Pages

Friday, 30 August 2013

Surga Penikmat Kopi Itu Ada di Dua Negara ASEAN

 Secangkir kopi nikmat (bubblews.com)

Vietnam. Akhirnya nama negara ini muncul dalam tantangan lomba blog #10daysforASEAN yang diadakan aseanblogger. Negara ini seakan memiliki arti khusus dan sangat familiar dengan saya, meskipun saya belum pernah menjejakkan kaki kesana. Loh kok bisa? Eits, tapi apa juga hubungannya Vietnam dengan judul saya diatas tentang kopi?

Kaitannya yaitu tema yang diberikan aseanblogger, berikut cuplikannya :
 
"Sekarang ini, minum kopi sudah menjadi bagian dari gaya hidup modern. Hampir di seluruh penjuru kota, tidak hanya di Indonesia tetapi juga ASEAN, banyak tersebar gerai kopi. Di dunia, negara penghasil kopi terbesar adalah pertama: Brazil,  kedua: Vietnam dan ketiga adalah Indonesia.

Kedua negara terakhir adalah anggota ASEAN. Menuju Komunitas ASEAN 2015 ini, mampukah Vietnam dan Indonesia merebut pangsa pasar kopi dunia? Bisakah kedua negara tersebut menjadi partner produksi kopi, bukan menjadi rival atau saling bersaing?  Tuliskan pendapatmu di blog tentang kemampuan Indonesia dan Vietnam merebut pangsa pasar kopi di dunia, berkaitan dengan Komunitas ASEAN 2015. Tidak hanya bersaing tetapi bisa juga menjadi partner bersama."

Nah, kembali ke bahasan awal saya tentang Vietnam, maasih ingat posting saya sebelumnya soal saya mengurus visa untuk pelatihan di salah satu negara di Eropa? *baca kan, kan, kan :D* Nah salah satu negara peserta saat itu adalah Vietnam. Kebetulan mereka mengirimkan dua orang jurnalis yang kemudian menjadi teman terbaik saya selama pelatihan disana yaitu Dieu Nguyen Thuy dan Vu Thi Thu Tra. Dengan nama panggilan, Thuy dan Tra. 

Saya, Tra dan Thuy ditengah musim dingin di Berlin, Jerman
(dokumentasi pribadi)

Salah seorang sudah berkeluarga dan memiliki pengalaman yang hampir serupa dengan saya. Kangen anak dan suami di tanah air, nangis-nangis saat di telepon ataupun curi-curi chatting saat di kelas waktu pelatihan. Sementara yang seorang lagi adalah seorang traveler sejati, sukanya jalan-jalan. Maklum masih single. Usia kami bertiga juga tidak terpaut jauh saat itu.

Dari mereka saya melihat kebudayaan dan kebiasaan orang-orang di Vietnam. Mereka sama-sama makan nasi sebagaimana kita orang Indonesia dan juga penyuka mie. Saat kami bersama-sama, biasanya kami suka mencari restoran Vietnam. Masakan dan bumbunya tak terlalu berbeda jauh dengan Indonesia. Lidah saya dapat menikmati hampir seluruh hidangannya. Hanya saja, sebagian besar mereka beragama Budha dan terbiasa mengonsumsi (maaf) daging babi, sehingga saya harus berhati-hati memperhatikan jenis makanan yang dipilih atau ditawarkan mengingat saya seorang muslim.

Terlepas dari perbedaan, saya justru lebih banyak melihat persamaan diantara kami. Perawakan mereka juga hampir sama dengan saya, hanya saja kulit mereka lebih putih dibandingkan orang Indonesia yang berkulit sawo matang. Sama dengan Indonesia yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa asing, maka percakapan bahasa Inggris kami tak selancar rekan dari Philiphina ataupun dari Afrika yang menggunakan bahasa Inggris sebagai official language, alias semua urusan resmi termasuk di perkantoran wajib menggunakan bahasa inggris.

Kedua orang teman saya tinggal di ibukota Vietnam, Ha noi. Tidak heran, sebab mereka adalah jurnalis yang harus meliput berbagai kegiatan yang terpusat di Ibukota.  Tak terlalu berbeda dengan media di Indonesia yang banyak memusatkan kegiatan peliputan di Ibukota Jakarta.

Sedikit berbicang mengenai kehidupan politik Vietnam, yang secara resmi disebut Republik Sosialis Vietnam, merupakan sebuah negara dengan partai tunggal yaitu Partai Komunis. Itu sebabnya, hanya organisasi politik yang bekerjasama atau memperoleh dukungan dari Partai Komunis diperbolehkan mengikuti pemilihan umum.

Dari sisi kebebasan pers, karena kami sama-sama jurnalis waktu itu, saya mengetahui bahwa para jurnalis disana termasuk pegawai pemerintahan, atau juga disebut pegawai negeri disini mungkin ya. Tak hanya media, bahkan penerbitan buku pun tak sebebas di Indonesia. Ketika saya mengatakan hendak membantu teman menerbitkan buku dan rencana saya untuk melakukannya sendiri nanti, teman saya sempat terkejut. "Wah hebat sekali, di negara kami menerbitkan buku tidak mudah," ujarnya.

Untuk media seperti internet juga saya sempat mendengar setelah kembali ke Indonesia, bahwa jejaring sosial, Facebook sempat diblokir dinegara mereka. Tapi, sepertinya saat ini sudah tidak lagi, karena saya melihat akun Facebook teman saya sudah aktif kembali. Sejak berada bersama dalam pelatihan tahun 2009 silam, memang tak banyak interaksi lagi antara saya dan mereka berdua. Kesibukan kami masing-masing seakan membuat kami terlupa untuk sekedar saling sapa.

Ngopi ala Vietnam

Sayangnya, saya tak banyak bertukar cerita tentang kebiasaan minum kopi para penduduk Vietnam. Padahal Indonesia dan Vietnam adalah dua negara ASEAN yang produsen kopi terbesar di dunia, setelah Brazil. Kopi Vietnam disebut-sebut sebagai produsen kopi nomor dua, sementara Indonesia nomor tiga.

Saya lebih banyak ngopi di kamar apartement sendiri dengan kopi sachet yang saya bawa dari tanah air. Jarang saya melewatkan waktu untuk di Kafe bersama teman-teman. Sehingga pengetahuan mengenai kebiasaan ngopi pun sedikit terlewat oleh saya. Maklum, saya juga harus menghemat uang saku kala itu. Jadi saya membawa dari Indonesia, seperti mie instan, kopi sachet dan teh siap pakai.

Saya justru mengintip dari blog beberapa teman traveller yang pernah mengalami ngopi di Vietnam, mbak venus di blognya yang keren http://venus-to-mars.com/ dan mas Harry Jusdi dalam blog http://harryjusdi.wordpress.com/ .

Dari blog mas Harry saya tahu bahwa kopi disebut Ca Phe dan susu dalam bahasa Vietnam adalah Sua. Kemudian Ca Phe Sua artinya Kopi Susu, Ca Phe Sua Da untuk Kopi Susu Dingin dan Ca Phe Sua Nong artinya Kopi Susu Panas.

Bahasa Vietnam memang unik, kata dalam bahasa mereka sangat singkat, biasa terdiri dari dua huruf sampai empat huruf. Bisa terlihat dari sebutan kopi dan nama teman-teman saya di atas. Itu sebabnya sewaktu kedua teman saya mengobrol, bagi orang asing seperti saya, mereka bicara dengan sangat cepat, mungkin karena tiap katanya memang sangat pendek.

Nah, dari blog mas Harry dan mbak Venus juga saya tahu bahwa penduduk Vietnam punya kebiasaan unik dalam minum kopi yaitu terlebih dahulu menyaring dengan menggunakan coffee drip agar kopi tak berampas dan mencampurnya dengan susu manis.

Vietnam coffee (© MIYOKO KOMINE/amanaimagesRF/amanaimages/Corbis)

Tapi kalimat-kalimat kenikmatan kopi Vietnam mbak Venus yang justru bisa bikin bahkan bukan penggemar kopi pun jadi ngiler ngebayanginnya :

"Bayangin kopi panas (kopi beneran, bukan instan) yang keeeeental banget, peeeeeekat banget, yang pahitnya pol-polan, dipadu dengan susu kental manis dalam takaran besar, kadang hampir sepertiga dari jumlah cairan kopi pekatnya. Campuran (dan takaran) ajaib itu kemudian disajikan dalam gelas kecil, panas-panas, atau super dingin dengan es batu, disruput perlahan-lahan, dinikmati setiap tetesnya, sampai tandas."

Slurrrrppp..panas-panas gini, saya jadi bayangin satu gelas kopi campur susu dingin ada di hadapan saya saat ini juga *tongkat sulap manaaa tongkat sulaaap* :D

Lawan atau Kawan?

Kenikmatan kopi Vietnam memang mengundang banyak pengagum. Produksi kopi yang didominasi dari jenis robusta, merupakan salah satu sumber pendapatan utama Vietnam sejak permulaan abad ke-20 dan kini menjadi menjadi kekuatan ekonomi utama mereka.

Sebagaimana dilansir Indonesia Finance Today mengenai produksi kopi Indonesia dan Vietnam, bahwa satu hektar, kebun kopi di tanah air hanya mampu menghasilkan sekitar 500 kilogram kopi. Sedangkan, Vietnam sudah mampu menghasilkan 2 ton kopi per hektare. Data ini berdasarkan Food Agriculture Organization (FAO) tahun 2012. Perbedaannya cukup besar, sehingga tak heran produksi kita dari sisi kuantitas masih tertinggal jauh.

Tercatat, pada tahun 2012, Indonesia mampu memproduksi sedikitnya 748 ribu ton atau 6,6 persen dari produksi kopi dunia. Sedikt berbeda dengan Vietnam, produksi kopi Indonesia, hampir mencapai 20 persen dari jenis Arabika, dan sisanya kopi robusta. Sementara, produksi kopi di Vietnam masih didominasi oleh kopi robusta. Dari segi harga, kopi Arabika  memiliki harga jual sekitar 3-4 kali lipat dibanding Robusta.

Di pasar kopi internasional, sebenarnya produk kopi Robusta yang menjadi fokus produksi di Vietnam memiliki kualitas yang lebih rendah jika dibandingkan dengan Arabika sebagai komoditas ekspor. 

Jadi bagaimana Indonesia dan Vietnam bisa berjalan beriringan sebagai sesama negara ASEAN meraih pasar kopi dunia?

Menurut pandangan saya, perlu diadakan studi banding antara kedua negara dalam pengembangan kopi. Konon, Vietnam dulu pernah mempelajari mengenai perkebunan dan pengembangan produksi kopi, namun nyatanya saat ini mereka lebih menguasai pasar dari segi kuantitas.

 Kebun kopi di Lampung (republika.co.id)

Lalu apa keuntungan untuk keduanya jika diadakan kerjasama dan bagaimana caranya? Menurut saya, Indonesia memiliki berbagai jenis kopi berkualitas yang sangat spesial, yang terkenal di dunia seperti Gayo Coffee, Mandailing Coffee, Lampung Coffee, Java Coffee, Kintamani Coffee, Toraja Coffee, Bajawa Coffee, Wamena Coffee serta Luwak Coffee. Dari sini Vietnam, dapat mempelajari bagaimana mengembangkan kopi-kopi spesial tersebut.

Sementara Indonesia dapat mempelajari bagaimana memaksimalkan produksi kopi sebagaimana yang dilakukan Vietnam. Tentu saja mereka memiliki budidaya tertentu yang dapat memperkaya pengetahuan para petani kopi di Indonesia.

Mungkinkah hal ini dilakukan? Saya yakin tidak ada yang mustahil, apalagi Indonesia dan Vietnam bagaikan saudara serumpun. Dengan keterlibatan berbagai pihak dan kesungguhan bersama, bukan tak mungkin dalam beberapa tahun ke depan, Brazil tak lagi berada di posisi teratas di pasar kopi dunia.

Ah, semoga teori dan harapan saya tak terlalu muluk-muluk. Yang pasti saya sangat menikmati hangatnya hubungan persabaatan saya dengan dua warga Vietnam dan menantikan ingin bertemu mereka kembali ketika mereka berkunjung ke Indonesia ataupun saya yang bisa menjejakkan kaki di sana. Doakan ya!







Thursday, 29 August 2013

Visa or No Visa?

 Paspor Republik Indonesia (extratravel.co.id)

Aw..aww pagi-pagi sudah disuguhin tema yang membahana di hari ke-4 lomba blog #10daysforASEAN yang diadain aseanblogger . Temanya gak tanggung-tanggung, kali ini soal visa.Tapi sayangnya ini bukan makanan asal Italia itu loh ya *eh itu sih pizza kali..fokus rin..fokus* hehehe :)

Apalagi kali ini visa dikaitkan dengan pengurusan visa di negara Myanmar. Baiklah, Om Google let's get to work! Oh ya, saya cuplik dulu tema penugasannya nih ya :
 
"Hampir semua negara di ASEAN, telah membebaskan pengurusan visa bagi wisatawan yang ingin berkunjung ke negaranya, namun tidak dengan Myanmar. Kenapa ya, berwisata ke Myanmar tidak cukup dengan mengandalkan paspor saja? Perlu atau tidak visa bagi perjalanan wisata?"

Baiklah daripada riuh rendah dan sorak sorai saya berkelanjutan, mari kembali ke tema. Tapi, saya pakai contoh yang pernah saya alami dulu kali ya. Sebagaimana prinsip saya, "Menulis yang Dipahami, Memahami yang Ditulis". Artinya, tiap tulisan saya diusahakan agar dapat dipahami pembacanya dan saya mendapat pengetahuan baru dari penulisan yang saya lakukan. Hihihi ngejelasin ini aja udah ribet ya maak :)

Definisi dan Cara Pengajuan Visa

Jadi apa sih yang dimaksud visa?  Visa merupakan surat rekomendasi yang dikeluarkan oleh perwakilan dari suatu negara tertentu ketika seseorang ingin memasuki negara yang bersangkutan. Bentuk dari surat rekomendasi ini seperti stiker yang ditempel di halaman dalam paspor dengan ukuran beragam, mulai dari sebesar perangko, KTP atau bahkan mungkin juga hanya berupa cap stempel saja.

Nah masing-masing negara memiliki kebijakan visa yang berbeda, misalnya bebas visa, bebas hanya untuk negara tertentu atau harus dengan visa tanpa terkecuali. Tapi, untuk pemegang paspor asal Republik Indonesia tidak terlalu banyak negara yang memberlakukan bebas visa, karena sebagian besar negara mash memberlakukan visa ketika ingin memasuki negara mereka.

Pertama kali saya harus mengurus visa yang belibet ke Kedutaan Besar (Kedubes) adalah ketika saya mendapat beasiswa untuk pelatihan yang dilaksanakan di salah satu negara Eropa. Jadilah saya wajib mengurus visa schengen. Sebelumnya saya sudah pernah ke beberapa tetangga, namun memang tidak memerlukan visa.

Untuk mengurus visa ini memang sedikit ribet ya sodara-sodara. Beberapa berkas dokumen harus saya siapkan. Beruntung saya memperoleh beasiswa yang didukung penuh oleh Kedubes asal negara tersebut, jadi rekomendasi saya langsung diberikan oleh pihak sana.

Tapi untuk memperoleh visa, tetap saja, saya harus daftar. Ketika datang pagi-pagi, saya lihat sudah ada antrian masuk di depan Kedubes. Nah, beruntung lagi saya karena bebas antrian awal. Saya langsung menemui salah satu petugas di Kedubes. Setelah mengobrol beberapa saat, beliau memberikan surat rekomendasi untuk saya. Tapi, itu baru awal proses pengurusan visa, sodara-sodara.

Inget ya, kalau ngurus visa itu wajib hukumnya bawa paspor! Jangan kaya saya, pake acara drama ketinggalan paspor hahahahaa *kacau ini pelupanya*

Setelah itu saya harus antri dalam satu ruangan untuk menyerahkan semua berkas. Para pengantri diberikan nomor antrian. Saya sengaja duduk sedekat mungkin dengan loket. Bukan buat ngintip, sedikit sih, maklum belum pernah ngurus yang beginian. Ternyata, ada biaya yang harus dikeluarkan. Waduuuh..saya kan gak bawa uang sebesar itu, tapi kok ya gak diberitahu sebelumnya? Bimbang dan galaulah saya selama menunggu.

Alhamdulillah, ternyata karena saya ikut program beasiswa yang didukung oleh Kedubes secara langsung, maka visa saya bebas biaya. Horeee!! Hahahaha emang nikmat kalo dapat gratisan yak.

Setelah ditanya-tanya sedikit sama petugas di loket soal kelengkapan dokumen, kemudian saya diberikan selembar surat dan disuruh kembali, kalau tidak salah sekitar dua minggu kemudian. Untuk apa sodara-sodara? Ya untuk ngambil visa lah. Tapi bentuknya seperti apa juga saya gak tahu saat itu. Eh moga-moga belum bosen ya baca tulisan saya ini, hihihi padahal belum nyentuh Myanmar sama sekali ini.

Sesuai dengan waktu yang ditentukan saya pun kembali ke Kedubes. Penasaran pengen tahu gimana sih visa schengen. Taraaaa...ternyata visa itu berupa cap dihalaman dalam paspor dengan foto dan beberapa info lainnya di dalam paspor. Tapi, demi alasan keamanan, saya nggak berani foto paspor saya lengkap dengan visa schengen. Saya ambil ilustrasinya dari euronews, kira-kira seperti ini.

Visa schengen dalam paspor (euronews.com)


Kebijakan Pemerintah Myanmar

Kemudian bagaimana dengan kebijakan Myanmar yang memberlakukan visa, sementara sebagian besar negara ASEAN sudah membebaskan pengurusan visa bagi wisatawan yang ingin mengunjungi negaranya?

Menuru berita-berita yang saya baca mengenai Myanmar, kemungkinan kebijakan visa tersebut berkaitan dengan kondisi politik yang dikuasai militer dan faktor keamanan negara yang diwarnai dengan gelombang protes dari sebagian penduduk. Banyaknya gejolak politik dan instabilitas keamanan, membuat negara yang sebelumnya dikenal dengan nama Birma ini seakan-akan mengisolasi diri dari dunia luar.

Selain itu, sebagaimana di lansir di Kompas.com, Myanmar juga menghadapi konflik sosial yang memprihatinkan. Terjadi kekerasan massa yang semakin meningkat diantara kelompok mayoritas Buddha dengan minoritas Muslim, terutama dari suku Rohingya, yang berada di Negara Bagian Rakhine. Hal ini disebut-sebut sebagai dampak dari transformasi politik.

Fiuuhh..berat sekali ya membahas kondisi negara Myanmar saat ini, tak heran hal itu yang melatari kebijakan visa mereka.

Pengajuan visa on arrival ke Myanmar secara online (Myanmar-visa.org)

Untuk yang tetap berusaha masuk Myanmar, dapat mengajukan visa on arrival  (VOA) ke Myanmar secara online sebagai alternatif mendatangi Kedubes atau Konsulat secara langsung. Untuk pengajuan visa tersebut, isilah forum aplikasi secara online, kemudian menyiapkan paspor yang berlaku lebih dari enam bulan sejak kedatangan, foto dan dokumentasi lainnya. Lalu akan ada surat persetujuan yang dikirimkan.

Namun, bukan berarti kemudian kita langsung bebas melenggang masuk Myanmar. Yang menentukan justru ketika masuk di gerbang kedatangan, bisa saja tiba-tiba dilarang oleh petugas militer disana. Sepertinya memang perlu sedikit perjuangan jika keukeuh ingin berkunjuang ke Myanmar.

Negara Maju Vs Negara Berkembang

Jadi bagaimana sebaiknya negara memberlakukan kebijakan visa? Memang hal tersebut sangat tergantung dari kebijakan masing-masing pemerintahan. Sayangnya, kebijakan visa ini bisa disebut berbau "diskriminatif". Untuk sebagian besar negara maju, sebagian besar pemegang paspornya nyaris tidak memerlukan visa saat mengunjungi negara lain. Sementara, negara-negara berkembang, masih belum bisa menikmati fasilitas bebas visa saat memasuki negara tertentu.

Visa on Arrival merupakan salah satu bentuk pengajuan visa yang diperoleh saat seseorang memasuki bandara kedatangan di negara yang dikunjunginya. Hanya saja untuk pemegang paspor Republik Indonesia, bisa dibilang baru sedikit negara yang memberlakukan bebas visa ataupun VOA. Berikut keterangannya yang saya kutip dari Extratravel :

1. Bebas Visa untuk WNI:
  • Hampir semua negara anggota ASEAN (Thailand, Malaysia, Singapura, Brunei Darusalam, Philipina, Vietnam).
  • Beberapa negara asia seperti Hongkong dan Macao
  • Beberapa negara Amerika selatan seperti Chili dan Peru
  • Negara Afrika seperti Maroko Negara kepulauan pasific yaitu Guam dan Fiji
  • Negara Eropa seperti Turki
2. Visa On Arrival
  • Negara Asia seperti Laos, Timor Leste, Mesir, Nepal, Srilanka, Maladewa
  •  Negara Arab seperti Oman dan Iran
Catatan : Daftar ini kemungkinan bisa berubah, bertambah atau berkurang jadi jadi untuk info terbaru silakan di cek di kedutaan negara yang akan Anda kunjungi.


Sementara untuk teman-teman yang akan berkunjung ke Jepang, Amerika ataupun negara Eropa, kebijakan visa yang berlaku adalah pengajuan langsung ke Kedubes atau Konsulat perwakilan negara tersebut. Sebagaimana yang saya ceritakan dalam pengalaman saya sebelumnya.

Jika sebuah negara ingin mengundang warga negara asing atau wisatawan sebanyak-banyaknya ke negaranya, tentu saja pemberlakuan bebas visa ataupun alternatif visa on arrival dapat diberlakukan. Semua tergantung kepada kesiapan masing-masing negara. Mari berharap Indonesia dapat semakin banyak menikmati fasilitas bebas visa, sehingga kita bisa lebih nyaman melakukan perjalanan. Setujuu?
 














Wednesday, 28 August 2013

Indonesia For Your Unforgettable Moments

Pulau Raja Ampat (www.indonesia.travel)

Setelah dua hari berturut-turut menebarkan pandangan ke negara-negara tetangga, dalam rangka menulis untuk lomba blog #10daysforASEAN yang diadakan aseanblogger.com maka pada hari ke-3 para peserta diminta untuk kembali ke tanah air. Berikut saya cuplik penugasan dari panitia :

"Indonesia kaya dengan beragam budaya, namun di sektor wisata, Malaysia lebih berhasil mem-branding “Truly ASIA”. Kira-kira apa ya branding yang cocok untuk Indonesia? Buat tagline, dan jelaskan kenapa tagline itu cocok untuk Indonesia di kawasan ASEAN".


Pertama membaca ini, saya terdiam sesaat. Ada kebingungan di dalam otak saya. Bingung karena buntu?

Bukan, sama sekali bukan. Di dalam otak saya, tiba-tiba membuncah puluhan bahkan ratusan ide mengenai bagaimana keindahan Indonesia didukung oleh ragam budaya yang sangat kaya. Berbagai pengalaman pribadi sampai dengan hal-hal yang saya dengar, baca dan lihat dari berbagai media tentang Indonesia seakan berlomba-lomba menyeruak dan meminta untuk segera ditulis.

Jujur saja, setiap kali saya melihat iklan wisata Malaysia "Truly ASIA" ada sedikit terasa cubitan di hati. Cuplikan tayangan yang memuat pemandangan matahari terbit, bentangan pegunungan, pantai-pantai indah, harimau dan orang utan, lokasi wisata arung jeram hingga kawasan perbelanjaan modern dan kuliner. Hati saya seakan berteriak "Itu semua juga ada di Indonesia!!!"

Mengapa keindahan Indonesia di mata internasional hingga saat ini masih terbatas pada Bali? Padahal siapa yang dapat mengingkari keindahan pemandangan matahari terbit ketika berdiri di Gunung Bromo, pantai-pantai yang luar biasa di Raja Ampat, Papua, kemudian mengarungi arung jeram Citarik yang menantang, berinteraksi dengan orang utan di pulau Borneo alias Kalimantan dan menikmati pengalaman belanja di Jakarta sebagai "kota sejuta mal". Lalu siapa yang dapat menolak kenikmatan sate ataupun nasi goreng khas Indonesia, yang bahkan dikangeni oleh seorang Presiden Amerika Serikat, Barack Obama. Apakah itu masih kurang? Dimana salahnya?

Tanggungjawab Bersama
 
Saya sendiri enggan terlalu menyalahkan Pemerintah yang kini wewenangnya berada di Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.  Mungkin akan ada pernyataan, "Loh kan memang mereka yang bertanggung jawab, memangnya kita bisa apa sebagai orang biasa?"

Tentu saja bisa! Apakah Anda biasa berbelanja negara tetangga padahal barang yang sama dapat ditemukan di Indonesia? Apakah Anda jauh-jauh mendatangi pantai indah di negara lain, padahal pantai indah menghampar di hampir seluruh pulau di tanah air? Satu pertanyaan yang tak kalah penting, banggakah Anda menjadi seorang warga negara Indonesia?

 "Idih kok jadi kejauhan sih soal wisata sampai ke kebanggan menjadi warga negara segala, lebay deh". Kalau itu yang kemudian jadi tanggapannya, yuk mari saya ulik lagi sudut pandang saya.

Saya ambil satu contoh mudah. Saat ini musim jejaring sosial. Semua rasanya harus dipublikasikan di jejaring sosial, mulai dari bangun tidur sampe berangkat tidur lagi. "Eksis dong". Itu alasan sebagian orang yang saya tanya.

Nah, sebagian besar merasa lebih bangga posting foto-foto ke luar negeri dibandingkan dengan wisata di dalam negeri. Betul atau betul?

Saya sendiri tidak mengingkari hal tersebut, karena foto profil saya di Facebook pakai foto waktu saya di salah satu negara Eropa kok hehehe. Eits, bukan berarti saya kurang nasionalis dan tidak konsisten dengan perkataan saya barusan loh. Pasalnya, foto itu diambil oleh seorang teman dengan menggunakan kamera yang bagus dengan sudut yang pas. Sehingga, menjadi salah satu foto favorit saya.

Kembali ke soal wisata, jadi seharusnya bagaimana dong? Saya sendiri secara pribadi jarang melakukan travelling, karena memang saya orang rumahan dan anak-anak yang masih kecil untuk dibawa bepergian, kesibukan suami sering tidak mengizinkan. Jadi wisata yang saya lakukan, sebagian besar tidak jauh-jauh di sekitar kota kediaman saya.

 Arung jeram di sungai Citarik, Sukabumi, Jawa Barat 
(www.disparbud.jabarprov.go.id)

Namun, saya bercita-cita untuk mengunjungi beberapa lokasi wisata nasional sebelum melanglang buana ke wisata luar negeri. Saya ingin menikmati  pemandangan matahari terbit di Gunung Bromo, menyelam di pantai-pantai Raja Ampat, Papua, dan mampu mengumpulkan keberanian untuk mengarungi arung jeram Citarik, bahkan mengunjungi orang utan di Kalimantan, tak hanya sekedar melihatnya di Kebun Binatang Ragunan.

Produk Dalam Negeri 
 
Saya sendiri berusaha mulai mencintai produk-produk anak negeri. Saya suka melihat-lihat secara online, kain-kain tradisional Indonesia, seperti batik, tenun, songket dan lain-lain.Kain-kain tersebut kemudian dijadikan baju, peralatan rumah tangga dan bahkan tas sampai sepatu. Betapa saya kagum melihat karya-karya anak bangsa yang luar biasa yang tampak pada hamparan kan-kain cantik tersebut. Terbayang tangan-tangan terampil yang dengan tekun mengerjakannya.

 Sarung bantal dan taplak meja batik (koleksi Ati Soerjo Galeri)

Namun, itu hanyalah sebagian kecil dari produk dalam negeri yang bisa saya gunakan. Ditengah gempuran produk-produk impor di Indonesia, kini rasanya semakin sulit mencari produk-produk tertentu yang merupakan buatan dalam negeri. Peralatan sekolah anak-anak, produk plastik rumah tangga hingga beberapa jenis buah kesukaan anak-anak, masih banyak yang merupakan produk impor.

Tapi, ada satu yang tidak bisa diimpor, lokasi pariwisata! Hehehe ya iya lah, mana bisa pantai dan gunung diimpor. Selagi kita bisa mengunjungi lokasi wisata nusantara yang tak kalah memukau untuk apa jauh-jauh ke luar negeri, demikian juga kalau belanja masih bisa dilakukan di Indonesia, buat apa terbang ke negara tetangga untuk berbelanja. Bukankah demikian?

Kemudian, tugas Pemerintah adalah untuk membuat kebijakan-kebijakan yang dapat mendukung perkembangan pariwisata Indonesia. Memperbaiki lokasi wisata dengan sarana dan prasarana memadai, mengadakan pelatihan untuk pemandu wisata dan masyarakat sekitar lokasi bahkan mungkin membuat suatu kebijakan yang bekerjasama dengan maskapai penerbangan atau sarana transportasi lain, agar biaya transportasi ke beberapa kawasan wisata nusantara semakin terjangkau. Setuju atau setujuu? Saya sih setuju banget deh.

Tentu saja tulisan saya ini hanyalah sudut pandang yang sangat subyektif dan setiap orang punya pandangan masing-masing. Namun, saya yakin setiap orang mampu untuk berkontribusi dalam memajukan pariwisata nusantara. Lakukan mulai dari hal yang paling mudah dan lakukan sekarang.
 
 Gunung Bromo di Jawa Timur (www.balibackpaker.blogspot.com)

Berkaca dari tulisan saya ini, ada beberapa ide saya untuk menjawab pertanyaan mengenai tagline untuk branding Indonesia yang mudah diingat. Saya sempat terpikir untuk membuat tagline "Indonesia, Unforgettable Asia". Tapi kok rasanya jadi menjiplak tagline dari Malaysia yang sudah banyak dikenal itu. Maka saya mencoba membuat tagline lain. Kemudian, saya memutuskan untuk membuat tagline ini "Indonesia for Your Unforgettable Moments".

Kalau ditanya kenapa harus buat tagline berbahasa Inggris, maka saya akan menjawab karena ini akan diperuntukkan bagi seluruh warga dunia dan kebetulan bahasa Inggris adalah bahasa internasional yang paling banyak digunakan. Untuk saya, bahasa Indonesia tetap menjadi jati diri dan kebanggan saya, sebagaimana saya bangga dengan kekayaan alam dan budaya Indonesia. Merdeka!!


  






















Tuesday, 27 August 2013

Indonesia-Kamboja: Satu Rumpun, Dua Budaya, Satu Hati


Bendera Indonesia dan Kamboja

Hai..haiii hari Selasa ini buat saya berarti hari ke-2 sebagai peserta lomba blog #10daysforASEAN yang diadakan aseanblogger.com Yuuk semangat!

Nah, kalimat pertama yang diberikan panitia untuk tema hari ini adalah pertanyaan "Sudah pernah berwisata ke Candi Borobudur?". Alhamdulillah udah pernah, meskipun cuma satu kali, kalo gak mau ditaro kemana ini muka :D

Perjalanan saya ke Candi Borobudur yang berada di Magelang, Jawa Tengah, waktu saya masih pake rok abu-abu dan masih chubby-chubby imut, alias karya wisata bareng sekolah. Duuh itu udah sekitar belasan tahun yang lalu. Maklum saya itu bukan tipe manusia travelling, kecuali ada tugas negara dan perintah suami untuk jalan-jalan *mauunyaaa*.Yang saya inget candi Borobudur itu luaaas dan tangganya banyaaaaak sekali. Perjuangan banget deh mau mencapai ke atas. Hahaha jaman saya gadis remaja aja udah ngos2an, gimana sekarang ya.

Kabarnya, Candi Borobudur yang merupakan candi Buddha dan Angkor Wat, sebuah kuil Hindu yang berada di kota Siem Reap, kota kecil di bagian utara Kamboja, memiliki kemiripan. Itu bukan kata saya loh ya, lha wong saya belum pernah ke Angkor wat, tapi  menurut penjelasan ahli sejarah.

Candi Borobudur dan Kuil Angkor wat 
(foto-foto: world-visits.blogspot.com dan commons.wikipedia.org)

Kata para ahli lagi, keduanya terpisah jarak waktu pembangunan sekitar tiga abad.Candi Borobudur diperkirakan dibangun sekitar 824 Masehi oleh Raja Mataram, sementara Angkor Wat dibangun oleh Raja Suryavarman sekitar tahun 1112-1152 M.Kalau ditelusuri lagi, kemiripan itu juga agak aneh sebab dilihat dari latar belakang agamanya saja sudah beda ya.

Yang kemudian menjadi pertanyaan selanjutnya, apakah hal ini  menandakan bahwa negara-negara di ASEAN itu serumpun? Saya sendiri tertarik menjawab pertanyaan ini dengan mempelajari lebih lanjut kemiripan masyarakat Kamboja dan Indonesia dari segi kebudayaan, tak sekedar Borobudur dan Angkor Wat.

Sebenarnya, hubungan politis antara Indonesia dengan Kamboja secara historis juga sangat menarik. Bahkan hubungan ini masih terjalin dengan baik sampai saat ini. Pada gelaran Pemilihan umum (pemilu) di Kamboja pada bulan Juli 2013 lalu, mereka mengundang Mantan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla ke Phnom Penh, sebagai Chairman Centrist Asia Pacific Democrats International (CAPDI) untuk memantau pelaksanaan pemilihan tersebut.

Menurut Wikipedia, jauh sebelum kemerdekaan Kamboja, Negara Kesatuan Republik Indonesia banyak membantu negara ini. Beberapa buku taktik perang yang dibuat oleh perwira militer Indonesia digunakan oleh militer Kamboja. Tak heran, jika pada saat itu, para calon perwira di militer Kamboja diwajibkan belajar dan dapat berbahasa Indonesia.

Namun, saya sendiri bukanlah pengamat politik dan tidak memiliki kapasitas untuk itu. Apalagi Kamboja merupakan salah satu negara dengan perkembangan politik dan konflik yang agak rumit dan menuai beberapa gejolak dalam negeri, yang tak terlalu saya pahami.  Saya lebih tertarik untuk membahas lebih lanjut dari sisi sosial budaya dari negeri Kamboja ini.

Beras Wangi Hingga Delman


Meskipun Indonesia kini mayoritas penduduknya beragama Islam, sementara penduduk Kamboja mayoritas beragama Buddha, namun tak bisa dipungkiri bahwa Indonesia juga memiliki sejarah agama Buddha serta Hindu pada awal abad Masehi. Sampai akhirnya, agama Islam kemudian dibawa melalui para pedagang yang menyebar ke seluruh nusantara.

Namun, ini bisa jadi menjadi satu poin penting, akar budaya yang sama antar Indonesia dan Kamboja, mengingat agama merupakan hal prinsip dan identitas dari seseorang dan sebuah komunitas. Yang bukan tak mungkin, hal ini yang melatari kemiripan antara Borobudur dan Angkor Wat.

Persamaan berikutnya, Indonesia dan Kamboja juga sama-sama mengedepankan agrikultur, yang masih menjadi andalan utama kehidupan ekonomi masyarakat, terutama untuk masyarakat desa. Ini juga yang membuat nasi, sama-sama menjadi makanan pokok di Indonesia, maupun Kamboja.

Jika di Indonesia kita mengenal beras pandan wangi asal Cianjur atau beras wangi Rajalele maka di Kamboja juga dikenal beras wangi. Selain itu, beras ketan juga menjadi salah satu hidangan yang umum ditemukan di Kamboja, sebagaimana di Indonesia. Di sana, beras ketan biasa dijadikan hidangan penutup atau dimakan bersama durian. Hehehe ini mengingatkan saya akan kebiasaan Papa saya yang berasal dari Sumatera Barat. Beliau biasa makan beras ketan dengan durian, yang kemudian menular kepada anak-anaknya. Nyam..nyaam..mak nyos loh beneran *duren manaaa dureen*

Semakin jauh mencari tahu tentang Kamboja, terutama para penduduknya, seakan-akan sedang melihat saudara-saudara se-tanah air. Lihat saja penggunaan sarung atau biasa disebut sampot di Kamboja, serta kain-kain tenun tradisional asal Kamboja lainnya, yang sekilas hampir mirip dengan tenun asal Indonesia.

Tampak beberapa persamaan antara tari khas asal Kamboja dan tari Bali
(foto-foto: trololoblogg.blogspot.com dan metro-bali.com)

Yang tak kalah menarik adalah persamaan dari kendaraan tradisional Kamboja, Tuk-tuk. Semacam delman di Indonesia, hanya saja Tuk-tuk menggunakan sepeda motor. Sementara itu, di Indonesia sebagian besar masih menggunakan kuda.

Oh ya, kabarnya rakyat Kamboja juga sangat menyukai sepak bola. Tak terlalu banyak berbeda dengan kita di Indonesia, bukan?

Ah membicarakan negara Kamboja membuat saya tergelitik untuk mengunjungi dan menyelami adat dan tradisi masyarakat disana yang tampaknya serupa tapi tak sama dengan Indonesia. Doakan saya semoga bisa segera berkunjung ke Angkor Wat, memakai sampot, naik Tuk-tuk dan tak lupa makan beras ketan dengan duriannya. Ayo siapa yang mau ikut?

















Monday, 26 August 2013

Antara Salon Thailand, Tahun 2015 dan Era Masyarakat Ekonomi ASEAN


Gambar ilustrasi © Lawrence Manning/Corbis

 "Jeng..jeng..pake sabun beras asal Thailand ini loh. Pasti kinclong deh,".

Kira-kira demikianlah ucapan yang sempat beberapa kali mampir di telinga ataupun tawaran yang kurang lebih hampir serupa dengan promosi tersebut di berbagai jejaring sosial. jenisnya pun beragam mulai dari sabun beras, sabun susu, atau ada juga sabun beras susu, serta sabun mutiara. Semuanya berujung pada satu hal, memutihkan kulit.

Terlepas dari sabun tersebut bisa benar-benar memutihkan atau tidak, ada dua fenomena lain yang saya tangkap dari hal tersebut. Apakah itu?

Pertama, orang-orang Indonesia sangat mudah terbius oleh produk impor. Kalau sudah disebut impor, gengsi langsung naik dan serasa jadi orang paling keren kalau memakainya. Kedua, betapa inginnya orang-orang Indonesia berkulit putih. Seakan-akan kulit yang putih menjadi dambaan dan dapat meningkatkan prestise. Padahal memang kulit sawo matang adalah identitas asli bangsa Indonesia.

Kalau saat ini, kita masih bisa tenang-tenang saja menghadapi hal tersebut dan semacamnya, tapi bagaimana dengan tahun 2015 nanti? Ada apakah tahun itu? Sebelum menjawab pertanyaan itu, maka kita harus mulai dari awal.

Ada yang masih ingat apa itu ASEAN? Hehehe ayo buka-buka lagi buku pelajaran anaknya, atau cari deh di Om Google.

aseanblogger.com

ASEAN adalah kepanjangan dari Association of South East Asia Nations. Ketika diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, ASEAN disebut juga sebagai Perbara yang merupakan singkatan dari Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara.

ASEAN didirikan tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok. ASEAN diprakarsai oleh 5 menteri luar negeri dari wilayah Asia Tenggara, yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina dan Singapura. Hingga kemudian negara-negara lain bergabung Brunei Darussalam, Vietnam, Myanmar, Laos dan Kamboja.

Sebagai bagian dari pembangunan komunitas di ASEAN, ada yang disebut dengan ASEAN Economic Community (AEC) 2015 atau diterjemahkan sebagai Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Ada tiga hal penting didalamnya yaitu integrasi perdagangan, pelayanan dan  wilayah investasi. Ketiganya dianggap sama penting dengan masyarakat politik dan keamanan serta masyarakat sosial dan budaya.

Kebebasan Pergerakan SDM


Dari sini kita akan mulai menjawab pertanyaan diatas tadi. Sebenarnya sabun pemutih Thailand itu merupakan salah satu pengandaian saya terhadap ASEAN Economic Community diatas yang akan berlaku tahun 2015. Tapi apa pengaruhnya sih buat kita? Tentu saja ada, bahkan pengaruhnya sangat luar biasa.

 Ilustrasi pribadi

Memasuki tahun 2015, akan ada kebebasan pergerakan Sumber Daya Manusia (SDM) di segala lini ASEAN dan tentu saja pergerakan bebas itu tetap mensyaratkan hal yang harus dipenuhi.  Selain ijazah, ASEAN Community juga menuntut adanya sertifikat kompetensi, yang semuanya berbasis kompetensi termasuk keterampilan (skills).

"Ah tenang aja, mereka yang masuk ke Indonesia kan tetap ada persyaratan. Ngapain sih khawatir?"

Bisa saja itu menjadi tanggapan para SDM di Indonesia. Tapi, yang kemudian harus dipikirkan, bagaimana jika kemudian Pemerintah di negara-negara asal ASEAN lain sudah mampu menggenjot kompetensi para SDM sehingga mereka dengan mudah dapat memperoleh sertifikat kompetensi dan masuk sebagai tenaga kerja di Indonesia?

Bagaimana jika pasar Indonesia yang sangat besar dan potensial ini menjadi "santapan" para SDM dari luar negeri, akan dikemanakan SDM asal Indonesia? Apalagi SDM dengan sertifikat kompetensi masih sangat jarang ditemukan di Indonesia. Jangankan mau bersaing mencari nafkah di luar negeri, bahkan bersaing dengan SDM yang datang lengkap dengan sertifikasi kompetensi pun tak mampu?

Jika hal ini sudah terjadi, maka bisa jadi, semakin banyak pengangguran, penurunan daya beli masyarakat dan pada akhirnya kemerosotan pembangunan. Apakah itu yang kita inginkan?

Salah satu contoh yang bisa terjadi adalah berdirinya salon-salon Thailand yang profesional dan mempunyai sertifikat tingkat Nasional. Mari kita semua meluangkan sedikit waktu untuk berpikir apakah mungkin salon-salon tersebut akan menggeser salon lokal?

Gambar ilustrasi © Achim Sass/Westend61/Corbis

Jika kita berkaca pada sabun pemutih asal Thailand tersebut, rasanya hal tersebut sama sekali tidak mustahil. Ditambah dengan kepercayaan mayoritas masyarakat Indonesia yang sangat menyanjung produk impor, termasuk tenaga kerja "impor". Apakah kita sebagai anak bangsa, rela jika semua lini pekerjaan ditempati oleh para pekerja dari luar negeri, sementara kita tidak memiliki kesempatan di negeri sendiri?

Nanti tak sekedar salon-salon Thailand yang perlu diwaspadai. Ahli kesehatan asal Singapura yang sudah banyak menjadi kepercayaan para kalangan tertentu di Indonesia, akan bebas berpraktik di Indonesia. Mungkin juga pengusaha makanan. Bukan tak mungkin, nanti restoran Padang justru dimiliki dan dikelola oleh tenaga kerja asing.

Bahkan, saat ini pekerja asal Korea sudah merambah ke industri tekstil sebaga sektor andalan di Jawa Barat, meskipun baru terbatas pada tingkat manajer ke atas. Bayangkan pada tahun 2015, jika tenaga kerja bersertifikasi kompetensi sudah bebas. Tak mustahil, sebagian besar pekerja industri tekstil di Jawa Barat bukan lagi dari masyarakat sekitar namun dipenuhi pekerja asing.

Tentu saja ini bukan kerja mudah bagaikan membalikkan telapak tangan, perlu kerjasama antara berbagai lapisan masyarakat dan pemerintah. Tenaga kerja harus meningkatkan kualitas kerja untuk sertifikasi dan Pemerintah juga harus mulai memperhatikan lebih serius.

Masyarakat secara luas juga harus semakin menyadari hal ini, bahwa tahun 2015 akan segera menjelang. Bukan satu dasawarsa atau rencana pembangunan lima tahun, tapi tak lebih dari dua tahun lagi. Apa yang harus dan sudah kita lakukan?

Menulis mengenai Era Masyarakat Ekonomi 2015 merupakan salah satu kontribusi yang bisa saya lakukan. Berharap dapat memperluas pengetahuan masyarakat dan meningkatkan kewaspadaan.

Saat saya menulis ini, saya terpikir, apa lagi yang mampu dilakukan sebagai anak negeri untuk menghadapi hal ini, seberapa siapkah saya? Bagaimana dengan Anda?









Sunday, 25 August 2013

Rela Putar Otak Demi Nikmati "Kopi Instan & Cappuccino Good Day, Kopi Gaul Paling Enak"

 
Gambar diambil dari hidupbanyakrasa.com

"Rin, ngopi yuk," ajak seorang teman. "Gak ah, gak suka ngopi," jawab saya.

Itu adalah sepenggal percakapan antara saya dan teman yang suka mengajak untuk minum kopi. Saat itu sekitar tahun 2002, saya masih menjadi calon reporter di sebuah media cetak. Untuk saya, kopi itu berarti kopi hitam yang sering diminum Papa saya.

Kalau Mama atau Kakak saya tidak di rumah, biasanya saya yang didaulat untuk membuatnya. Dan itu adalah salah satu tugas yang saya merasa tidak mampu. Loh kok bisa? Bagaimana nggak, bikin kopi hitam ala papa saya itu terdiri dari mengambil beberapa sendok teh kopi bubuk kemudian dicampurkan dengan beberapa sendok gula, baru kemudian diseduh air mendidih. *coba  “Kopi instan & cappuccino Good Day, kopi gaul paling enak” yang praktis udah ada sejak saya masih pake rok merah putih dulu...mesin waktu manaa mesin waktu ^_^*


Trus kenapa bisa susah? Karena menurut saya, tiap saya buat rasanya beda-beda. Kadang terlalu pahit, kadang terlalu manis.Papa saya sih biasanya gak terlalu banyak protes, walaupun kopi yang saya buat, menurut saya lebih mirip rasa bilasan cucian hahahaha :)

Baiklah, kembali membahas kopi. Rasa kopi hitam milik Papa saya yang pahit, juga membuat saya kurang menyukainya. Konon, para wanita lebih menyukai rasa manis.

Salah satu bukti adalah ketika saya melakukan liputan kuliner ke salah satu restoran yang menyediakan coklat dalam berbagai varian hidangan, hampir 80 persen pengunjungnya adalah wanita. Sebagian besar pria yang datang dalam rangka mengantar sang wanita hehehe. *Satu lagi nilai plus “Kopi instan & cappuccino Good Day, kopi gaul paling enak” di mata saya, sebagai penyuka kopi non-hitam dengan berbagai varian yang superrr ueenaaak :D*


Naah jelas kan mengapa saya agak-agak alergi kalau diajak ngopi oleh teman-teman kala itu. Ngopi itu dalam benak saya adalah minum kopi hitam yang rasanya pahit.

Tapiii, ituuu duluuuu. Pada suatu malam, sepulang kerja saya saya menyempatkan diri berbelanja ke sebuah supermarket untuk membeli bahan makanan. Maklum, waktu itu saya masih nge-kost, karena rumah orangtua saya jauh dengan tempat kerja. Setelah roti, beberapa jenis camilan sudah masuk ke keranjang belanjaan, saya melirik rak tempat berbagai jenis minuman seduh seperti teh, kopi dan lain-lain.

 
Dokumen foto pribadi

Mata saya kemudian tertumbu pada kemasan kopi yang sangat menarik. Saya ambil untuk saya baca. "Oh merknya kopi Good Day". Saat itu belum  banyak iklan-iklannya, apalagi tagline keren “Kopi instan & cappuccino Good Day, kopi gaul paling enak” Tapi kok ya saya sangat tertarik sama kemasannya, desainnya itu berkesan modern, keren dan gaul gitu deh. Sebagai salah satu anak muda waktu itu, *eh sekarang masih muda kok, cuma udah punya dua anak ;)*, lah saya kok ya jadi tergoda juga nyobanya. Padahal seumur-umur, sebelumnya gak pernah tergoda tuh sama kopi-kopi instan gitu.

Waktu itu kalau nggak salah, sudah ada empat varian kopi instan Good day yaitu original, mocacinno, chococinno dan vanilla latte *CMIIW alias benerin kalo salah ya man-teman*. Nah galau lagi deh pas milihnya hehehe :)

Pilih punya pilih, saya mikir kalo rasa original, ntar rasa kopi banget donk, saya kan ogah *padahal setelah dicobain, tetep saya suka tuuh*. Kalo Chococino, ntar rasa coklat lagi, pikir saya. Hadeeuuuh repot amat sih. Akhirnya karena suka dengan warna merah kemasan Good Day, untuk pembelian perdana saya beli Good Day Mocacinno. Yaaang ternyataaaa..pilihaaaan saya gak salah. Seleranya, saya bangeeeet!! Dan tahu gak, ternyata suami saya juga punya rasa favorit yang sama looh. *ketjup-ketjup “Kopi instan & cappuccino Good Day, kopi gaul paling enak”

Minggu-minggu selanjutnya adalah percobaan saya dengan Vanilla late, original dan berbagai varian rasa “Kopi instan & cappuccino Good Day, kopi gaul paling enak” yang kemudian semakin banyak dan gak ada yang rasanya mengecewakan. Beneran deh! Gak bohong!

Beberapa Tahun Kemudian

Tapi, seiring waktu dan usia saya semakin muda, eeh bertambah. Lambung saya kemudian tak lagi sebugar dulu. Asupan kopi harus dicermati. Gak bisa tiap hari seperti dulu huhuhuuu :'(

Tenang, bukan saya namanya kalo nyerah begitu aja. Selain, tips dari Mama saya untuk menyeduh satu sachet “Kopi instan & cappuccino Good Day, kopi gaul paling enak” untuk dua kali pakai, saya juga punya tips ciamik yang gak kalah asik. Apakah itu?

Begini ya, di saat-saat lambung saya sedang agak bermasalah namun keinginan ngopi sangat kuat, maka suami saya akan jadi solusinya. Looh kok bisa? Sini..sini saya bagi-bagi rahasia, tapi jangan bilang2 yaa.

Pertama, ketika suami pulang kantor. Sambut dengan senyum dan cium tangan. Dengan manis, tanyakan kabarnya di tempat kerja dan tawarkan, "Ayah, mau minum kopi? Ibu buatkan ya". Biasanya suami akan takjub *eh apa itu suami saya aja ya* dan mengiyakan sambil menduga-duga ada apakah dengan istrinya yang cantik hari itu :D

Kedua, ambil satu sachet “Kopi instan & cappuccino Good Day, kopi gaul paling enak” favorit suami. Kalau suami saya, favoritnya sama dengan saya Good Day Mocacinno. Sajikan dalam cangkir yang paliiing baru, hihihi kalo gak ada ya cangkir buat tamu gitu deh. Pokoknya tampilan menarik.


Good Day Mocacinno favorit saya dan suami (hidupbanyakrasa.com)

Ketiga, sajikan tetap dengan senyum manis. "Silakan diminum yah". Biasanya, suami saya minum dengan kalimat "Ibu ada maunya nih ya?" hahahaha tahu aja sih yah.

Jadi apa sih sebenarnya mau saya dan apa hubungannya dengan tips ngopi saat lambung bermasalah? Hehe ini adalah cara saya untuk ikutan menyeruput kopi yang saya buat tadi. Bisa dengan sendok ataupun menunggu suami menurunkan gelas dari mulutnya. Singkatnya sih, nebeng ngopi yang kadang justru ngabisin hihihi *sabar ya yah* :D

Tapiii, itu juga kalau si lambung gak terlalu rewel loh ya, dan belum tentu bisa berlaku untuk semua orang, istilah kerennnya "syarat dan ketentuan berlaku" hihihi, namanya juga tips ajaib ala saya. Intinya, saya selalu putar otak supaya bisa menikmati dan mencicipi  “Kopi instan & cappuccino Good Day, kopi gaul paling enak” yang berhasil mengubah alergi kopi saya jadi teman sejati.


Sunday, 28 July 2013

Rapat Sekolah yang Seru Sumringah

Assalamualaikum wr.wb...Selamat malem man teman semuanya, semoga sehat wal afiat di bulan suci Ramadhan ini yaa :) Alhamdulillah saya dan keluarga juga demikian, kecuali si kecil Sandya yang idungnya udah mulai meler dan bersin2 bikin ibunya bersiap2 menghadang flu.

Ceritanya, hari Sabtu kemaren itu saya diundang tuh sebagai perwakilan orangtua siswa kelas 2 (yeaay si Kakak udah kelas 2 looh :D) di SD tempat anak saya sekolah. Pikir punya pikir, saya pun gak habis pikir ngapain aja ya ntar di rapat itu.

Saking semangatnya, saya sengaja tuh gak tidur lagi dari sahur trus milih ngerjain beberapa kerjaan freelance saya di depan leptop. Tapi, jam 7-an, alarm saya alias Sandya yang nangis minta nyusu berbunyi *hehe berasa lonceng ya* Sebagai ibu yang baik dan benar, maka saya pun nyamperin anak saya donk, masa iya nyamperin ayahnya :D

Nah, singkat cerita, saya pun menyusui dengan gaya favorit adek (atau ibunya yak) dengan tiduran, jd dia bisa langsung tidur lagi. Ternyata oooopps olalaa, saya juga ikut ketiduraaan. Rapat yang mulai jam 9 itu pun sukses terlewatkan, karena saya bangun jam 9.30.

Alhasil, orang-orang rumah kemudian jadi sasaran kesel saya. hehe padahal emang salah saya sendiri, gak pesen minta dibangunin. Dengan bermodalkan kebiasaan persiapan kilat jaman jadi wartawan dulu, dalam waktu gak lebih dari 15 menit, saya sudah lengkap mandi dan pakaian lengkap dengan jilbab *cepet kaan, makanya suami saya sih jarang komplain kalo pas saya siap2 mau berangkat, paling bete aja hihihi*

Minta dianterin suami, saya pun berangkat ke sekolahnya Kakak. Wussss hanya kurang dari 10 menit, sudah sampe deh. Setelah cium tangan suami, maka saya pun menuju ruang rapat. Sebenernya tetep aja bertanya2 bakal seperti apakah rapat dari Pengurus PTSG, kalo gak salah Parent Teacher Support Group, yaitu kelompok orangtua murid yang terlibat dalam kegiatan di sekolah, termasuk kegiatan belajar mengajar dan lain-lain.

Sebenernya, saya sendiri sudah tidak asing bagi guru2 karena memang sering nongol nganter jemput Kakak plus saya juga instruktur Klub Menulis disana. Oh ya, saya juga membantu menulis dan mengedit di website sekolah. Jadi waktu biicara di forum itu, yaa saya beraasa bermuka dua deh, antara pendapat sebagai orangtua murid tp juga sebagai instruktur Klub Menulis *yang udah berhasil menerbitkan self publishing book, bukan sombong bukan sihir sodara-sodara* :D

Ndilalah rapat itu pas saya masuk kok ya pas ngomongin school club alias sejenis kegiatan ekstrakurikuler sekolah. Jadi saya bisa langsung on, walaopun telat 1 jam itu *sungkem2*

Baku pendapat *bukan hantam ya* terjadi seputar school club mana yang mau diteruskan atau tidak, menimbang berbagai hal seperti kesesuaian dengan tujuan sekolah, berpotensi membawa nama sekolah ke luar, juga dari segi pengajar. Wuuiih pokoknya seru deh, ngalah2in acara debat di stasiun tv hahahaha

Klub menulis yang saya instrukturi *ini nulisnya bener gak ya* dianggap unik dan mau dimajukan sebagai unggulan..ehem..ehemm. Antara bangga sama deg2an juga ini, ternyata pekerjaan saya bekerjasama dengan tim dari sekolah, dihargai orangtua, tp juga berarti saya harus meningkatkan mutu diri sekaligus membuat bahan pengajaran yang lebih baik lagi dibanding tahun kemarin *komat-kamit* *doa loh ya, bukan yang lain*

Kemudian tibalah saatnya pemilihan pengurus PTSG. Sebenernya sudah ada tiga pengurus inti sebagai Ketua, Sekretaris dan Bendara. Kemudian tinggal memilih anggota untuk bidang2 yang disepakati. awalnya usulan bidang dari sekolah, terlalu njlimet, akhirnya ada tiga bidang umum dengan beberapa anggota.

Saya kemudian dimasukkan ke bidang pengawasan alias sebagai koordinator kelas perwakilan kelas 2. Ya oke lah, ngawasin kan kerjaannya? hehe ngawasin anak sendiri juga udah biasa kok *beda kaliiii, riin* :D

Pemilihan anggota bidang ini gak kalah serunya dengan penentuan anggota bidang di rapat pemerintahan di gedung Gubernur *sook tauu*. Hehe apalagi kan gak semua orangtua juga mau ikut diidalamnya. Alhasil, seruu deh. Apalagi ketika Ketua PTSG merasa ada kebutuhan perwakilan PTSG yang stand by untuk mengurus berbagai keperluan. Sayangnya, guru dan staf sekolah sudah tidak bisa membantu itu.

Kemudian diputuskan untuk menggunakan media seperti Facebook ataupun BB grup atau apalah itu, maklum saya pan dari dulu gak pernah punya dan pake BB, jadi ya emang gak ngerti. Saya dan suami memang milih gak pake BB, agar gak menguras waktu sekaligus isi rekening hehehehe :D

Kebetulan, dari kelas dua ternyata ada dua orangtua murid, saya dan seorang lagi.  Setelah utak atik nama anggota beberapa waktu, tiba-tiba ketika saya lagi bolak-balik lihat tas karena denger Hp yang bunyi2 tanda lowbat dan bikin saya mikir, gimana nanti nelp suami untuk minta jemput, muncul usulan saya jadi sekretaris. Heeee...afa-afaan inih.

Saya langsung berkelit bak pesilat tangguh, "Jangan deh, saya kan gak pake BB", *itu alasan nyambung gak sih* dan langsung disambut jawaban "gak apa2, kan banyak media lain". Saya belum nyerah, "kan sudah ada Sekretaris yang dipilih," kata saya. "Biarin, kalau Sekretarisnya dua kan lebih bagus".

Huks saya bagaikan kena smash! Glek..seumur2 saya juga gak pengalaman ikut organisasi serupa seperti ini. Jaman anak saya TK deket rumah apalagi, muridnya aja cuma seuprit, boro2 bikin PTSG.

Akhirnya dengan penuh wibawa *ihiik* saya jawab bersedia. Job desk juga akan kembali dirapatkan. Saya masih mengira-ngira sih apa aja yang bisa saya kerjakan, ditengah berbagai kegiatan saya yang (kesannya) seabrek ini.

Tapi, tenaang saya masih merasa punya kesempatan, besok Senin akan saya konfirmasi lagi sama Ketua dan sekolah, kali2 aja mereka sadar dari kekhilafan ini hihihii ;) Doakaan saya yaaa man temaaan :)







Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...