Pages

Wednesday, 9 April 2014

Antara Sindrom Takut Kaya, Pemilu dan Caleg

Bela2in foto di depan TPS padahal panas bgt (dok.pribadi)
Hahaha judul apa pula itu sih, Rin? Ini memang salah satu pemikiran absurd yang saya punya selama ini yang sempat maju mundur saya nulisnya. Tapi akhirnya saya barengi dengan Pemilu dan Caleg, supaya agak nyambung dengan coblos-coblosan hari ini ^_^

Gini loh, saya sendiri gak pernah merasa atau bermimpi untuk kaya beneran. Dalam artian tabungan bermiliar2, mobil mewah berentet di garasi dan bisa pulang pergi luar negeri seenaknya dengan budget belanja sesuka hati.

Kenapa? Karena sebagaimana kesulitan, kemudahan berupa materi yang berlebihan, menurut saya, sangat mungkin menghadirkan "permasalahan baru" dan mengubah kepribadian seseorang.

Apa ada yang masih ingat sindrom OKB alias orang kaya baru? Nah biasanya sebutan itu terutama ditujukan untuk orang-orang yang baru merasakan limpahan materi yang sebelumnya tidak mereka miliki.

Dari yang tadinya biasa aja makan di warteg, tiba-tiba gengsi dan maunya makan di restoran kuliner asal negara Barat. Kalau biasanya beli tas produk lokal dan sudah seneng saat ke Tajur, tahu-tahu pengennya beli tas bermerk internasional ke Singapura, bahkan ke Paris. Apalagi mobil, duuh tinggal pilih ke showroom, males banget deh lihat apalagi ngurusin kendaraan umum.

Nah, sejujurnya saya merupakan salah seorang yang merasa takut menjadi kalangan itu. Saya merasa materi tanpa batas itu sangat mungkin menjerumuskan seseorang pada hal-hal, kejadian dan situasi yang sepertinya menyenangkan, padahal tidak demikian adanya.

Masih ingat mengapa narkoba banyak mengarah pada para selebritas ataupun kalangan petinggi negara ataupun pengusaha, juga anak-anak mereka? Tak lain adalah karena mereka kalangan berada yang dari segi materi sangat memungkinkan. Memang sih, bukan itu satu-satunya penyebab, tapi menjadi hal yang menentukan.

Saya teringat salah satu perkataan dari asisten di rumah saya yang sudah saya anggap sebagai orang tua sendiri karena sudah lebih dari 30 tahun mengurus saya, betapa ia sangat kecewa dengan beberapa orang yang dikenalnya yang sikapnya berubah saat materi mereka sudah bertambah.

Ada tetangga yang tadinya suka menyapa dan bercakap-cakap dengannya, kemudian setelah membeli mobil keluaran terbaru dan merombak rumah menjadi bertingkat, lalu tak mau lagi berbincang dengannya. Menyapa saja tidak.


"Nanti kalau sudah kaya, gak boleh seperti itu. Harta itu kan titipan dari Allah," demikian pesannya pada saya.

Nah, berkaitan dengan Pemilu saat ini, saya pernah mendengar suami saya berkata bahwa saat ini sebagian para caleg tersebut mencalonkan diri, tak ubahnya seseorang yang melamar pekerjaan. Yang dipikirkan jika berhasil menjadi anggota legislatif, bukan berusaha memperjuangkan aspirasi ataupun perubahan yang lebih baik yang, tapi lebih kepada materi, gaji, fasilitas dan lain-lain yang akan diperoleh. Yang saya harap pemikiran itu salah. Aamin..aamiin..aamiin.

Miris saya lagi ketika membaca berita mengenai sebuah rumah sakit jiwa yang menyediakan kamar khusus untuk para caleg yang gagal dan kecewa. Jika memang aspirasi dan perubahan yang lebih baik menjadi tujuan mereka mencalonkan diri, mengapa sampai bisa seperti itu? Bukankah masih banyak cara lain untuk berperan di masyarakat?

Saya melihat salah seorang Capres yang kini masih menjabat sebagai Gubernur yang kondang di masyarakat, salah satu faktor mengapa ia dicintai adalah karena kesederhaannya. Ia mampu berbaur dan mendengarkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat kelas bawah, tanpa segan ia turun ke kampung-kampung, membeli tas untuk istrinya di pasar yang harganya sekitar 100 ribu. Jika lawan politiknya berkata itu sebagai pencitraan, maka saya yakin rakyat saat ini sudah lebih pandai menilai mana yang pencitraan dan yang bukan.

Saya pribadi, sebagaimana sebagian besar rakyat Indonesia, merasa kesulitan saat berada di TPS. Sebagian besar nama tidak dikenal, apalagi kontribusi dan hasil kerja yang mereka sudah tunjukkan sebelum menjadi caleg. Kalaupun ada nama yang dikenal, sebagian hanya melalui layar kaca ataupun media lain, tanpa interaksi langsung. Jadi masih salahkah blusukan ke tengah-tengah masyarakat?

Namun, saya sungguh sangat bersyukur bahwa Pemilu kali ini bisa berjalan lancar tanpa ada kerusuhan ataupun keributan seperti yang dikhawatirkan.

Yang saya dan rakyat Indonesia kini harapkan adalah para anggota legislatif yang terpilih sadar bahwa kini mereka mengemban amanat yang tidak ringan yang akan dipertanggungjawabkan dunia akhirat. Saya pribadi juga mengharapkan mereka sedikit memiliki sindrom takut kaya, agar tetap mawas diri dan tidak terbuai harta benda. Amin ya rabbal alamin.




 





6 comments:

  1. Renungan yang bagus, mak. Ditengah euphoria pemilu, selalu berharap sisi positifnya. Semoga saja, masih ada yang mau mengemban amanah dengan baik sebaik-baiknya, ya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin. Semoga ya. Makasih udah mampir, mak ^_^

      Delete
  2. Semoga nanti yang terpilih mementingkan rakyatnya ya, Mba. Gak sibuk dengan jabatan baru, apalagi sibuk "ngembaliin uang". Hehehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. aamiin. Rasanya itu doa seluruh rakyat Indonesia ya mba. Semoga aja begitu :)

      Delete
  3. harta kadang bisa merubah sifat manusia. Sayang bgt kalau berubahnya menjadi jelek

    ReplyDelete
    Replies
    1. ya itu mak, harta itu sebenernya jg kan ujian buat kita. Semoga kita tidak termasuk orang yang berubah lebih buruk karena harta. Aamiin. ^_^

      Delete

Terimakasih yaa ^_^

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...