Buat teman-teman yang sudah jadi orangtua, bagaimana sih menganggap kemajuan anak dalam belajar? Yang sudah pasti jelas dari nilai donk yaa. Pasti bangga kalo anak kita bisa punya nilai bagus dan lebih dari yang lain. Oleh karena itu, banyak orangtua yang kemudian memfasilitasi anak-anaknya untuk les sana sini.
Ibu dan Aylaa, si kakak yang bisa lebih manja dari adiknya (dok.pribadi) |
Tapi, maaf ya kalau saya punya pemikiran lain. Untuk saya, prestasi berupa nilai bukan yang utama. Yang selalu saya tekankan pada anak sulung saya, Aylaa, yaitu belajar memahami dan berusaha yang terbaik.
Saya menyadari saat ini kakak sudah duduk di kelas 3 dan tentunya materi pelajarannya sudah semakin sulit. Terutama untuk pelajaran matematika.
Beberapa waktu setelah saya kembali bekerja pada tahun lalu, otomatis Aylaa tidak banyak lagi saya bimbing dalam belajar. Ada penurunan nilai dan adaptasi lain dari Aylaa.
Saat itu, sebagaimana orangtua lain, saya berpikir untuk segera memberikan pelajaran tambahan pada Aylaa. Namun, saya menahan diri. Kebetulan, saya belum menemukan seseorang untuk membimbing Aylaa di rumah.
Tapi, bukankah Aylaa sudah belajar di sekolah sejak pagi hingga pukul 13.30? Apakah itu belum cukup? Argumentasi saya dalam hati.
Di satu sisi saya ingin anak saya belajar secara maksimal agar potensinya berkembang, namun di sisi lain, saya merasa hal itu terlalu berlebihan.
Akhirnya, pemikiran saya yang kedua yang saya pilih. Aylaa tidak saya ikutkan pelajaran tambahan atau les apa pun, setidaknya belum di kelas 3 ini. Mungkin nanti kalau dia sudah di kelas tinggi, maka akan saya pertimbangkan lagi.
Hingga saat ini, saya lebih senang mendengar sepulang sekolah Aylaa main bersama adiknya. Meski diwarnai rebutan dan berantem, tak jarang saling goda bahkan cubit2an berakhir nangis, tapi bagi saya itulah esensi menjadi anak2. Belajar dan bermain mengenai berbagai hal.
Saya tahu mungkin keputusan saya ini tidak populer diantara orangtua saat ini. Tapi, saya menguatkan hati. Demikian pula suami saya yang mendukung. Aylaa membuat PR dan belajar sendiri dan dibantu saya atau Ayahnya sepulang kantor. Saya ingin Aylaa belajar mandiri dan memahami proses.
Jatuh bangun berupa nilai rendah dan PR yang terlupa, tak jarang terjadi. Namun, kemarin saya merasa perjuangan saya membuahkan hasil.
Saat saya pulang kantor bersama Ayahnya, Aylaa sudah tidur. Sebelumnya saya sudah menelpon beberapa kali untuk mengingatkan belajar untuk ujian. Yang dijawab, "Aylaa maunya belajar sama Ayah atau Ibu!" dengan suara kesel yang pasti wajahnya cemberut, hehehe.
Ah saat itu serangan rasa bersalah menyerbu saya. Memang saya bukan orangtua yang terbaik. Waktu saya sekitar 13 jam berada di luar rumah, sisanya 11 jam di rumah, mungkin hanya 1 jam bermain dan belajar bersama anak2. Kecuali, pada akhir pekan.
Sesampainya di rumah, saya diceritakan oleh Mama saya dan pengasuh Aylaa. Hari itu hasil ujian matematika Aylaa dapat 70, sementara temannya ada yang mendapat nilai dibawah rata-rata, sekitar 40-an. Bukan hal biasa jika temannya itu mendapat nilai rendah, sebab termasuk anak yang pintar. Padahal ia juga sudah mengikuti les matematika terkemuka itu.
Tentu saja saya kaget. Bukan berarti saya bersyukur nilai temannya rendah, tidak sama sekali, sebab setiap orang pasti mengalami naik turun. Perasaan yang lebih saya rasakan, adalah bangga dan terharu pada Aylaa.
Mengapa? Saat Mama menceritakan kembali apa yang dikatakan si sulung saya.
"Aylaa bilang ke temannya, jangan sedih kan yang penting sudah berusaha", kata Mama.
Duuuh...hati saya rasanya mencelos mendengar kalimat yang dikatakan gadis kecil saya itu. Kalimat itu yang sering saya ulang ketika Aylaa sedih atau kecewa dengan nilainya. Hal itu juga yang ingin saya tanamkan dalam dirinya. Hasil akhir bukanlah segalanya, namun proses dibalik itu yang lebih penting.
I think my daughter will grow wiser than her mom ^_^ I love you Aylaa
dewasanya Ayla ya mbak
ReplyDeletehehe iya Mba Lid, ngomongnya udah seperti nenek2 sok nasehatin orang :)
ReplyDelete