Pages

Friday, 30 August 2013

Surga Penikmat Kopi Itu Ada di Dua Negara ASEAN

 Secangkir kopi nikmat (bubblews.com)

Vietnam. Akhirnya nama negara ini muncul dalam tantangan lomba blog #10daysforASEAN yang diadakan aseanblogger. Negara ini seakan memiliki arti khusus dan sangat familiar dengan saya, meskipun saya belum pernah menjejakkan kaki kesana. Loh kok bisa? Eits, tapi apa juga hubungannya Vietnam dengan judul saya diatas tentang kopi?

Kaitannya yaitu tema yang diberikan aseanblogger, berikut cuplikannya :
 
"Sekarang ini, minum kopi sudah menjadi bagian dari gaya hidup modern. Hampir di seluruh penjuru kota, tidak hanya di Indonesia tetapi juga ASEAN, banyak tersebar gerai kopi. Di dunia, negara penghasil kopi terbesar adalah pertama: Brazil,  kedua: Vietnam dan ketiga adalah Indonesia.

Kedua negara terakhir adalah anggota ASEAN. Menuju Komunitas ASEAN 2015 ini, mampukah Vietnam dan Indonesia merebut pangsa pasar kopi dunia? Bisakah kedua negara tersebut menjadi partner produksi kopi, bukan menjadi rival atau saling bersaing?  Tuliskan pendapatmu di blog tentang kemampuan Indonesia dan Vietnam merebut pangsa pasar kopi di dunia, berkaitan dengan Komunitas ASEAN 2015. Tidak hanya bersaing tetapi bisa juga menjadi partner bersama."

Nah, kembali ke bahasan awal saya tentang Vietnam, maasih ingat posting saya sebelumnya soal saya mengurus visa untuk pelatihan di salah satu negara di Eropa? *baca kan, kan, kan :D* Nah salah satu negara peserta saat itu adalah Vietnam. Kebetulan mereka mengirimkan dua orang jurnalis yang kemudian menjadi teman terbaik saya selama pelatihan disana yaitu Dieu Nguyen Thuy dan Vu Thi Thu Tra. Dengan nama panggilan, Thuy dan Tra. 

Saya, Tra dan Thuy ditengah musim dingin di Berlin, Jerman
(dokumentasi pribadi)

Salah seorang sudah berkeluarga dan memiliki pengalaman yang hampir serupa dengan saya. Kangen anak dan suami di tanah air, nangis-nangis saat di telepon ataupun curi-curi chatting saat di kelas waktu pelatihan. Sementara yang seorang lagi adalah seorang traveler sejati, sukanya jalan-jalan. Maklum masih single. Usia kami bertiga juga tidak terpaut jauh saat itu.

Dari mereka saya melihat kebudayaan dan kebiasaan orang-orang di Vietnam. Mereka sama-sama makan nasi sebagaimana kita orang Indonesia dan juga penyuka mie. Saat kami bersama-sama, biasanya kami suka mencari restoran Vietnam. Masakan dan bumbunya tak terlalu berbeda jauh dengan Indonesia. Lidah saya dapat menikmati hampir seluruh hidangannya. Hanya saja, sebagian besar mereka beragama Budha dan terbiasa mengonsumsi (maaf) daging babi, sehingga saya harus berhati-hati memperhatikan jenis makanan yang dipilih atau ditawarkan mengingat saya seorang muslim.

Terlepas dari perbedaan, saya justru lebih banyak melihat persamaan diantara kami. Perawakan mereka juga hampir sama dengan saya, hanya saja kulit mereka lebih putih dibandingkan orang Indonesia yang berkulit sawo matang. Sama dengan Indonesia yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa asing, maka percakapan bahasa Inggris kami tak selancar rekan dari Philiphina ataupun dari Afrika yang menggunakan bahasa Inggris sebagai official language, alias semua urusan resmi termasuk di perkantoran wajib menggunakan bahasa inggris.

Kedua orang teman saya tinggal di ibukota Vietnam, Ha noi. Tidak heran, sebab mereka adalah jurnalis yang harus meliput berbagai kegiatan yang terpusat di Ibukota.  Tak terlalu berbeda dengan media di Indonesia yang banyak memusatkan kegiatan peliputan di Ibukota Jakarta.

Sedikit berbicang mengenai kehidupan politik Vietnam, yang secara resmi disebut Republik Sosialis Vietnam, merupakan sebuah negara dengan partai tunggal yaitu Partai Komunis. Itu sebabnya, hanya organisasi politik yang bekerjasama atau memperoleh dukungan dari Partai Komunis diperbolehkan mengikuti pemilihan umum.

Dari sisi kebebasan pers, karena kami sama-sama jurnalis waktu itu, saya mengetahui bahwa para jurnalis disana termasuk pegawai pemerintahan, atau juga disebut pegawai negeri disini mungkin ya. Tak hanya media, bahkan penerbitan buku pun tak sebebas di Indonesia. Ketika saya mengatakan hendak membantu teman menerbitkan buku dan rencana saya untuk melakukannya sendiri nanti, teman saya sempat terkejut. "Wah hebat sekali, di negara kami menerbitkan buku tidak mudah," ujarnya.

Untuk media seperti internet juga saya sempat mendengar setelah kembali ke Indonesia, bahwa jejaring sosial, Facebook sempat diblokir dinegara mereka. Tapi, sepertinya saat ini sudah tidak lagi, karena saya melihat akun Facebook teman saya sudah aktif kembali. Sejak berada bersama dalam pelatihan tahun 2009 silam, memang tak banyak interaksi lagi antara saya dan mereka berdua. Kesibukan kami masing-masing seakan membuat kami terlupa untuk sekedar saling sapa.

Ngopi ala Vietnam

Sayangnya, saya tak banyak bertukar cerita tentang kebiasaan minum kopi para penduduk Vietnam. Padahal Indonesia dan Vietnam adalah dua negara ASEAN yang produsen kopi terbesar di dunia, setelah Brazil. Kopi Vietnam disebut-sebut sebagai produsen kopi nomor dua, sementara Indonesia nomor tiga.

Saya lebih banyak ngopi di kamar apartement sendiri dengan kopi sachet yang saya bawa dari tanah air. Jarang saya melewatkan waktu untuk di Kafe bersama teman-teman. Sehingga pengetahuan mengenai kebiasaan ngopi pun sedikit terlewat oleh saya. Maklum, saya juga harus menghemat uang saku kala itu. Jadi saya membawa dari Indonesia, seperti mie instan, kopi sachet dan teh siap pakai.

Saya justru mengintip dari blog beberapa teman traveller yang pernah mengalami ngopi di Vietnam, mbak venus di blognya yang keren http://venus-to-mars.com/ dan mas Harry Jusdi dalam blog http://harryjusdi.wordpress.com/ .

Dari blog mas Harry saya tahu bahwa kopi disebut Ca Phe dan susu dalam bahasa Vietnam adalah Sua. Kemudian Ca Phe Sua artinya Kopi Susu, Ca Phe Sua Da untuk Kopi Susu Dingin dan Ca Phe Sua Nong artinya Kopi Susu Panas.

Bahasa Vietnam memang unik, kata dalam bahasa mereka sangat singkat, biasa terdiri dari dua huruf sampai empat huruf. Bisa terlihat dari sebutan kopi dan nama teman-teman saya di atas. Itu sebabnya sewaktu kedua teman saya mengobrol, bagi orang asing seperti saya, mereka bicara dengan sangat cepat, mungkin karena tiap katanya memang sangat pendek.

Nah, dari blog mas Harry dan mbak Venus juga saya tahu bahwa penduduk Vietnam punya kebiasaan unik dalam minum kopi yaitu terlebih dahulu menyaring dengan menggunakan coffee drip agar kopi tak berampas dan mencampurnya dengan susu manis.

Vietnam coffee (© MIYOKO KOMINE/amanaimagesRF/amanaimages/Corbis)

Tapi kalimat-kalimat kenikmatan kopi Vietnam mbak Venus yang justru bisa bikin bahkan bukan penggemar kopi pun jadi ngiler ngebayanginnya :

"Bayangin kopi panas (kopi beneran, bukan instan) yang keeeeental banget, peeeeeekat banget, yang pahitnya pol-polan, dipadu dengan susu kental manis dalam takaran besar, kadang hampir sepertiga dari jumlah cairan kopi pekatnya. Campuran (dan takaran) ajaib itu kemudian disajikan dalam gelas kecil, panas-panas, atau super dingin dengan es batu, disruput perlahan-lahan, dinikmati setiap tetesnya, sampai tandas."

Slurrrrppp..panas-panas gini, saya jadi bayangin satu gelas kopi campur susu dingin ada di hadapan saya saat ini juga *tongkat sulap manaaa tongkat sulaaap* :D

Lawan atau Kawan?

Kenikmatan kopi Vietnam memang mengundang banyak pengagum. Produksi kopi yang didominasi dari jenis robusta, merupakan salah satu sumber pendapatan utama Vietnam sejak permulaan abad ke-20 dan kini menjadi menjadi kekuatan ekonomi utama mereka.

Sebagaimana dilansir Indonesia Finance Today mengenai produksi kopi Indonesia dan Vietnam, bahwa satu hektar, kebun kopi di tanah air hanya mampu menghasilkan sekitar 500 kilogram kopi. Sedangkan, Vietnam sudah mampu menghasilkan 2 ton kopi per hektare. Data ini berdasarkan Food Agriculture Organization (FAO) tahun 2012. Perbedaannya cukup besar, sehingga tak heran produksi kita dari sisi kuantitas masih tertinggal jauh.

Tercatat, pada tahun 2012, Indonesia mampu memproduksi sedikitnya 748 ribu ton atau 6,6 persen dari produksi kopi dunia. Sedikt berbeda dengan Vietnam, produksi kopi Indonesia, hampir mencapai 20 persen dari jenis Arabika, dan sisanya kopi robusta. Sementara, produksi kopi di Vietnam masih didominasi oleh kopi robusta. Dari segi harga, kopi Arabika  memiliki harga jual sekitar 3-4 kali lipat dibanding Robusta.

Di pasar kopi internasional, sebenarnya produk kopi Robusta yang menjadi fokus produksi di Vietnam memiliki kualitas yang lebih rendah jika dibandingkan dengan Arabika sebagai komoditas ekspor. 

Jadi bagaimana Indonesia dan Vietnam bisa berjalan beriringan sebagai sesama negara ASEAN meraih pasar kopi dunia?

Menurut pandangan saya, perlu diadakan studi banding antara kedua negara dalam pengembangan kopi. Konon, Vietnam dulu pernah mempelajari mengenai perkebunan dan pengembangan produksi kopi, namun nyatanya saat ini mereka lebih menguasai pasar dari segi kuantitas.

 Kebun kopi di Lampung (republika.co.id)

Lalu apa keuntungan untuk keduanya jika diadakan kerjasama dan bagaimana caranya? Menurut saya, Indonesia memiliki berbagai jenis kopi berkualitas yang sangat spesial, yang terkenal di dunia seperti Gayo Coffee, Mandailing Coffee, Lampung Coffee, Java Coffee, Kintamani Coffee, Toraja Coffee, Bajawa Coffee, Wamena Coffee serta Luwak Coffee. Dari sini Vietnam, dapat mempelajari bagaimana mengembangkan kopi-kopi spesial tersebut.

Sementara Indonesia dapat mempelajari bagaimana memaksimalkan produksi kopi sebagaimana yang dilakukan Vietnam. Tentu saja mereka memiliki budidaya tertentu yang dapat memperkaya pengetahuan para petani kopi di Indonesia.

Mungkinkah hal ini dilakukan? Saya yakin tidak ada yang mustahil, apalagi Indonesia dan Vietnam bagaikan saudara serumpun. Dengan keterlibatan berbagai pihak dan kesungguhan bersama, bukan tak mungkin dalam beberapa tahun ke depan, Brazil tak lagi berada di posisi teratas di pasar kopi dunia.

Ah, semoga teori dan harapan saya tak terlalu muluk-muluk. Yang pasti saya sangat menikmati hangatnya hubungan persabaatan saya dengan dua warga Vietnam dan menantikan ingin bertemu mereka kembali ketika mereka berkunjung ke Indonesia ataupun saya yang bisa menjejakkan kaki di sana. Doakan ya!







5 comments:

  1. Walaa..postingan yang panjang dan berbobot nih. Memang untuk sesuatu yang kita kurang pasti infonya, harus tanya mbak Google. Tapi keknya Mbak Ririn Sjafriani, udah canggih nih bikin postingannya. Salut. Tapi apa Mbak Ririn juga penyuka kopi? Bunda yang tinggal di Hanoi hampir 6 bulan aja gak tau tuh kalo Vietnam produsen besar kopi diatas INA.

    ReplyDelete
  2. Bunda, makasih ya, dipuji terus nih dari kemaren :) Mungkin karena faktor udah terbiasa nulis dengan dukungan data, jadi udah tahu mana kira2 info yang diperlukan atau gak.
    Aku suka kopi, tapi yang rasanya manis dan enaaak, hihihi gak doyan yang pahit2. Bunda pernah di Hanoi? tahun berapa? Insya Allah kapan2 aku sih pengen ke sana, ketemu temen2ku. Makasih mampir ya bunda

    ReplyDelete
  3. keren pemaparannya nih...



    Sae-link.blogspot.com

    ReplyDelete
  4. Subhanalloh,,baru tau saya bunda ayla ajiib juga paparannya,,sukses slalu bunda...

    ReplyDelete
  5. Ah pak Nadzir bisa aja. Makasih udah baca dan mampir ke blog saya, pak :)

    ReplyDelete

Terimakasih yaa ^_^

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...