Pages

Monday, 29 September 2014

Masa Sih Tak Sulit Jadi Ibu Plus (Pe)nulis ?

Buku Momwriter's Diary (Foto: milik Octaviani)
"Kamu sih enak memang dari dulu kerjanya nulis, jadi sudah tidak bingung lagi".

"Aduh nulis ya, aku gak punya bakat".

Akhir-akhir ini saya agak sering mendengar kalimat-kalimat semacam itu, seiring dengan semakin banyak yang bertanya mengenai kegiatan nge-blog yang saya lakukan.

"Tulisan saya jelek,gimana donk?"

Loh, kan sudah ada komputer? Gak perlu juga tulis tangan ^_^ *langsung digaruk sekampung* :D Maksud saya,nulis itu banyak tujuannya. Kalau tujuannya bukan untuk mencari uang atau profesional, untuk apa memikirkan bagus atau tidaknya.

Saya pribadi jatuh cinta dengan menulis sejak memiliki diary. Bisa dibilang, saya itu termasuk yang telat memulai pembelajaran tentang menulis. Kalau orang lain sudah mulai menulis untuk majalah dinding sejak SMP atau SMA, saya tidak sama sekali. Jangankan jadi pengurus, mengirim tulisan saja tidak berani. Membaca mading pun hanya sesekali.

Baru pada masa kuliah saya memberanikan diri mengikuti majalah kampus. Tapi, topik bahasan yang digunakan oleh majalah kampus itu rasanya sangat melampaui kemampuan saya saat itu. Maklum saya adalah mahasiswa di Fakultas Hukum, jadi majalah kampus yang saya masuki ya tentu membahas seputar hukum *__*

Mungkin melihat keinginan saya atau minimnya mahasiswa yang berminat gabung saat itu *sungkem para senior* :D, akhirnya saya dan beberapa teman diterima. Pengalaman pertama kali rapat redaksi dan lain sebagainya sunggu luar biasa buat saya, meski saya hanya kebanyakan bengong gak ngerti. Kemudian saya mendapatkan tugas transkrip wawancara salah seorang senior saya dengan seorang pakar hukum. Hehe saya gak terlalu ingat, tapi sepertinya dalam seminggu, transkrip itu belum kelar2 juga. Akhirnya, saya ditugaskan tidak di bagian redaksi, namun di bagian yang lebih banyak mencari pembiayaan penerbitan hahahaha :)

Namun, meski begitu, pemikiran saya mulai tertancap mengenai pekerjaan menulis. Tak heran, saat saya lulus dan mulai mencari pekerjaan yang meminta saya menulis. Hingga akhirnya saya diterima di salah satu harian ekonomi. Jika diabsen siapa yang setuju di rumah saya menjalani karir ini, sepertinya tidak ada yang tunjuk tangan. Mulai dari Papa, Mama, kakak-kakak saya, tak ada yang benar-benar mendukung saya saat itu. Mungkin mereka bingung, ini si bungsu yang kemana-mana selalu minta dianter dan gak ngerti jalan, tiba-tiba mau jadi reporter di Jakarta, beneran nih?

Reaksi saya? Maju tak gentar doonk! Hahahaha saya itu bisa dibilang orang yang bisa ambil keputusan dalm 10 detik, tapi ya itu kurang mempertimbangkan hal-hal secara lebih dalam gitu.

Yang ada di pikiran saya, ini adalah pekerjaan yang saya inginkan. Saya mau belajar menulis, menulis dan menulis.  Ternyata, menjadi reporter itu tak hanya sekedar menulis. Banyak hal yang harus dilakukan guna mengumpulkan data sebelum akhirnya ditulis. Tanpa terasa karir saya di dunia jurnalistik berjalan mulai dari tahun 2002 hingga pada 2010, saya dihadapkan pada kondisi yang mengharuskan saya berhenti dari karir tersebut.

Pada 2010, ditengah berbagai kebingungan, saya kembali berpengang, menulis adalah pekerjaan yang sudah saya jalani selama ini, maka menulis juga yang akan saya lakukan. Dibawah naungan lembaga ataupun tidak. Saya akan terus menulis.

Saya menulis sebagai copy writer freelance sebuah portal, sempat menerjemahkan buku yang saya anggap sebagai salah satu jenis penulisan khusus, saya mengedit artikel dan lain-lain. Berbagai pekerjaan saya lakukan secara freelance, dengan pertimbangan waktu untuk keluarga.

Satu hal yang belum mampu saya lakukan adalah membuat buku dan membuatnya lolos di penerbitan. Saya sempat menjadi co-writer untuk sebuah buku hukum dan pernah juga meluncurkan buku self published pada saat peluncuran portal. Juga pernah membantu penulisan buku dari sebuah sekolah. Tapi, saya tetap merasa belum punya cukup pengalaman untuk menulis buku.

Hingga pada bulan Februari saya kembali diterima kerja di dunia jurnalistik. Namun, keinginan saya untuk membuat sebuah buku yang menembus penerbit nasional tetap ada. Pernah saya mengirimkan naskah, tapi ditolak penerbit :(

Itu sebabnya membaca buku mbak Dian Kristiani yang berjudul Momwriter's Diary menjadi sangat istimewa. Dari judulnya saja, sudah sangat dekat dengan saya. Saya adalah seorang ibu, sekaligus suka menulis.

Mbak Dian yang sibuk dengan urusan domestik itu sungguh memukau saya dengan kemampuannya menerbitkan puluhan buku setiap tahun, yang beberapa diantaranya termasuk best seller *acung jempoool*

Dalam bukunya ini, Mbak Dian menuliskan pengalamannya sejak awal merintis jalan menjadi penulis, mengirimkan naskah, pembagiaan royalti buku, manajemen waktu serta beberapa hal praktis seperti tips menulis kumpulan cerita, membuat portofolio yang asyik, mengajukan naskah buku bergambar ke penerbit dan pengalaman menulis novel. Sangat tepat jika ini disebut buku bergenre inspirasi. Pokoknya B3 alias bukan buku biasa deh :D

Salah satu bab favorit saya di buku Momwriter's diary (dok.pribadi)
Tapi, ada satu bab yang sangat menohok saya yaitu "Workshop menulis, perlukah?".

Mengapa saya bilang menohok? Karena sebagaimana pengalaman mbak Dian yang terbiasa menulis napas pendek, demikian pula saya. Hanya saja bedanya, mbak Dian terbiasa membuat cerpen dan tulisan-tulisan singkat, maka saya terbiasa membuat berita, feature ataupun tulisan berdasar fakta lainnya. Mungkin lebih singkat lagi jika dibanding dengan tulisan mbak Dian.

Satu lagi, saya merasa tulisan ini seakan-akan ditujukan kepada saya *jiehehehe GR amat,rin* ketika di awal paragraf bab itu, mbak Dian mengatakan tidak pernah tertarik untuk mendengar atau membahas segala teknik dan tetek bengek "how to write".

Kalau membaca tulisan saya, jarang ditemukan tulisan yang muter-muter, mendayu-dayu dan mengombang-ambing perasaan *tsaaaaah*, tapi tulisan saya itu lebih to the point, jelas dan berdasar fakta. Mungkin karena pengaruh saya terbiasa menulis untuk berita di media. Tentu saja jika saya ingin menulis buku, gaya penulis yang sudah saya lakukan itu tidak dapat diterapkan.

Membaca pengalaman mbak Dian dalam bab tersebut menyadarkan saya bahwa jika saya ingin menulis buku, maka ada teknik-teknik penulisan yang harus saya pelajari terlebih dahulu. Menulis buku tak hanya sekedar bermodal keinginan menulis, ataupun kemampuan saya menulis berita seperti saat ini.
"Nah sejak saat itu aku memutuskan bahwa ada hal-hal tertentu yang memang HARUS kupelajari dan tidak bisa hanya mengandalkan bakat alam. Memang ada yang bilang otodidak. Tetapi, jika otodidak ditambah dengan polesan teknis, bayangkan dong apa jadinya? Tulisan yang ciamik!"
Sungguh satu paragraf itu seakan-akan membangunkan saya. Mungkin selama ini, hal itu yang membuat saya tertahan hingga belum mampu membuat buku sendiri dan menembus penerbit. Ada hal-hal yang seharusnya perlu saya pelajari untuk itu. Disaat yang bersamaan, saya merasa masih ada harapan untuk saya. Saya masih memiliki peluang asal mau belajar, gigih dan tidak menyerah.

Cita-cita saya suatu hari benar-benar dapat mengandalkan menulis sebagai mata pencaharian tanpa bernaung dibawah sebuah lembaga tertentu dan saat ini saya mulai menata langkah.

Saya ingin menjadi Momwriter!

Terimakasih sudah menulis buku inspiratif Momwriter's diary ini mbak Dian *peluuuuk*



























6 comments:

  1. paling salut sama ibu2 yang sempat nulis di blog dan nelurin buku^^

    ReplyDelete
  2. Aamiin smg tercapai cita2nya ya mak..

    ReplyDelete
  3. Ternyata asalnya sudah dari reporter. Jurnalism juga. Pantes, tulisane apik, Mba. :)

    Semoga cita2nya menjadi Momwriter terwujud ya, Mba. Etapi, sekarang sudah menjadi momwriter e.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehe makasih mba Idah :) aku bukan kuliah jurusan jurnalistik, tapi fakultas hukum :D

      Aamiin. Tapi sekarang belum jd momwriter beneran, masih jadi pekerja ^_^

      Delete

Terimakasih yaa ^_^

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...