Pages

Saturday 28 September 2013

Kepemimpinan si Kecil: Dimulai dari Ibu, Diawali dari Rumah

"Aylaa mau jadi seperti Ibu".

Itu kalimat anak sulung saya, Aylaa (hampir 7 tahun) pada suatu sore. Kalimat yang membuat saya tersenyum sekaligus penasaran. Meskipun secara teori, saya sudah tahu memang kedua orangtua adalah panutan dari anak-anaknya, namun pernyataan sore itu tetap saja mengejutkan saya.
Foto Aylaa lulus TK bersama Ibu dan adik Sandya. Ayah gak ikut soalnya lagi ngantor ^_^ (dok.pribadi)


"Memang mau seperti Ibu yang bagaimana Kak?" tanya saya sambil menahan senyum. "Aylaa mau kerja di depan laptop di rumah seperti Ibu. Kan bisa jagain anak juga," jawabnya polos.

Hal itu kemudian membuat saya tersadar bagaimana kesan seorang Ibu di mata anaknya. Memang sejak berhenti bekerja dari sebuah media nasional sejak tahun 2010, saya lebih memilih bekerja paruh waktu.

 Serius ngadepin kerjaan (dok.pribadi)

Apalagi, saya kemudian melahirkan adik Sandya (hampir 2 tahun) pada tahun 2011. Meskipun, godaan untuk kembali bekerja di kantor seringkali datang, terutama ketika saya merasa bosan dan jenuh di rumah. Tetapi, pernyataan Kakak Aylaa tadi seakan menyadarkan saya betapa anak-anak membutuhkan saya di rumah.

Saya tidak pernah bermaksud mendiskreditkan ibu-ibu yang berkarir di kantor, saya juga pernah mengalaminya. Yang kemudian harus dipertimbangkan adalah kebutuhan dari tiap-tiap rumah tangga dan kebutuhan anak-anak yang berbeda. Jadi ibu rumah tangga, ibu bekerja paruh waktu ataupun ibu bekerja, tetaplah seorang ibu yang berperan penuh untuk keluarganya.

Dimulai dari Minat  

Memiliki anak yang cerdas, tentu saja menjadi harapan semua orang tua, termasuk saya. Namun, bukan berarti saya menancapkan standar tertentu ataupun menginginkan anak-anak saya, kakak Aylaa dan adik Sandya menjalani profesi tertentu ketika mereka dewasa nanti. Berkaca dari pengalaman saya yang mengikuti keinginan orangtua untuk kuliah di jurusan tertentu, namun ketika saya bekerja, tetap saja saya memilih yang sesuai dengan minat saya yaitu menjadi seorang jurnalis yang dekat dengan dunia penulisan.

Maksud saya, jika saya terjun di dunia tulis menulis, bukan berarti saya menginginkan anak saya pun demikian.

Adik Sandya gaya-gayaan nulis (dok.pribadi)

Jika saya senang menghabiskan banyak waktu di depan komputer, baik untuk mengerjakan pekerjaan paruh waktu, menulis blog, mengecek jejaring sosial ataupun hanya sekedar browsing, bukan berarti saya mengharapkan kakak Aylaa seperti itu.

Kakak Aylaa ditungguin buat giliran sama Adik Sandya hehehe (dok.pribadi)

Atau, membuat sengaja adik Sandya anteng di depan laptop seperti ini ^_^

Lihat muka adik Sandya, seriusnya ngalah-ngalahin Ibu pas dikejar deadline (dok.pribadi)


Yang saya inginkan adalah anak-anak saya kelak dapat memilih profesi apapun yang mereka inginkan dengan syarat profesi tersebut baik dari segi moral dan agama.Tapi sebelum tiba waktu mereka memilih profesi, saya ingin mereka dapat terpapar berbagai macam kegiatan sebanyak-banyaknya. Bukan berarti kemudian saya menyuruh mereka untuk ikut beragam les.

Kakak Aylaa saat ini duduk di bangku kelas 2 di sebuah SD di kawasan Depok. Jam sekolahnya mulai dari 07.30 hingga 13.30. Waktu yang cukup panjang itu dimulai sejak di bangku kelas 1. Jika dibandingkan dengan saat saya sekolah dulu, memang lumayan jauh rentang waktunya. Kalau dulu waktu saya SD kelas 1, mungkin masuk jam 07.00 hanya sampai pukul 10.00 saja. Mempertimbangkan hal tersebut, saya tidak pernah memaksanya untuk ikut les tambahan lagi di luar sekolah.

 Saya dan Aylaa yang bersiap dalam lomba menari (dok.pribadi) 


Beruntung sekolah tersebut memiliki kegiatan ekstrakurikuler yang mampu menunjang minat anak saya yaitu menari. Namun, setelah satu tahun mengikuti kegiatan menari selama kelas 1, rupanya di kelas 2, dia ingin mengubah kegiatannya yaitu vokal grup. Hehehe entahlah darimana minatnya tersebut. Pasalnya, keluarga kami tidak memiliki keturunan "darah seni". Melihat minat Aylaa pada seni seperti menari dan menyanyi, kadang membuat saya dan Ayahnya terheran-heran.

Saya teringat dengan salah satu wawancara saya terdahulu dengan salah seorang praktisi pendidikan. Ia mengatakan bahwa saat ini sebagian besar materi sekolah ataupun kursus yang ditekankan pada anak menitikberatkan pada otak kiri seperti belajar logika, matematika, bahasa dan lain-lain. Sementara itu, otak kanan yang berperan dalam kreativitas, seni dan sebagainya, tidak terasah. Kurang lebih begitu pemahaman saya, meskipun banyak teori lain mengenai otak kiri dan kanan yang berkembang saat ini.

Dengan mempertimbangkan hal tersebut, maka saya sama sekali tidak keberatan jika Aylaa lebih memilih kegiatan seni sebagai kegiatan ekstrakurikulernya. Sebenarnya saya sendiri dulu merasa memiliki minat di bidang tari, namun orangtua, fasilitas dari lokasi tempat tinggal saya saat itu, tidak sepenuhnya mendukung. Sehingga akhirnya minat dan (mungkin) bakat saya terpendam begitu saja. Hingga akhirnya Aylaa sangat menyukai seni tari yang seakan mengingatkan saya terhadap "Ririn kecil" dulu.

 Aylaa siap manggung (dok.pribadi)

Demikian juga ketika Aylaa lebih memilih seni tarik suara saat ini sebagai kegiatan ekstrakurikuler di sekolah, saya merasa bahwa saya dan suami "hanya" perlu mendukungnya, tanpa perlu mengarahkannya berlebihan. Apalagi masa-masa ini merupakan masa eksplorasi baginya.

Kecerdasan Majemuk

Saya merasa Aylaa lebih beruntung dengan pilihan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah kini yang semakin banyak, dibandingkan saya dulu. Bahkan ketika saya SMA dulu, saya merasa tidak ada ekstrakurikuler yang sesuai dengan saya. Pilihannya waktu itu antara Paskibra, Pramuka dan PMR (palang merah remaja).

Kebingungan saya dan suami juga tertolong dengan Multiple Intelligences Research (MIR) atau tes kecerdasan majemuk yang diadakan di sekolah, yang hasilnya akan menjadi rujukan untuk kegiatan ekstrakurikuler yang akan diambilnya. Teori kecerdasan majemuk pertama kali diutarakan oleh Howard Gardner, seorang psikolog terkemuka dari Harvard University. 

 Hasil tes kecerdasan majemuk atau multiple intelligences research/MIR (dok.pribadi)

Awalnya, Howard menemukan tujuh kecerdasan, namun dalam perkembangannya, ia berhasil menemukan satu kecerdasan lagi. Saat ini diperkirakan setiap manusia memiliki delapan jenis kecerdasan, sebagai berikut:
  1. Kecerdasan Linguistik (word smart)
  2. Kecerdasan Spasial (picture smart)
  3. Kecerdasan Matematis (logic smart)
  4. Kecerdasan Kinestetis (body smart)
  5. Kecerdasan Musik (music smart)
  6. Kecerdasan Interpersonal (people smart)
  7. Kecerdasan Intrapersonal (self smart)
  8. Kecerdasan Naturalis (nature smart)
Hasil tes Aylaa pada kelas 1 mengungkap bahwa tiga kecerdasan utamanya adalah kecerdasan linguistik, kinestetis dan matematis. Sehingga kegiatan ekstrakurikuler yang disarankan adalah kelas menulis, english club dan menari. Dan, Aylaa pun memilih menari. 

Sementara itu kecerdasan musik yang tentunya diperlukan Aylaa untuk kegiatan ekstrakurikuler menyanyi, tahun kemarin berada di peringkat ke-6. Tentu saja, saya agak sedikit khawatir mengenai pilihannya saat ini. Namun, setelah saya tanyakan, hasil tes kecerdasan majemuk pada anak bisa berubah-ubah setiap tahun. Saya bernafas agak lega, sambil menunggu hasil MIR tahun ini. 

Yang kemudian menjadi pekerjaan rumah untuk saya dan suami adalah meningkatkan kecerdasan interpersonal (people smart) dari Aylaa saat ini, dengan menggenjot kepercayaan diri yang termasuk dalam kecerdasan intrapersonal (self smart). Aylaa agak lama beradaptasi dengan lingkungan dan orang-orang yang baru dikenal. Dari ajang ngobrol dengan ibu-ibu di sekolah, kemungkinan ini disebut "sindrom anak pertama" dimana sebagian orangtua sangat protektif, sejak dari kandungan hingga pengasuhan. 

 Kakak Aylaa malu-malu dengan teman baru saat piknik bareng temen kantor Ayah (dok.pribadi)

Mungkin saja ada benarnya. Sebab, anak kedua saya, Sandya hampir dibilang berbanding terbalik dengan kakaknya. Jika Aylaa didekati orang baru dikenal untuk bertanya atau berbincang, dia akan lebih banyak diam. 

Sandya dengan salah seorang sepupunya (dok.pribadi)

Sebaliknya, adiknya justru akan langsung mendekati orang baru tersebut. Apalagi, dengan saudara sepupu yang seusia atau  teman seumurnya. Biasanya Sandya akan langsung sok akrab sok deket, sampai-sampai anak tetangga dikejar-kejar hehehe.

Menghasilkan Jiwa Kepemimpinan  

Jadi apa hubungannya tulisan saya sejak awal mulai dari minat sampai kecerdasan majemuk dengan kepemimpinan anak? Menurut saya pribadi, kepemimpinan seorang anak bermula dari panutan dari orang-orang di sekitarnya, terutama orangtua.

Aylaa masih takut-takut main ayunan bareng Ayah (dok.pribadi)


Kemudian, diasah oleh minat dan potensi kecerdasan hingga kemudian dapat menumbuhkan kematangan emosional yang salah satunya adalah kepemimpinan.

Untuk saya, kepemimpinan memilik arti yang luas. Bukan berarti anak perempuan dibedakan dari anak laki-laki, kemudian tidak disiapkan menjadi pemimpin. Jika pun kemudian anak-anak perempuan ini tidak berkarir dan menjelma sebagai ibu rumah tangga, tetap saja mereka adalah calon ibu yang kelak memimpin anak-anaknya. Tentu kepemimpinan jenis ini tidak kalah pentingnya.

Pun bukan berarti adik Sandya, akan lebih sedikit diajarkan arti kepemimpinan karena posisinya sebagai anak bungsu yang sering dikonotasikan dengan anak yang dimanja. Sebab, nantinya dia adalah laki-laki yang diharapkan akan menjadi pemimpin bagi keluarganya dan juga pemimpin dalam karir sebagai ruang berkarya dan pemimpin dalam masyarakat seluas-luasnya. 

 Sandya sedang diberi pengertian oleh Ayah (dok.pribadi)

Yang kemudian patut menjadi catatan adalah setiap anak memiliki potensi yang unik dan perbedaan kematangan emosional, termasuk kepemimpinan.

Jika Aylaa gandrung dengan berbagai kegiatan seni seperti menari dan menyanyi, maka lain halnya saat saya menghadapi Sandya yang suka berbagai jenis mobil. Mulai dari mainan mobil yang kecil, besar sampai-sampai buku yang menarik perhatiannya, tentu saja buku bergambar mobil. Tampak binar-binar matanya saat ia bermain bersama mobil-mobilan.



Sandya dengan mobil-mobil favoritnya (dok.pribadi)

Saya tak bisa memperkirakan sampai kapan kegemarannya terhadap mobil. Namun, mengambil pengalaman salah seorang teman yang anaknya belajar membaca dari tulisan di bus dan pesawat yang menjadi kegemarannya, rasanya saya tak perlu terlalu khawatir. Justru saya merasa memiliki media untuk pembelajarannya kelak.

Harapan Orangtua

Jiwa kepemimpinan seperti apa yang diinginkan dari orangtua pada anaknya, sangat tergantung dari masing-masing orangtua. Lebih jauh lagi, tergantung dari kepribadian masing-masing anak.

Harapan saya secara pribadi, mereka tak perlu duduk di kursi direktur untuk mendukung orang-orang dalam mengoptimalkan potensi, tak perlu menjadi seorang dokter terlebih dahulu agar bisa membantu orang-orang yang lemah, dan tidak perlu menunggu remaja atau dewasa hingga mereka terbiasa mengucapkan tiga kata istimewa yaitu maaf, tolong dan terimakasih.

Saya dan suami tak keberatan jika kelak anak-anak memilih profesi dengan jalur apapun yang mereka minati, termasuk seni.

 Aylaa dan teman-teman sekolah saat manggung di salah satu mal (dok.pribadi) 

Namun, setinggi apapun posisi mereka di dunia karir nanti, saya harap kelak kakak Aylaa dan adik Sandya dewasa tak segan ataupun gengsi melakukan pekerjaan di rumah.

Sandya bantu Ibu bersih-bersih di rumah (dok.pribadi)

Juga, tak berkurang kadar ekspresi rasa sayangnya sampai usia berapa pun, sebagaimana mereka saat ini seringkali memeluk saya dan Ayahnya.

 Always a pleasure to have your hug, baby (dok.pribadi)

Ayah yang baru pulang kantor langsung dikerubuti Aylaa dan Sandya (dok.pribadi)


Tak lupa, saya harap mereka juga menjadi pemimpin yang mencintai sesama makhluk hidup dan lingkungan sekitarnya.

Sandya tekun lihat tanaman di depan rumah, tapi jangan sampe dicabut ya nak (dok.pribadi)

Sementara itu, saat ini saya tidak keberatan anak-anak tetap bertindak sebagaimana anak seusia mereka yang suka loncat-loncat di tempat tidur, saling usil dan ganggu satu sama lain.

Tingkah Aylaa dan Sandya jadi hiburan Ibu kala jenuh di rumah (dok.pribadi)

Ataupun, saat mereka asik dandan asal dan narsis saat difoto hihihi ^_^

Kakak Aylaa dan adik Sandya narsis abisss ^^ (dok.pribadi)

Yang penting, mereka tahu bahwa mereka adalah saudara dari bagian keluarga yang saling menyayangi. Semoga harapan saya dan suami terhadap kakak Aylaa dan adik Sandya kelak dapat terwujud. Amin yaa robbal alamiin.

Ayah, Ibu, kakak Aylaa dan adik Sandya (dok.pribadi)












No comments:

Post a Comment

Terimakasih yaa ^_^

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...