Pages

Monday 1 September 2014

Jangan (Terlalu) Bersedih Ketika Kehilangan Pekerjaan


Selamat sore! Semoga sore ini menyenangkan ya. Saya ingin berbagi cerita nih. Sekitar dua hari lalu, suami saya mendapat kabar tentang meninggalnya salah seorang staf yang pernah bekerja di divisi yang dipimpinnya karena sakit jantung.

Seorang perempuan sekaligus ibu muda yang baru memiliki seorang bayi. Innalillahi wa inna illaihi rojiun. Semoga diterima iman islamnya, diberikan tempat terbaik di sisi Allah SWT. Dan keluarga yang ditinggalkan diberikan kesabaran dan keikhlasan.

Suami saya merasa sangat bersalah, loh kenapa? Ternyata almarhumah diberhentikan dari pekerjannya beberapa bulan yang lalu, kebetulan yang harus menyampaikan hal tersebut adalah suami saya. Bukan tak berusaha membantu, suami saya berusaha mengajukan almarhumah dengan beberapa rekannya ke divisi lain. Sayang, almarhumah tidak lolos. Setelah itu, suami saya tidak mendapat kabar lagi hingga kemarin.

Kami belum tahu lebih banyak karena baru akan melayat hari ini, dan saya juga tidak mau berusaha sok tahu.  Namun, saya hanya ingin berkisah mengenai pengalaman saya ketika secara tiba-tiba diberhentikan dari tempat saya bekerja.

Sedih, malu, sakit hati, merasa dibuang dll. Jujur saja, saya sempat merasa malu, bahkan tidak pernah ingin menulis hal ini, karena hal itu berarti saya akan banyak mengingat-ingat hal yang ingin saya lupakan itu. Hingga hari ini saya ingin berbagi kisah tersebut.

Jika teman-teman ada yang mengalami pemberhentian kerja, tentu bisa membayangkan hal ini. Kantor yang kita anggap sebagai rumah kedua, tiba-tiba tidak ada lagi. Terbayang rutinitas kerja yang biasa dilakukan, tidak lagi bisa dilakukan. Belum lagi, kehilangan rekan-rekan kerja, pendapatan hingga fasilitas lain yang biasa diperoleh.

Saat itu saya berusaha menguatkan diri. Tentu saja, saya sempat merasa gundah, kalut dan sebagainya. Syukurlah pendapatan suami masih bisa mencukupi kehidupan sehari-hari. Saya berusaha memangkas berbagai pengeluaran.

Dengan modal kenalan dan koneksi, saya berusaha melamar pekerjaan lain. Tapi, tentu saja tidak ada yang instan. Saya yang agak trauma dengan pekerjaan kantoran, akhirnya memutuskan untuk bekerja secara freelance. Sungguh, saya tak mengira luka yang disebabkan pemberhentian kerja, bisa sedemikian dalam. Saya bersedih hingga beberapa lama.

Butuh waktu tak sedikit untuk memulihkan kepercayaan diri dan keinginan untuk kembali bekerja. Pasalnya, pekerjaan freelance yang lebih banyak dilakukan di rumah, tak mendukung saya yang lebih suka bekerja di luar ruangan. Tentu saja, suami dan anak yang kerap kali jadi pelampiasan saya. Dari mulai ngambek, marah-marah dan sebagainya.

Hampir empat tahun, akhirnya saya kembali bekerja di kantor media. Aah jangan ditanya perasaan saya waktu baru memulainya. Campur aduk. Saya harus memberanikan diri bahwa saya masih memiliki kemampuan untuk itu. Alhamdulillah, saya mendapat seorang teman yang luar biasa dan berbagi dengannya, membuat kami saling menguatkan.

Untuk itu saya ingin berpesan, kehilangan pekerjaan bisa jadi kejadian pahit dan tidak menyenangkan bagi seseorang. It sucks, really! Tapi, jangan putus asa, jangan kehilangan harapan, dan jangan terlalu bersedih. Sebagaimana yang saya pernah baca, sekitar 80% penyakit itu berasal dari stress dan faktor kejiwaan yang lain.

Bersedih boleh, tapi berikan batas. Jangan sampai mengambil alih semua aspek kehidupan. Masih ada keluarga dan hal lain yang bisa dilakukan. Menangis jika perlu, tapi jangan berlarut-larut. Jika terasa sesak di dada, berbagilah. Saya sendiri sering bercerita dengan keluarga, teman dan orang-orang yang saya percaya.

Juga ingat, hidup itu bagaikan roda, kadang kita ada dibawah, tapi tunggu saja, akan ada waktunya kita kembali naik ke atas.  Jangan putus semangat!

Semoga tulisan saya ini bisa bermanfaat yaa.



8 comments:

  1. Setujuuu, mak. Karena itu, ikuti doa salah satu sahabat Nabi (aku lupa, siapa ya? Abu Bakar atau Ali bin Abi Tholib kayaknya) "Ya Allah, Letakkan dunia di tanganku, jangan di hatiku..."

    ReplyDelete
    Replies
    1. komentarnya keren sekali mak! empat jempol untukmuuuu :)

      Delete
  2. Saya yang resign dari mengajar atas pilihan saya sendiri saja karena ingin full time di rumah, sempat merasa sedih juga dan kangen dengan rutinitas itu, ketemu sesama dosen, mahasiswa, mengoreksi tugas, dll.

    Salut buat yang bisa cepet move on setelah kehilangan pekerjaan.

    Salam kenal Mbak :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Salam kenal juga mbak, makasih udah mampir. Yang namanya sedih, iya pasti. tapi jangan lah sampai berlarut2 dan ganggu kesehatan. Terus semangat berkarya ya mbak :)

      Delete
  3. Saya keluar kerja tahun awal tahun 2005 pas senang-senangnya kerja di sebuah perusahaan asing di Jakarta gara gara LDR pas pengantin baru dan mengikuti suami yang bertugas di Surabaya.Sebulan di Surabaya suami dipindah kerja di Jakarta,padahal saya terlanjur keluar dari kerjaan. Keterusan jadi ibu rumah tangga sampai sekarang.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jadi ibu rumah tangga asyik, dan tidak berarti harus berhenti berkarya kan :) Makasih udah mampir ya.

      Delete
  4. Aku malah belum pernah kerja diluaran mbak. Belum tahu kek mana kerja di luar.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehe kerja di dalem rumah juga gak kalah seru mbak :)

      Delete

Terimakasih yaa ^_^

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...