Pages

Tuesday 29 April 2014

Tulisan Itu Berkata "I Love You, Ibu"

I love you ibu, tulisan tangan Aylaa di dinding dengan air (dok.pribadi)
Aylaa: bu, sini deh.
Ibu : apaan sih kak?
Aylaa: lihat ini (nunjukin tulisan di dinding, I love you, ibu)
ibu : I love you too sayang

Coretan  di dinding seperti di foto di atas mungkin terlihat remeh. Hanya berupa tulisan di dinding samping kamar mandi yang dibuat dengan tangan mungil Aylaa yang basah. Tapi, artinya sama sekali tidak remeh untuk saya.  Pernyataan spontan yang tulus dari seorang putri untuk Ibunya tak pernah remeh. Saya segera menjawab dan memeluknya. 

Padahal saya sempat khawatir waktu dan perhatian saya yang banyak berkurang karena saya sudah mulai bekerja lagi di kantor hampir tiga bulan. Dulu saya bisa seharian bersamanya, mengantar dan jemput ke sekolah serta membantu dengan pekerjaan rumah dan lain-lain. Tapi, saat ini, saya hanya dapat meluangkan waktu lebih banyak saat akhir pekan.

Tapi, ternyata Aylaa dapat memahami dan beradaptasi lebih cepat dari yang saya sangka. Terutama adalah ia tahu bahwa rasa sayang Ibunya tak akan pernah berkurang sedikitpun, meski waktu yang kami habiskan bersama tak lagi sebanyak dulu.

Terimakasih sayang, I love you more than words can say.




Sunday 20 April 2014

Ada Ubah di Dalam Rubah

sumber: asmasandi.wordpress.com yang mengalami proses editing
Selamat berhari minggu!! Yang leyeh-leyeh, liburan ke pantai, wisata kuliner, selamat menikmati ya. Buat yang harus masuk kerja hari Minggu, selamat yeee ^_^ Hehe pokoknya dinikmati aja lah.

Trus saya mau nulis apa hari ini? Hmm sudah bisa ditebak dari judulnya. Hal ini sebenarnya sudah mengganjal di hati dan mata saya, tiap kali menemukannya.

Ini tentang penggunaan kata "rubah" yang bukan dalam arti binatang karnivora yang sering ditemukan di hutan atau semak-semak. atau yang dalam bahasa inggrisnya, Fox. Banyak yang menggunakan "rubah" dalam arti "ubah".

Saya sendiri bukan seorang ahli bahasa, editor kawakan. Saya seorang yang hobi menulis, berpengalaman beberapa tahun sebagai wartawan, dan sejujurnya "rubah" yang diartikan sebagai "ubah" itu sungguh-sungguh mengganggu.

Mengapa "ubah" bisa bertransformasi menjadi "rubah" dalam penggunaan bahasa Indonesia secara luas? Saya menduga ini disebabkan oleh pengaruh dari bahasa daerah. Misalnya, ubah dalam bahasa Sunda yaitu "robah".

Jadi untuk menyesuaikan dengan bahasa Indonesia, jadilah "rubah" sebagai kombinasi dari "ubah" dan "robah". Tapi, ini baru hipotesa saya loh ya, monggo yang mau komentar lebih lanjut, ditunggu di kolom komentar di bawah artikel ini.

Kesalahan penggunaan "rubah" kemudian jadi melebar ke "merubah", dari yang seharusnya "mengubah", sebab "ubah" mendapatkan awalan "meng", bukan "me".

Maaf alias punten, mungkin ini terdengar remeh, tapi saya sangat menyayangkan jika penulis yang karyanya dibaca oleh masyarakat luas, masih mengabaikan ini. Kok rasanya janggal ya.

Padahal toh kata "ubah" justru mengirit kan dibanding "rubah", jadi hanya empat huruf dari lima huruf :D

Jadi, sudah siap mengubah?

Selamat berhari minggu semuaaa :)





Sunday 13 April 2014

New Tagline on 35

sumber: zazzle.com
Aheeey..minggu lalu usia saya sudah masuk 35 tahun!

Tahun ini saya benar-benar tidak merayakan dalam bentuk apapun, termasuk dengan keluarga, paling2 menghadiahi diri dengan sedikit belanja hehehe ^_^

Saat pergantian hari ulangtahun saya kemarin, saya bersyukur masih diberikan selamat dan doa dari Papa dan Mama yang menginap di rumah saya. Semoga mereka berdua senantiasa sehat dan bahagia bersama anak-anak dan cucu-cucunya. Aamiin.
  
Jadi apa yang sudah berhasil saya lakukan selama ini? Ada beberapa yang membanggakan, terutama keluarga kecil dengan dua anak-anak yang luar biasa dan suami yang baik hati. Alhamdulillah berkah saya yang tak kalah penting adalah para sahabat dan teman-teman yang ada di sekeliling saya. Terkadang hanya dapat bertegur sapa secara online, namun cukup menyenangkan.

Bagaimana dengan prestasi? Hmm masih kalah jauh dibandingkan rekan-rekan yang lain. Sementara keinginan untuk punya buku sendiri masih terbenam dengan kesibukan kerja saat ini.

Sejujurnya, kadang saya seringkali merasa malu, umur segini kok rasanya masih mencari jati diri. Hehehe kalo kata suami saya sih "telaaat kalii". Ada benarnya juga sih, tapi saya kok merasa saat ini jadi lebih sibuk mempertanyakan kepada diri, "apa yang jadi prioritas". Intinya sih, what matter the most.

Rasanya masih banyak mimpi-mimpi yang harus diraih. Meski juga sepertinya usaha meraih mimpi harus berbagi waktu untuk tetap menjejakkan diri pada kenyataan, seperti bekerja untuk tagihan-tagihan bulanan yang harus dibayar hehehehe :D

For me it will be, "Keep calm and write". Mari semangat menuliiissssss ^_^














Wednesday 9 April 2014

Antara Sindrom Takut Kaya, Pemilu dan Caleg

Bela2in foto di depan TPS padahal panas bgt (dok.pribadi)
Hahaha judul apa pula itu sih, Rin? Ini memang salah satu pemikiran absurd yang saya punya selama ini yang sempat maju mundur saya nulisnya. Tapi akhirnya saya barengi dengan Pemilu dan Caleg, supaya agak nyambung dengan coblos-coblosan hari ini ^_^

Gini loh, saya sendiri gak pernah merasa atau bermimpi untuk kaya beneran. Dalam artian tabungan bermiliar2, mobil mewah berentet di garasi dan bisa pulang pergi luar negeri seenaknya dengan budget belanja sesuka hati.

Kenapa? Karena sebagaimana kesulitan, kemudahan berupa materi yang berlebihan, menurut saya, sangat mungkin menghadirkan "permasalahan baru" dan mengubah kepribadian seseorang.

Apa ada yang masih ingat sindrom OKB alias orang kaya baru? Nah biasanya sebutan itu terutama ditujukan untuk orang-orang yang baru merasakan limpahan materi yang sebelumnya tidak mereka miliki.

Dari yang tadinya biasa aja makan di warteg, tiba-tiba gengsi dan maunya makan di restoran kuliner asal negara Barat. Kalau biasanya beli tas produk lokal dan sudah seneng saat ke Tajur, tahu-tahu pengennya beli tas bermerk internasional ke Singapura, bahkan ke Paris. Apalagi mobil, duuh tinggal pilih ke showroom, males banget deh lihat apalagi ngurusin kendaraan umum.

Nah, sejujurnya saya merupakan salah seorang yang merasa takut menjadi kalangan itu. Saya merasa materi tanpa batas itu sangat mungkin menjerumuskan seseorang pada hal-hal, kejadian dan situasi yang sepertinya menyenangkan, padahal tidak demikian adanya.

Masih ingat mengapa narkoba banyak mengarah pada para selebritas ataupun kalangan petinggi negara ataupun pengusaha, juga anak-anak mereka? Tak lain adalah karena mereka kalangan berada yang dari segi materi sangat memungkinkan. Memang sih, bukan itu satu-satunya penyebab, tapi menjadi hal yang menentukan.

Saya teringat salah satu perkataan dari asisten di rumah saya yang sudah saya anggap sebagai orang tua sendiri karena sudah lebih dari 30 tahun mengurus saya, betapa ia sangat kecewa dengan beberapa orang yang dikenalnya yang sikapnya berubah saat materi mereka sudah bertambah.

Ada tetangga yang tadinya suka menyapa dan bercakap-cakap dengannya, kemudian setelah membeli mobil keluaran terbaru dan merombak rumah menjadi bertingkat, lalu tak mau lagi berbincang dengannya. Menyapa saja tidak.


"Nanti kalau sudah kaya, gak boleh seperti itu. Harta itu kan titipan dari Allah," demikian pesannya pada saya.

Nah, berkaitan dengan Pemilu saat ini, saya pernah mendengar suami saya berkata bahwa saat ini sebagian para caleg tersebut mencalonkan diri, tak ubahnya seseorang yang melamar pekerjaan. Yang dipikirkan jika berhasil menjadi anggota legislatif, bukan berusaha memperjuangkan aspirasi ataupun perubahan yang lebih baik yang, tapi lebih kepada materi, gaji, fasilitas dan lain-lain yang akan diperoleh. Yang saya harap pemikiran itu salah. Aamin..aamiin..aamiin.

Miris saya lagi ketika membaca berita mengenai sebuah rumah sakit jiwa yang menyediakan kamar khusus untuk para caleg yang gagal dan kecewa. Jika memang aspirasi dan perubahan yang lebih baik menjadi tujuan mereka mencalonkan diri, mengapa sampai bisa seperti itu? Bukankah masih banyak cara lain untuk berperan di masyarakat?

Saya melihat salah seorang Capres yang kini masih menjabat sebagai Gubernur yang kondang di masyarakat, salah satu faktor mengapa ia dicintai adalah karena kesederhaannya. Ia mampu berbaur dan mendengarkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat kelas bawah, tanpa segan ia turun ke kampung-kampung, membeli tas untuk istrinya di pasar yang harganya sekitar 100 ribu. Jika lawan politiknya berkata itu sebagai pencitraan, maka saya yakin rakyat saat ini sudah lebih pandai menilai mana yang pencitraan dan yang bukan.

Saya pribadi, sebagaimana sebagian besar rakyat Indonesia, merasa kesulitan saat berada di TPS. Sebagian besar nama tidak dikenal, apalagi kontribusi dan hasil kerja yang mereka sudah tunjukkan sebelum menjadi caleg. Kalaupun ada nama yang dikenal, sebagian hanya melalui layar kaca ataupun media lain, tanpa interaksi langsung. Jadi masih salahkah blusukan ke tengah-tengah masyarakat?

Namun, saya sungguh sangat bersyukur bahwa Pemilu kali ini bisa berjalan lancar tanpa ada kerusuhan ataupun keributan seperti yang dikhawatirkan.

Yang saya dan rakyat Indonesia kini harapkan adalah para anggota legislatif yang terpilih sadar bahwa kini mereka mengemban amanat yang tidak ringan yang akan dipertanggungjawabkan dunia akhirat. Saya pribadi juga mengharapkan mereka sedikit memiliki sindrom takut kaya, agar tetap mawas diri dan tidak terbuai harta benda. Amin ya rabbal alamin.




 





Monday 7 April 2014

Menipiskah Empati pada Generasi Muda?

Kakak Aylaa bantu adik Sandya belajar menggambar (dok.pribadi)
Horeee..bisa ngeblog lagiii :) :)

Apa kabar semuanyaaa? Semoga dalam keadaan baik, sehat dan senang ya. Ini saya memanfaatkan jeda deadline di kantor, nunggu rapat budgeting untuk edisi mendatang. Jadi bisa update blog dulu deh sebentar.

Jadi, ceritanya pada suatu malam, saya pulang kerja dari kawasan utama perkantoran di Jakarta. Meskipun udah hampir jam 8 malem, itu namanya belantara macet yang dipenuhi mobil dan motor sungguh luar biasa banyaknya.

Sampai di Jl. Sudirman pas sebelum Plaza Semanggi, kemacetan semakin menggila. Akhirnya suami saya membelokkan motor ke kiri, yaitu jalan agak memutar tapi diharapkan lebih lancar yang tembusnya pas di samping Plaza Semanggi.

Ternyata yang berpikir sama dengan suami saya itu luar biasa banyak hehehe..jadi ya tetep aja ketemu macet :D Nah diantara kemacetan itu saya menemukan sesuatu yang bikin hati saya bertanya-tanya lebih lanjut.

Di sebuah belokan tanpa pembatas, yang namanya motor ke arah Semanggi itu penuh banget, jadi jalur kendaraan dari arah sebaliknya itu hampir ketutup.

Lalu ada sebuah mobil sedan keluaran baru yang dikemudikan oleh seorang perempuan, mungkin usianya 20-an awal, yang saya perkirakan seorang mahasiswa.

Mobilnya bergerak dari arah berlawanan dengan saya, yang hampir tertutup oleh motor-motor yang tidak sabaran untuk terus maju ke depan. Tapi, mobil yang dikemudikan perempuan muda itu juga tidak mengalah, terus merangsak maju. Hingga kemudian mobil itu sangat mepet ke motor dan pinggiran mobilnya mengenai kaki seorang bapak yang mengendarai motor, pas di depan saya.

Tidak terima, si bapak mengetok kaca mobil itu. Si perempuan membuka kaca, sambil berkata "loh ini kan jalan saya". Si bapak tampak berusaha mengendalikan diri untuk tidak terus marah-marah. Kemudian, suami saya berusaha menengahi, dengan berkata "Jalan pak, jalan".

Saya sendiri saat itu sadar bahwa kesalahan tidak hanya pada si perempuan muda, memang si bapak bermotor itu juga harusnya sadar bahwa jalan sempit itu tidak cukup. Tapi, jujur saja saya cukup terkejut dengan perilaku perempuan muda itu.

Kalau saja, saya adalah ibunya dan berada tepat disampingnya, maka ia akan merasakan cubitan di pahanya dengan omelan panjang pendek. Untuk saya, tak peduli apapun kondisinya, sepantasnya perempuan muda itu meminta maaf. Memang tidak ada yang bermaksud sengaja, tapi untuk saya seperti itu idealnya.

Saya kok merasa perempuan muda itu sangat sedikit memiliki empati, tak berpikirkah dia kalau si bapak bermotor itu sudah seharian bekerja dan ingin cepat2 pulang ke rumah karena lelah dan ingin beristirahat di rumah dengan keluarganya?

Sementara, mungkin bagi perempuan muda itu, ekstra 10-15 menit di jalan tidak akan terasa karena ia berada di mobil yang ber-AC lengkap dengan musik favoritnya. Ataukah mungkin anak perempuan itu tak pernah merasakan panasnya Jakarta didalam bus ataupun diatas motor?

Benarkah sudah semakin menipis rasa hormat terhadap yang lebih tua, hanya karena kita tidak mengenal orang tersebut ataupun simply tidak peduli, sehingga keinginan untuk saling mendahului dan egois, lebih mendominasi.

Untuk saya, hal semacam ini bukan sesuatu yang remeh. Sejujurnya, kejadian semacam ini lebih saya pikirkan, karena justru jauh lebih penting dibanding nilai raport ataupun prestasi lainnya.

Sebab, saya pribadi berpikir, sikap dan karakter adalah buah dari pendidikan yang sesungguhnya. Menghormati orang yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda, adalah salah satu yang saya tekankan.

Ah semoga saja perempuan muda itu tidak mewakili sebagian besar sikap generasi mendatang, dan sikapnya akan berubah seiring dengan bertambah usianya. Amin ya rabbal alamin.

"Jika anda ingin anak anda tetap menjejakkan kaki mereka di tanah, berikan tanggung jawab di pundak mereka," - Abigail Van Buren.



Friday 4 April 2014

Perbedaan yang Menyenangkan

My new best friend, Mbak D tercintaaah ^^ (dok.pribadi)
Halooo teman-teman semuaaa..semoga dalam keadaan sehat dan bahagia yaa :)

Salah satu hal menyenangkan yang saya sukai ketika memasuki lingkungan baru adalah kesempatan mengenal pribadi-pribadi baru. Sebagaimana warna hitam dan putih, ataupun abu-abu, tentu saja saya menemukan itu di tempat baru, sebagaimana saya temukan di lingkungan lain.

Tapi, ada seseorang yang sangat istimewa untuk saya temui di lingkungan baru ini. Seseorang yang tentu saja akan sangat mempengaruhi kinerja saya, karena kami bekerjasama dalam mengisi redaksional tempat kami bernaung.

Sekilas, kami tak memiliki banyak persamaan. Usianya beberapa tahun diatas saya, berlatar bekerja tanpa pernah pindah di sebuah media mapan ternama di Indonesia, masih single, atletis karena suka olahraga (ini beda bgt kayanya sama sayah ^^), beragama nasrani, suku jawa (bukan bermaksud SARA loh yaah).

Tapi, saat kami mulai ngobrol, anehnya kami bagaikan teman lama yang baru bertemu. Ternyata dibalik perbedaan-perbedaan diatas, kami menemukan bahwa dalam banyak hal kami memiliki persamaan.

Saya dan mbak D, panggilan saya untuknya, sama2 lama meliput kesehatan dan lifestyle. Jadi lingkup pertemanan ataupun bahasan yang kami tulis tak jauh berbeda.  Meski ritme beda, saya biasa kerja di harian dan website, tapi mbak D juga biasa kerja cepat karena majalahnya mingguan dengan deadline lumayan ketat. Jadilah kami seakan2 bagaikan duo pekerja cepat di tempat baru yang memiliki ritme bulanan.

Persamaan lainnya, kami sama2 dibesarkan di tanah sunda. Apalagi saya dibesarkan oleh seorang pengasuh berdarah sunda yang selalu meninabobokan dengan beragam lagu sunda dan juga sering diajak bicara dengan bahasa ibunya tersebut. Membuat saya selalu merasa dekat dengan budaya sunda.

Mbak D, ternyata selama 10 tahun pertama dalam hidupnya, besar di tanah sunda juga. Meski kini tidak lagi mampu berbicara bahasa tersebut, namun ia masih sangat mengerti jika ada yang berbicara. Sempat ia bercerita mengalami dibicarakan oleh pegawai salon dalam bahasa sunda, karena disangka tidak akan memahami bahasa tersebut. Idiiih..males bgt kan.

Pembicaraan kami sehari-hari mulai dari keluarga, travelling hingga tema atau tempat liputan dan lain sebagainya. Yang menarik adalah ketika kami mulai berbicara soal keyakinan. Percayalah, tidak ada baku hantam ataupun saling merasa benar antara kami saat membicarakan itu. Untuk kami,berdua, berlaku prinsip "Bagimu agamamu, bagiku agamaku". Justru pembicaraan kami seringkali memperkuat keyakinan kami masing-masing.

Pernah suatu kali mbak D bercerita mengenai seorang kerabat yang kecelakaan saat naik motor, diyakini oleh seseorang kenalannya itu merupakan ulah dari "makhluk alam lain". Dari cerita itu, mengingatkan saya untuk selalu membaca "Bismillahirrahmanirrahiim" saat akan pergi ataupun naik kendaraan.

Satu lagi cerita mbak D, yang pernah kena semacam guna-guna atau "gendam" dari seseorang yang pura-pura minta dicarikan alamat. Dia mengaku sudah curiga sejak awal dan berdoa, "Ya Tuhan, lindungilah aku,". Tampaknya remeh, namun itu sangatlah ampuh. Disaat temannya tak dapat membaca kertas yang ditunjukkan sebagai sarana guna-guna, mbak D masih bisa membacanya dengan jelas dan berhasil menjauh dari para penipu itu. Dari cerita itu saya jadi tak meragukan lagi keyakinan seseorang sangat berpengaruh, apapun agama yang dianutnya.

Itu sebabnya, tak salah jika saya mengatakan kami sebagai perbedaan yang menyenangkan.

Oh ya, ada satu percakapan kami yang tampaknya menunjukkan perbedaan.

Saya : "Mbak, lo aja yang liputan ***** ya.

Mbak D: Kenapa Rin?

Saya : Kalo bisa milih, mending liputan selain fesyen, mbak'e. Hehe risih kalo liputan disana, wartawannya pada modis.

Mbak D: Loh bukannya udah biasa liputan lifestyle?

Saya : Hehe angkat tangan deh buat fesyen itu.

Mbak D: Loh aku malah pengen mengubah stereotipe wartawan itu kumuh, gak tahu aturan dan sebagainya dengan berdandan rapih.

Saya : Hehe rapih kan beda sama modis mbak :D *tetep nyengir sungkan disuruh dandan modis buat liputan*

Mbak D: Hadeuuuh nih anak *tepok jidat*

Heheheh maapkaan mbak D, ngaku deh, saya ini gak pernah mimpi disebut ataupun berangan2 disebut modis sama orang. Baju apapun yang saya pakai alasannya adalah karena hal itu membuat saya nyaman, tak bermaksud mengundang komentar dari siapa pun.

Ditambah, saya adalah anak wartawan harian yang berawal dari liputan ekonomi, bisnis kemudian beralih ke kesehatan, lifestyle dan sebagainya. Jadi saya biasa berpakaian rapi, bukannya modis. Memakai berbagai aksesoris, selain jam tangan, itu rasanya bukan Ririn bangeeeet. Jilbab yang saya gunakan juga tidak pernah gayanya ikut2an dengan orang lain, I have to find my own style. Hehe saya paling males kalo ikutan "mainstream". Lah wong, saya udah pake jilbab sejak jilbab2 modis itu ada kok.

Nah, kembali ke soal wartawan modis, saya sih salut sama mereka. Bisa liputan dengan tetap bergaya gitu loh. Mbak D juga suka pake dress selutut dipadu dengan stoking hitam, wuuuiiih kereeen!

Tapi, ya itu. Kalo buat saya sih, liputan itu gak perlu lah modis. Rapi dan bersih, rasanya sudah cukup. Karena untuk saya, penampilan itu bukan satu-satunya barometer menilai seseorang. Masih banyak hal yang lebih esensial dari itu.

Maaf ya mbak D kalo kita berbeda juga untuk soal yang satu ini. Tapi, yakin deh, perbedaan kita adalah sesuatu yang menyenangkan :) :)

PS: Oh ya, satu persamaan saya dan mbak D yang menjembatani perbedaan kami adalah sama2 suka jajan :D mulai dari jajan pinggir jalan sampe ke mal yang full AC. Pokoknya saya dan mbak D bareng itu artinya jalan2 (bisa bareng liputan) dan juga jajan2 ^^





Wednesday 2 April 2014

Bekerja Dari atau Dengan Hati?

Komputer, kertas-kertas dan Arjuna di meja kerja saya (dok.pribadi)
Selamat siaaang!! Sebentar lagi waktu makan siang nih. Hmmm mom yang di rumah, sudah masak apa hari ini? Yang lagi ngantor, hehe sedang merancang mau maksi kemana hari ini ya, lumayan deh masih tanggal muda ^_^

Gak terasa sudah hampir dua bulan saya kembali menjadi ibu bekerja alias working mom, setelah hampir 4 tahun menjadi stay at home mom dan bekerja secara freelance. Rempong, ribet, penuh masa adaptasi hingga saat ini.

Mulai dari masalah antar jemput kakak ke sekolah, siapa yang ngawasin belajar dan bikin PR di rumah, juga adek yang sekarang makin aktif dan bikin repot pengasuhnya di rumah, termasuk badan saya yang mulai sering masuk angin hahahaha :D

Sejak awal, saya sadar sesadar-sadarnya bahwa tempat kerja terdiri dari beragam jenis orang dan pengalaman. Untuk membuatnya menjadi nyaman, tak dapat sepenuhnya bergantung dari orang sekeliling. You just have to find it in your self.

Kalimat dari suami saya mungkin sangat tepat, "Buat apa sih dipikirin, kerja ya kerja aja. Susah amat ya jadi cewek, semua pake perasaan".

Awalnya sih saya juga bete dengernya. Ya, namanya juga kodrat, emang perasaan bisa ditinggal di rumah apa pas kita berangkat kerja?

Tapi, setelah dipikir2 lagi, perkataan suami saya ya ada benernya juga. Mungkin itu juga yang membuat dia bisa bertahan tanpa pernah pindah kerja selama ini.

Jadi gimana donk? Seperti dunia nyata pada umumnya, maka dalam dunia kerja akan selalu ada the good and bad guys. Jika ada yang sangat baik menerima kita, maka ada juga yang sebaliknya. Kalau ada pekerjaan yang mudah, dijamin ada yang perlu perjuangan menyelesaikannya. Instead of complaining, either take it or leave it.

Kalau saat ini, saya sudah berkomitmen maka menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya, maka itu adalah tujuan utama saya bekerja saat ini.

Seorang senior saya di dunia wartawan pernah berkata, kurang lebih seperti ini : "Perusahaan atau media tempat kamu bernaung mungkin akan berubah, tapi kerjakan yang terbaik saat kamu menulis, karena kamu membawa namamu dalam tulisan itu,".

Meskipun ini adalah pengalaman spesifik saya sebagai seorang wartawan, namun tetap saja maknanya dapat diambil untuk seluruh pekerjaan.

Mungkin teman-teman bukan wartawan, penulis ataupun blogger yang namanya tersemat dalam sebuah karya tulisan, namun hasil kerja melalui usaha yang terbaik dan mengetahuinya bermanfaat bagi lingkungan sekitar, luar biasa nikmat melebihi imbalan materi yang kita peroleh.

Jadi untuk menjawab judul diatas, maka bagi saya adalah bekerja dari hati. Kenapa bukan dengan hati? Sebab saya memilih untuk bekerja lebih sebagai wadah saya berekspresi, mengerjakan segala sesuatu dari "dalam". Sementara untuk hal selain pekerjaan, sebagaimana saran suami saya, "jangan diambil hati".

Semoga gak bingung bacanya yak :D Makasih yang udah mampir :)






Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...