococino, ntar rasa coklat lagi, pikir saya. Hadeeuuuh repot amat sih. Akhirnya karena suka dengan warna merah kemasan Good Day, untuk pembelian perdana saya beli Good Day Mocacinno. Yaaang ternyataaaa..pilihaaaan saya gak salah. Seleranya, saya bangeeeet!! Dan tahu gak, ternyata suami saya juga punya rasa favorit yang sama looh. *ketjup-ketjup “Kopi instan & cappuccino Good Day, kopi gaul paling enak”

Minggu-minggu selanjutnya adalah percobaan saya dengan Vanilla late, original dan berbagai varian rasa “Kopi instan & cappuccino Good Day, kopi gaul paling enak” yang kemudian semakin banyak dan gak ada yang rasanya mengecewakan. Beneran deh! Gak bohong!

Beberapa Tahun Kemudian

Tapi, seiring waktu dan usia saya semakin muda, eeh bertambah. Lambung saya kemudian tak lagi sebugar dulu. Asupan kopi harus dicermati. Gak bisa tiap hari seperti dulu huhuhuuu :'(

Tenang, bukan saya namanya kalo nyerah begitu aja. Selain, tips dari Mama saya untuk menyeduh satu sachet “Kopi instan & cappuccino Good Day, kopi gaul paling enak” untuk dua kali pakai, saya juga punya tips ciamik yang gak kalah asik. Apakah itu?

Begini ya, di saat-saat lambung saya sedang agak bermasalah namun keinginan ngopi sangat kuat, maka suami saya akan jadi solusinya. Looh kok bisa? Sini..sini saya bagi-bagi rahasia, tapi jangan bilang2 yaa.

Pertama, ketika suami pulang kantor. Sambut dengan senyum dan cium tangan. Dengan manis, tanyakan kabarnya di tempat kerja dan tawarkan, "Ayah, mau minum kopi? Ibu buatkan ya". Biasanya suami akan takjub *eh apa itu suami saya aja ya* dan mengiyakan sambil menduga-duga ada apakah dengan istrinya yang cantik hari itu :D

Kedua, ambil satu sachet “Kopi instan & cappuccino Good Day, kopi gaul paling enak” favorit suami. Kalau suami saya, favoritnya sama dengan saya Good Day Mocacinno. Sajikan dalam cangkir yang paliiing baru, hihihi kalo gak ada ya cangkir buat tamu gitu deh. Pokoknya tampilan menarik.


Good Day Mocacinno favorit saya dan suami (hidupbanyakrasa.com)

Ketiga, sajikan tetap dengan senyum manis. "Silakan diminum yah". Biasanya, suami saya minum dengan kalimat "Ibu ada maunya nih ya?" hahahaha tahu aja sih yah.

Jadi apa sih sebenarnya mau saya dan apa hubungannya dengan tips ngopi saat lambung bermasalah? Hehe ini adalah cara saya untuk ikutan menyeruput kopi yang saya buat tadi. Bisa dengan sendok ataupun menunggu suami menurunkan gelas dari mulutnya. Singkatnya sih, nebeng ngopi yang kadang justru ngabisin hihihi *sabar ya yah* :D

Tapiii, itu juga kalau si lambung gak terlalu rewel loh ya, dan belum tentu bisa berlaku untuk semua orang, istilah kerennnya "syarat dan ketentuan berlaku" hihihi, namanya juga tips ajaib ala saya. Intinya, saya selalu putar otak supaya bisa menikmati dan mencicipi  “Kopi instan & cappuccino Good Day, kopi gaul paling enak” yang berhasil mengubah alergi kopi saya jadi teman sejati.


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...