Saat berangkat, saya masih mengira akan menghadiri acara buka puasa bersama dengan anak yatim piatu. Namun, rupanya tidak demikian. Saya dan beberapa rekan blogger mengunjungi rumah salah seorang penerima Program Jaminan Makanan dari Lembaga Pelayanan Masyarakat (LPM) Dompet Dhuafa. Awalnya saya tak menyangka, ada jaminan sejenis itu.
Mas Darim, Bu Warsem dan Pak Fauzan (dok.pribadi) |
Setelah melakukan perjalanan sekitar 1,5 jam dan beberapa kali bertanya, akhirnya kendaraan kami diparkir di depan SMA 12 Klender, Jakarta Timur. Dari sana, kami harus berjalan kaki sampai tiba di rumah penerima program jaminan makanan tersebut.
Selama perjalanan, rumah-rumah yang kami lewati tampak sangat berdempetan. Gang yang kami lalui juga sangat kecil, paling banyak dapat dilalui dua orang. Kalau ada motor yang lewat, otomatis pejalan kaki harus agak melipir.
Tiba di depan rumah yang dituju, kami harus naik ke lantai 2. Namun, jangan bayangkan ini bangunan lantai 2 yang nyaman. Bangunan yang kami masuki adalah kamar kontrakan dengan luas sekitar 2 x 3 meter, beratap asbes dan tidak memiliki ventilasi yang memadai. Untuk naik turun tangga kayu itu kami harus berhati-hati, karena lumayan curam dan sempit.
Tangga menuju kamar kontrakan bu Warsem (dok.pribadi) |
Sebenarnya Bu Warsem adalah seorang janda dengan tiga anak. Anak pertamanya kini sudah menikah dan tinggal tak jauh dari sana. Namun, sehari-hari Bu Warsem lebih banyak diurus oleh dua anak laki-lakinya tersebut.
Saat ini Bu Warsem lebih banyak berada di kamar karena kondisi kesehatannya yang kurang baik serta katarak yang dialaminya. Bu Warsem bercerita, beberapa waktu lalu ia divonis terkena kanker rahim.
"Di sudut kamar ini saya biasanya merintih-rintih kesakitan," ujarnya sambil menunjuk salah satu dinding kamar. Pengobatan Bu Warsem sempat menggunakan program kesehatan dari pemerintah, namun dirasa kurang maksimal hingga akhirnya Bu Warsem meminta pulang.
Disini Bu Warsem dan anak-anaknya tinggal (dok.pribadi) |
"Kami harus bayar kontrakan ini sebesar Rp 250 ribu per bulan, masih di luar biaya lain seperti untuk ke kamar mandi. Belum lagi untuk air minum dan sebagainya," ungkap Darim.
Ya ampuun, pikir saya, Bu Warsem dalam kondisi kesehatan sedemikian rupa, harus mondar-mandir kamar mandi umum yang letaknya agak jauh. Sungguh luar biasa perjuangannya.
Tak salah jika kemudian Bu Warsem dianggap tepat sebagai salah seorang penerima Program Jaminan Makan sebesar Rp 300.000 per bulan. Uang sejumlah itu akan diberikan oleh Dompet Dhuafa dalam bentuk kebutuhan pokok setiap bulannya. Proses pembelanjaan kebutuhan pokok tersebut, dilakukan di warung atau toko terdekat rumah Bu Warsem, yang dilakukan oleh pendamping dari Dompet Dhuafa.
Pak Fauzan dari Dompet Dhuafa (dok.pribadi) |
"Alhamdulillah, saya bersyukur bisa dapat bantuan dari Dompet Dhuafa. Tapi, kalau bisa saya juga ingin bantuan berupa pekerjaan untuk anak saya," harapnya.
Jujur saja, pengalaman bertemu Bu Warsem bersama tim Dompet Dhuafa seakan membuka mata saya lebih jauh. Terutama tentang memaknai bersyukur dan semangat berbagi. Saya melihat kebahagiaan di mata Bu Warsem dan anak-anaknya, sementara dari tim Dompet Dhuafa, saya melihat keikhlasan untuk membantu di sana. Saya juga melihat Bu Warsem dan anak-anaknya tidak menyerah. Mereka tetap ingin berjuang untuk mencari penghidupan yang layak dengan bekerja.
Saat menuliskan pengalaman ini, tak terasa air mata saya menetes. Rasanya selama ini banyak sekali yang harus saya syukuri dan masih sedikit sekali saya berbagi terhadap orang-orang yang membutuhkan.
Semoga Bu Warsem sekeluarga senantiasa diberikan kesehatan, rezeki dan berkah dari Allah SWT ya Bu. Amin yaa robbal alamiin.
Semoga selalu diberikan rezeki buat Bu Warsem, Aamiin.
ReplyDeleteaamiin. makasih mba Lid :)
DeleteAku terharu :')
ReplyDeleteSemoga ibunya selalu diberikan umur yang barokah dan rejeki serta kebahagiaan yang berlimpah :) aamiin
Aamiin. Iya put, liputan2 gini bawaannya jadi pake perasaan :(
Delete