Pages

Thursday 26 June 2014

Renungan Hujan

Sinar matahari yang berjuang menembus awan mendung (dok.pribadi)
Siang itu tak tampak matahari dan awan putih berarak. Sejak pagi, hanya awan gelap dan rintik hujan yang menghiasi langit. Saya pun memulai hari dengan berusaha membangkitkan semangat hari itu. Sayangnya, ada beragam aktivitas yang menuntut saya, meski semangat itu tak kunjung datang.

Alhasil, saya hanya beraktivitas tanpa semangat. Jangankan bersiul riang memulai hari, wajah tak merengut saja sudah lumayan.

Hari itu saya harus berhadapan dengan seorang pegawai dari sebuah bank ternama. Jika mendengar penjelasannya saja sudah malas, jadi bisa ditebak bagaimana saya bereaksi. Senyum dipaksa dengan sedikit basa basi, akhirnya keluar dari mulut saya.

Melanjutkan perjalanan ke tempat kegiatan, merupakan sebuah keharusan. Meski sebenarnya, saya ingin melemparkan diri kembali ke rumah. A woman should do what she has to do.

Langkah saya kemudian ditemani rintik hujan yang semakin menjadi. Untunglah sebuah bis besar segera datang menyelamatkan saya. Naik ke dalam bis yang penuh sesak dengan penumpang yang biasanya lengang, kali ini penuh oleh ibu-ibu beserta anak-anaknya yang akan menuju sebuah pasar di tengah kota metropolitan yang disebut sebagai salah satu pasar tekstil terbesar di Asia Tenggara.

Saya duduk di bagian paling belakang bis. Sambil membaca buku yang sengaja saya selipkan di tas sebelum keluar rumah, saya berpikir, apakah hari ini akan berbeda jika matahari bersinar cerah dan tak ada rinai hujan yang menyirami bumi? Mengapa mendung dan hujan senantiasa dihubungkan dengan hal-hal suram dan membuat hati galau, padahal hujan sendiri merupakan anugrah Sang Pencipta yang sungguh luar biasa.

Analisa dangkal saya mengatakan, mungkin karena reaksi primitif manusia terhadap hujan. Mengapa saya sebut primitif, karena hal itu tak berubah sejak manusia pertama dulu. Hujan membuat kita berteduh, berlindung di tempat ternyaman bersama dengan orang-orang yang kita cintai. Sehingga, saat hujan dan kita sendirian atau bersama orang-orang yang tak kita kenal dan sebaliknya, maka rasa sendiri dan kesepian itu akan menyapa.

Ingin bukti? Cobalah berada dalam suasana mendung dan hujan didalam bis yang penuh sesak dengan puluhan orang yang tak kita kenal, bandingkan dengan menikmati rinai hujan didalam rumah, didalam kamar sebagai tempat ternyaman bersama dengan orang-orang yang dicintai. Yang mana yang akan kita pilih?

Mungkin hujan mengisyaratkan kita untuk berhenti sesaat dan menikmati hari bersama orang-orang yang kita cintai. Hanya saja, manusia modern saat ini terlalu sibuk untuk melakukan itu. Banyak pekerjaan dan aktivitas penting yang akan terlewat jika demikian.

Tak terasa, bis yang saya tumpangi sudah sampai. Selamat menikmati hari ini :)

4 comments:

  1. kalau aku selalu suka hujan mbak.. terutama aroma tanah basahnya itu lho ;)

    ReplyDelete
    Replies
    1. aku juga suka itu, terutama kalau sedang di rumah hehehe :) Makasih udah mampir yaa

      Delete
  2. 2 hari ini, Bekais lagi hujan. suka banget, bikin adem. Tapi, kalau lagi di jalan suka males kalau hujan. suka macet hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. ehehe saya juga sama mak. Apalagi kalo lagi naik bis, berdoanya pas turun, hujannya udah berhenti :)

      Delete

Terimakasih yaa ^_^

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...