Pages

Sunday 1 September 2013

ASEAN sebagai Komunitas Tunggal, Jangan Biarkan Sengketa Mengganjal

 Pedra Branca atau Pulau Batu Puteh yang jadi sengketa batas wilayah Singapura-Malaysia
 (mrbrownshow.com) 
Tak terasa, lomba blog #10daysforASEAN yang diadakan aseanblogger sudah memasuki hari ke-7! Wah berarti saya dan semua partisipan lomba ini sudah satu minggu berpetualang mengelilingi negara-negara ASEAN.

Betapa tidak, saya dan mungkin rekan-rekan peserta lain, yang tadinya sama sekali tidak tahu mengenai visi komunitas tunggal ASEAN 2015 dan kemungkinan tenaga kerja asing asal ASEAN memasuki Indonesia dengan sertifikat internasional, tidak pernah terpikir candi Borobudur memiliki kemiripan dengan Angkor Wat, mengeluarkan unek-unek soal branding Indonesia yang kalah dengan Malaysia, mencari tahu penting atau tidaknya visa dan khususnya pemberlakukan visa di Myanmar, hingga baru menyadari bahwa Vietnam bersanding dengan Indonesia sebagai negara penghasil kopi tersebesar di dunia.

Bagi saya pribadi, lomba ini memiliki arti lebih dibandingkan sekedar lomba, namun lebih kepada perjalanan mengenal para negara tetangga yang seharusnya menjadi teman dan saudara dalam mengembangkan negara kita sendiri. Saya pribadi juga kembali diingatkan untuk menyapa dua rekan baik saya asal Vietnam, meskipun hanya melalui dunia maya dan ingatan saya yang saya tuangkan melalui tulisan, yang bahkan tidak dapat mereka pahami, kecuali kata-kata tertentu saja. Namun, tegur sapa dan ingatan itu cukup menghangatkan hati saya.

Harus saya akui tantangan terberat saya yaitu pada hari ke-6 mengenai Laos dan investasi diplomatik apa yang mereka harapkan dari dunia internasional, khususnya negara-negara ASEAN. Jujur saja, temanya lumayan berat dan harus saya akui negara Laos merupakan salah satu negara ASEAN yang paling jarang saya ikuti beritanya. Saya juga tidak pernah memiliki pengalaman pribadi dengan negara ini.

Itu sebabnya, saya sedikit berlega hati ketika tema hari ke-7 ini adalah Singapura. Negara yang sering dijadikan lokasi belanja orang Indonesia ini memang sudah dua kali saya kunjungi sewaktu saya masih menjadi jurnalis dan mendapatkan tugas liputan. Kalau tidak salah, sekitar tahun 2003 dan 2007. Hehehe sudah lama banget ya :)

Berikut cuplikan tema hari ke-7 yang diberikan panitia aseanblogger secara lengkap:

Mari kita berjalan-jalan ke : Singapura dan Problematikanya. Tahun 2015 diharapkan ASEAN menjadi satu komunitas tunggal, yang merangkul seluruh negara di ASEAN.  Namun di antara anggota ASEAN, ada juga yang memiliki sengketa antar negara, terutama terkait dengan perbatasan antar negara. Seperti yang terjadi dengan Singapura dan Malaysia.

Singapura mempunyai sengketa perbatasan dengan Malaysia pada pulau di pintu masuk Selat Singapura sebelah timur. Ada tiga pulau yang dipersengketakan, yaitu Pedra Branca atau oleh masyarakat Malaysia dikenal sebagai Pulau Batu Puteh, Batuan Tengah dan Karang Selatan. Persengketaan yang dimulai tahun 1979, sebenarnya sudah diselesaikan oleh Mahkamah Internasional tahun 2008, dengan menyerahkan Pulau Pedra Branca kepada pemerintahan Singapura. Namun dua pulau lagi masih terkatung-katung penyelesaiannya dan penyerahan Pedra Branca itu, kurang diterima oleh Masyrakat Malaysia sehingga kerap terjadi perselisihan antar masyarakat.

Bagaimana menurut teman-teman blogger penyelesaian konflik ini terkait dengan Komunitas ASEAN 2015?

Berbicara mengenai batas negara memang suatu yang sensitif. Sebab hal tesebut berkaitan dengan kedaulatan suatu negara. Secara sederhana, apakah Anda tidak akan bertindah reaktif jika tiba-tiba tetangga di rumah Anda mengakui sebagian dari kebun Anda, yang mungkin saja sudah sekian lama tak terurus?

Sedemikian sensitifnya sehingga permasalahan perbatasan dapat menyulut sengketa antar negara dan juga termasuk para warganya. Namun, bagaimanakah sebenarnya awal sengketa perbatasan antara Singapura dan Malaysia?

Awal Sengketa

Pada awalnya, keluhan berasal dari Malaysia mengenai klaim Pedra Branca oleh Singapura. Tak tinggal diam, Malaysia pun membawa bantahannya ke meja Mahkamah Internasional di Hamburg pada 4 September 2003. Keputusannya kemudian adalah Batu Puteh yang terletak di Selat Singapura dan tenggara Johor, Malaysia, jatuh ke tangan Singapura dengan dasar teritorial perairan pada tanggal 23 Mei 2008.

Selain Batu Puteh, dua pulau lain yaitu Batuan Tengah dan Karang Selatan masih belum diputuskan penyelesaiannya. Ditambah dengan keberatan masyarakat Malaysia mengenai keputusan Mahkaman Internasional mengenai Batu Puteh, membuat hubungan bilateral antara Singapura dan Malaysia menjadi semakin rumit.

Sebenarnya, masalah perbatasan Singapura juga dialami dengan Indonesia. Ada dua titik yang belum disepakati oleh kedua negara. Wilayah tersebut meliputi Selat Singapura Timur, yang berhadapan dengan Batam serta wilayah sekitar Suar Batu Buleh.

 Pulau Nipah sebagai pulau terluar perbatasan antara Indonesia dan Singapura (diperbatasanindonesia.blogspot.com)

Selain itu reklamasi pantai yang dilakukan oleh Singapura untuk memperluas wilayahnya turut memperkeruh masalah batas wilayah antara Indonesia dan Singapura. Pada awalnya, luas wilayah Singapura tercatat 580 km2, dan pada tahun 2005 jumlahnya bertambah menjadi 699 km2.

Berarti luas wilayah Singapura selama hampir 40 tahun, bertambah 199 km2. Di sisi lain, luas Selat Singapura juga makin berkurang, kini tidak mencapai 24 mil laut yang sudah menjadi ketetapan internasional. Tak pelak, hal ini membuat sejumlah pihak mengkhawatirkan tindakan Singapura tersebut akan mengubah wilayah batas kedua negara yang sudah disetujui pada tahun 1973.

Jadi bagaimana sebenarnya menyikapi sengketa perbatasan tersebut? Cukupkah dilakukan secara bilateral oleh kedua negara yang terkait? Bagaimana jika kemudian yang terjadi sebagaimana Keputusan Mahkamah Internasional yang memenangkan Batu Puteh untuk Singapura, namun masih mengundang ketidakpuasan terhadap pihak Malaysia?

Merembuk Penyelesaian

Secara umum ada dua metode penyelesaian sengketa internasional berdasarkan sejarah perkembangannya yaitu metode kekerasan dan metode damai. Kedua metode tersebut dapat dibagi lagi menjadi beberapa cara.

Metode kekerasan terdiri dari empat cara penyelesaian sengketa: 
  1. Pertikaian bersenjata yaitu penggunaan kekerasan angkatan bersenjata tiap-tiap pihak dengan tujuan menundukkan lawan.
  2. Restorsi atau pembalasan seperti penghapusan hak istimewa diplomatik. 
  3. Reprasial yaitu pembalasan terhadap tindakan melanggar hukum dari negara lain seperti embargo, pemboikan barang.
  4. Blokade yang berupa pengepungan suatu kota atau pelabuhan yang bertujuan memutus hubungan wilayah itu dengan pihak luar.
Tentunya kita tidak ingin menempuh satu pun dari cara penyelesaian dengan metode kekerasan. Negara-negara Asia, terutama ASEAN terkenal dengan sopan santun, tata krama dan keramahannya. Rasanya tak perlu sampai menempuh metode ini.

 Bersama-sama membentuk komunitas tunggal ASEAN (ilustrasi © Bloomimage/Corbis)

Lalu apa saja cara penyelesaian sengketa dalam metode damai?
  1. Penyelesaian sengketa secara politik atau diplomatik meliputi :  a) negosiasi atau bisa disebut musyawarah antara kedua belah pihak, b) enquiry atau penyelidikan melalui pembentukan tim netral terhadap sengketa, c) mediasi yaitu turut campur pihak ketiga yang tidak terkait sengketa agar kedua belah pihak dapat bernegosiasi, d) konsiliasi yang hampir serupa dengan mediasi hanya saja dibentuk tim yang mengikutsertakan pihak ketiga yang tak terkait sengketa. Terakhir, e) jasa baik (good offices) yaitu dimana pihak ketiga mencoba membujuk para  pihak yang terkait sengketa untuk melakukan negosiasi sendiri.
  2.  Penyelesaian Sengketa di Bawah Pengawasan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), terutama sengketa yang membahayakan perdamaian dan keamanan Internasional serta berkaitan dengan peristiwa ancaman perdamaian, pelanggaran perdamaian, atau agresi. 
  3. Penyelesaian sengketa secara hukum melalui arbitrase internasional ataupun Pengadilan internasional (Mahkamah internasional).
Jadi metode dan cara apa yang terbaik untuk penyelesaian sengketa-sengketa di negara-negara ASEAN pada umumnya, dan sengketa batas wilayah untuk Singapura dan Malaysia pada khususnya?

Adab Bertetangga

Saya pribadi tidak ingin sok tahu memberikan usulan penyelesaian terhadap masalah pelik semacam ini, apalagi berkaitan dengan kedaulatan dua negara. Namun, saya ingin mengingatkan, bahwa tetangga adalah orang pertama yang mengetahui dan merasakan kebaikan juga gangguan kita. Dalam syariat Islam, adab mulia terhadap tetangga sangat ditekankan.

Defisini tetangga bisa saja disebut sebagai orang yang pintu rumahnya paling dekat dengan kita, atau juga orang yang jauh rumahnya dengan kita, tetapi paling banyak tahu dengan kondisi-kondisi keseharian kita. Didalam syariat Islam, memenuhi hak tetangga diutamakan yang pintu rumahnya paling dekat dibandingkan  yang jauh.

Dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 36 yang artinya : “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.”

Menurut Ustaz Bachtiar Nasir, Pengasuh konsultasi agama dari Republika Online dalam konsultasi berjudul "Adab Bertetangga Ala Rasul", Islam menegaskan betapa berdosanya seseorang yang tetangganya tak merasa aman dari gangguannya. Ia mencatat, dari Abu Syuraih bahwasanya Nabi SAW bersabda: "Demi Allah, tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman.'' Ditanyakan kepada beliau: "Siapa yang tidak beriman wahai Rasulullah?'' Beliau bersabda: "Yaitu, orang yang tetangganya tidak merasa aman dengan gangguannya.'' (HR Bukhari-5557)


Islam juga menganjurkan untuk memberikan kelapangan bagi tetangga dan memperhatikan hal-hal kecil yang menjadi kebutuhan tetangga. Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: "Janganlah seseorang melarang tetangganya untuk menyandarkan kayunya di dinding rumahnya.'' (HR Bukhari-2283).

Tentunya, adab bertetangga yang dianjurkan Rasullah SAW tidak hanya berlaku untuk umat muslim. Secara logika, adab tersebut dapat diterapkan dalam masyarakat mana pun, termasuk dalam hal ini negara-negara yang bertetangga.

Khusus untuk sengketa antara Malaysia dan Singapura, hendaknya Malaysia yang penduduknya beragama muslim lebih dari 60% ada baiknya bijak menyikapi sengketa ini dengan kembali kepada syariat Islam. Memang dibutuhkan pemikiran yang jernih dan kebesaran hati dalam hal ini.
 
Kemudian dari sisi hukum, apabila memang Malaysia memiliki keberatan yang dari keputusan yang sudah diputuskan oleh Mahkamah Internasional, maka terimalah dengan lapang hati. Jika memang memiliki bukti baru yang sekiranya dapat mempengaruhi keputusan terdahulu, ajukan kembali ke Mahkamah Internasional.

Apalagi dengan adanya visi ASEAN 2015 menjadikan ASEAN komunitas tunggal, tak baik rasanya membiarkan masalah sengketa ini seakan menjadi duri dalam daging. Selayaknya, batas negara dijadikan sebagai pengingat bahwa negara-negara ASEAN bertetangga dan tetangga adalah saudara terdekat kita.


.




 

4 comments:

  1. Saya suka tulisan ini, terlebih karena dua negara yg bersengketa itu memiliki warga muslim dan harus segera membaca tulisan ini :D

    ReplyDelete
  2. Waduh, keder saya baca postingannya Ririn :D Analisisnya dalem

    ReplyDelete
    Replies
    1. dalem aja atau dalem banget mbak...hihihi ini temanya serius sih, jd saya kebawa2 serius. Nanti posting selanjutnya, bikin yang gak serius deh. Hehe makasih udah mampir ya, jangan bosen2, dan salam semangat nulis :)

      Delete

Terimakasih yaa ^_^

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...