Bendera Indonesia dan Kamboja
Hai..haiii hari Selasa ini buat saya berarti hari ke-2 sebagai peserta lomba blog #10daysforASEAN yang diadakan aseanblogger.com Yuuk semangat!
Nah, kalimat pertama yang diberikan panitia untuk tema hari ini adalah pertanyaan "Sudah pernah berwisata ke Candi Borobudur?". Alhamdulillah udah pernah, meskipun cuma satu kali, kalo gak mau ditaro kemana ini muka :D
Perjalanan saya ke Candi Borobudur yang berada di Magelang, Jawa Tengah, waktu saya masih pake rok abu-abu dan masih chubby-chubby imut, alias karya wisata bareng sekolah. Duuh itu udah sekitar belasan tahun yang lalu. Maklum saya itu bukan tipe manusia travelling, kecuali ada tugas negara dan perintah suami untuk jalan-jalan *mauunyaaa*.Yang saya inget candi Borobudur itu luaaas dan tangganya banyaaaaak sekali. Perjuangan banget deh mau mencapai ke atas. Hahaha jaman saya gadis remaja aja udah ngos2an, gimana sekarang ya.
Kabarnya, Candi Borobudur yang merupakan candi Buddha dan Angkor Wat, sebuah kuil Hindu yang berada di kota Siem Reap, kota kecil di bagian utara Kamboja, memiliki kemiripan. Itu bukan kata saya loh ya, lha wong saya belum pernah ke Angkor wat, tapi menurut penjelasan ahli sejarah.
Candi Borobudur dan Kuil Angkor wat
(foto-foto: world-visits.blogspot.com dan commons.wikipedia.org)
|
Yang kemudian menjadi pertanyaan selanjutnya, apakah hal ini menandakan bahwa negara-negara di ASEAN itu serumpun? Saya sendiri tertarik menjawab pertanyaan ini dengan mempelajari lebih lanjut kemiripan masyarakat Kamboja dan Indonesia dari segi kebudayaan, tak sekedar Borobudur dan Angkor Wat.
Sebenarnya, hubungan politis antara Indonesia dengan Kamboja secara historis juga sangat menarik. Bahkan hubungan ini masih terjalin dengan baik sampai saat ini. Pada gelaran Pemilihan umum (pemilu) di Kamboja pada bulan Juli 2013 lalu, mereka mengundang Mantan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla ke Phnom Penh, sebagai Chairman Centrist Asia Pacific Democrats International (CAPDI) untuk memantau pelaksanaan pemilihan tersebut.
Menurut Wikipedia, jauh sebelum kemerdekaan Kamboja, Negara Kesatuan Republik Indonesia banyak membantu negara ini. Beberapa buku taktik perang yang dibuat oleh perwira militer Indonesia digunakan oleh militer Kamboja. Tak heran, jika pada saat itu, para calon perwira di militer Kamboja diwajibkan belajar dan dapat berbahasa Indonesia.
Namun, saya sendiri bukanlah pengamat politik dan tidak memiliki kapasitas untuk itu. Apalagi Kamboja merupakan salah satu negara dengan perkembangan politik dan konflik yang agak rumit dan menuai beberapa gejolak dalam negeri, yang tak terlalu saya pahami. Saya lebih tertarik untuk membahas lebih lanjut dari sisi sosial budaya dari negeri Kamboja ini.
Beras Wangi Hingga Delman
Meskipun Indonesia kini mayoritas penduduknya beragama Islam, sementara penduduk Kamboja mayoritas beragama Buddha, namun tak bisa dipungkiri bahwa Indonesia juga memiliki sejarah agama Buddha serta Hindu pada awal abad Masehi. Sampai akhirnya, agama Islam kemudian dibawa melalui para pedagang yang menyebar ke seluruh nusantara.
Namun, ini bisa jadi menjadi satu poin penting, akar budaya yang sama antar Indonesia dan Kamboja, mengingat agama merupakan hal prinsip dan identitas dari seseorang dan sebuah komunitas. Yang bukan tak mungkin, hal ini yang melatari kemiripan antara Borobudur dan Angkor Wat.
Persamaan berikutnya, Indonesia dan Kamboja juga sama-sama mengedepankan agrikultur, yang masih menjadi andalan utama kehidupan ekonomi masyarakat, terutama untuk masyarakat desa. Ini juga yang membuat nasi, sama-sama menjadi makanan pokok di Indonesia, maupun Kamboja.
Jika di Indonesia kita mengenal beras pandan wangi asal Cianjur atau beras wangi Rajalele maka di Kamboja juga dikenal beras wangi. Selain itu, beras ketan juga menjadi salah satu hidangan yang umum ditemukan di Kamboja, sebagaimana di Indonesia. Di sana, beras ketan biasa dijadikan hidangan penutup atau dimakan bersama durian. Hehehe ini mengingatkan saya akan kebiasaan Papa saya yang berasal dari Sumatera Barat. Beliau biasa makan beras ketan dengan durian, yang kemudian menular kepada anak-anaknya. Nyam..nyaam..mak nyos loh beneran *duren manaaa dureen*
Semakin jauh mencari tahu tentang Kamboja, terutama para penduduknya, seakan-akan sedang melihat saudara-saudara se-tanah air. Lihat saja penggunaan sarung atau biasa disebut sampot di Kamboja, serta kain-kain tenun tradisional asal Kamboja lainnya, yang sekilas hampir mirip dengan tenun asal Indonesia.
Tampak beberapa persamaan antara tari khas asal Kamboja dan tari Bali
(foto-foto: trololoblogg.blogspot.com dan metro-bali.com)
Yang tak kalah menarik adalah persamaan dari kendaraan tradisional Kamboja, Tuk-tuk. Semacam delman di Indonesia, hanya saja Tuk-tuk menggunakan sepeda motor. Sementara itu, di Indonesia sebagian besar masih menggunakan kuda.
Oh ya, kabarnya rakyat Kamboja juga sangat menyukai sepak bola. Tak terlalu banyak berbeda dengan kita di Indonesia, bukan?
Ah membicarakan negara Kamboja membuat saya tergelitik untuk mengunjungi dan menyelami adat dan tradisi masyarakat disana yang tampaknya serupa tapi tak sama dengan Indonesia. Doakan saya semoga bisa segera berkunjung ke Angkor Wat, memakai sampot, naik Tuk-tuk dan tak lupa makan beras ketan dengan duriannya. Ayo siapa yang mau ikut?
Ayok maak.. aku pun april mau ke kamboja, tapi cuma phnom penh.. nggak ke angkor wat :D
ReplyDeletemaaak..pengeeenn ngikuutt..tapi kudu nunggu ijin dari bos besar dan 2 bos cilik, alias suami dan anak2 hehehe :)
DeleteOh ya, maaf ya mak, komennya dimoderasi sebelum ditampilin.
Waahh.. aiu j mau ke kanboja nanti bln april, tapi cuma ke phnompenh gk ke angkor wat. Hehehe bareng yuk
ReplyDeleteaih, kita sama mbak ke borobudur waktu masih unyu2 pake seragam abu2...hihihihi
ReplyDeletedan ulasan mbak ririn juga bagus, saya jadi agak kenal sama kamboja. sebelumnya buta banget. -_-
Mak Winda, sepertinya hampir semua yang udah nulis, pengalaman ke borobudur itu pas study tour jaman SMA ya..hihihii sampe2 udah hampir lupa :)
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete